BILA SAJA ada pemilihan desa yang paling pancasilais di seluruh wilayah
teritorial Republik Indonesia; aku yakin, seribu tujuh ratus persen yakin,
desaku-lah yang pasti terpilih. Bagaimana tidak, bukankah hal terpenting menjadi
pancasilais adalah anti komunis?
Atau mungkin tata bahasa-nya yang benar adalah sebagai berikut: Cukuplah
menjadi seorang anti komunis tulen agar bisa disebut sebagai pancasilais. Ya, seperti itulah syarat
utama ajaran pancasilais yang kami
tahu. Dan desa kami boleh di test-lah kemampuannya sebagai desa yang
paling anti komunis.
Desa
kami terletak di sekitar perbatasan antara kawasan industri kota dan pelabuhan
kota Medan. Oleh karena itu, rata-rata pemuda-pemudi di desa kami bekerja
sebagai buruh pabrik atau menjadi penambak ikan di Kampung Nelayan. Sebagai
desa yang pancasilais, kami menganut
sistem kekerabatan yang sangat erat, tidak seperti orang orang komunis itu, kata
bapakku.
Bila
desa tetangga mengadakan ruwatan atau apa pun, yang menyelenggarakan pementasan
organ tunggal, beberapa pemuda desa kami akan datang dan berkunjung ke sana.
Sering kali diakhiri dengan perkelahian dengan pemuda-pemuda dari desa tetangga
itu, entah karena apa sajalah, kadang hanya akibat lirikan mata yang terlalu
lama, lantas berseru, “Mata kau itu!”
Maka,
berduyun-duyunlah semua pemuda desa kami keluar dari rumahnya masing-masing
dengan amarah yang telah memuncak di kepala. Namun jangan salah, jika hanya
pemuda-pemudanya saja yang keluar, aku tidak akan berani menyebut desa kami
sebagai desa pancasilais. Oleh karena
tadi aku sudah mengatakan bahwa desa kami adalah desa yang pancasilais, maka, semua orang tua atau siapa pun yang sudah tua di
desa kami juga ikut berbondong-bondong keluar dari ketenangan waktu istirahat
malamnya. Ada yang keluar sambil membawa parang panjang yang sudah berkarat.
Ada yang bergaya sok militer dengan mengenakan jaket militer palsu yang banyak
dijual di pasar pelabuhan. Malah ada juga yang keluar hanya mengenakan sarung.
Ah, yang penting kan semuanya keluar.
Lalu
kami semua biasanya berkumpul dahulu di pos ronda di depan lapangan bola
kebanggaan kami yang digarap dari bekas gudang yang sudah tak terpakai.
Semuanya ngotot untuk berbicara. Saling ribut menebak-nebak apa yang telah
terjadi di desa sebelah. Malah pasti, ini pasti; ada orang tua yang sudah tahu
apa yang terjadi di sana. Ia selalu berhasil mengira dengan siapa si Polan
berkelahi dan karena apa pula. Bukan main para orang tua di desa kami.
Dan
tibalah saatnya membuktikan betapa pancasilaisnya
desa kami.
‘’Inilah
akibatnya. Itu desa kan dulu basis-nya PKI! Sudah dari dulu aku sarankan, bunuh
saja semua penghuni desa itu!’’ teriak Wak Kliwon memanaskan suasana di pos
ronda.
‘’Desa
Setia Miskin Wak bilang kemarin juga basis PKI, desa Setia-Ribut juga, sekarang
juga rupanya?’’ tanya Pak RT takut-takut, namun wajahnya mengiyakan.
‘’Pokoknya,
desa yang suka ngajak ribut anak-anak kita, ya pasti desa komunis itu! ga akan
habis-habis itu PKI sampai kiamat! Makanya, kita harus selalu waspada!’’
Teriakan
Wak kliwon langsung kami iyakan beramai-ramai. Lantas kami berseru seru ’’bunuh
PKI! Bunuh PKI!’’ di sepanjang perjalanan menuju tempat pertempuran. Ah, betapa
bangganya tinggal di desa ini.
Di
desa kami ada sebuah sekolah dasar. Tidak besar sih, tapi cukup untuk mendidik
semua anak-anak agar menjadi pancasilais
tulen. Di sekolah kami itu ada seorang guru yang sangat ditakuti anak-anak
nakal. Tapi, karena aku tidak nakal, aku sangat sayang padanya; Pak Muji biasa
ia dipanggil.
Dia
sudah tua juga kelihatannya. Naik sepeda dia ke mana-mana. Rotan kayu yang
biasa ia gunakan sebagai penggaris sekaligus pedang tidak pernah lepas dari
tangannya. Jika ia sedang bersepeda, rotan itu ia duduki begitu saja di bawah
joknya. Yang pasti, tak akan pernah ia lepaskan. Dan yang terpenting, ia adalah
guru yang paling pancasilais
menurutku.
Pernah
di Senin pagi yang kebetulan sedang gerimis. Seperti biasa, kami harusnya
berbaris di lapangan dan melakukan sebuah ritual aneh yang biasa kami sebut
sebagai Upacara Bendera. Ah, malasnya kalau sudah begitu. Walau aku seorang pancasilais, jujur saja, aku pun malas
berdiri berlama-lama di tengah lapangan itu. kaki jadi pegal. Ditambah gerimis
yang turun, jadilah kami semua main petak umpet di dalam kelas.
Tiba-tiba
datanglah Pak Muji ke kelas kami. Dipukulnya pintu kayu dengan beringas. Semua
murid langsung berlarian mencari bangkunya masing-masing.
‘’Bukannya
ke lapangan, malah pura-pura duduk kalian! Dasar anak PKI semuanya!’’ bentaknya
kasar.
Aku
benar-benar kaget saat itu. Apa benar bapak dan ibuku juga PKI? Aku langsung
teringat kedua orang tua celaka itu. bapak bekerja di pabrik karet, sedang ibu
berjualan jajanan dan manisan rambe buat anak-anak di depan rumah. Entah kenapa
hidungku jadi berair saat itu, aku ingin nangis, tapi tidak berani.
“Apa
benar ayah-ibuku ikut membunuh jendral-jendral di Jakarta? Kapan mereka pergi
ke sana? Kenapa mereka tidak mengajak aku? kan enak bisa main-main di Jakarta,”
pikirku.
Aku
tidak sadar sejak kapan aku menangis, keras pula katanya. Pak Muji langsung
menghampiriku dan mengelus-ngelus rambutku. Ia bertanya kenapa aku menangis. Aku
jadi malu berbicara kepadanya, malu punya bapak dan ibu yang ternyata PKI.
Berarti aku gagal menjadi pancasilais,
pikirku saat itu. Namun akhirnya kelak aku tahu belaka, Pak Muji hanya kesal
waktu itu, dia tidak mau kami-kami ini seperti anak-anak komunis yang tak pernah
mau ikut Upacara Bendera, katanya.
Setelah
Pulang sekolah biasanya aku bermain bola dahulu di lapangan bola garapan. Atau
pergi ke ladang untuk mencuri apa saja yang bisa dicuri. Tebu contohnya, atau
timun yang gendut-gendut itu, ah, tapi bukan mencuri itu namanya, orang tua di
desa kami selalu bilang ’’Tanaman yang sudah layak panen lebih baik diambil
saja daripada membusuk dibiarkan berlama-lama.’’ Tidak melanggar pancasilais itu berarti. Tapi hari itu
aku langsung pulang ke rumah saja. Kepengen benar aku rasanya makan
manisan rambe Ibu, sekalian ingin bertanya, kapan mereka ke Jakarta lagi.
Sesampai
di rumah, kulihat Ibu sedang menjemur pakaian yang gagal di jemur tadi pagi
akibat gerimis. Langsung saja aku berlari ke teras depan tempat jajanan Ibu
dijajakan. Dari jauh aku dengar teriakan Ibu,
‘’Jangan
kau makan rambe itu, Nak, sudah dipesan tadi sama Lik Iyem.’’
Ah!
Patah hatiku jadinya. Terduduk aku di kursi kayu tempat Ibu biasa menunggu
pembeli.
Tidak
lama datanglah Kak Ida yang sedang bunting. Ingin ia membeli manisan rambe yang
hanya tinggal seplastik itu, katanya. Langsung saja kuterangkan pesan Ibu tadi,
enak saja dia, pikirku, aku pun mau!
Kak
Ida tersenyum-senyum sambil merogoh dompet kulit di dalam tas keranjangnya.
‘’Ini
Kak Ida kasi kau cepek, buat kau beli layangan. Kak Ida lagi ngidam
rambe, betul!’’ katanya.
Eh,
eh, harga seplastik manisan rambe hanya tilin, berarti kalau aku beri
kak Ida, aku dapat 75 perak! Ah, enak benar. Bilang saja dia lagi ngidam sama ibu
nanti, kasian. Ah, jual sajalah!
Aku
pun segera menjual manisan rambe terakhir itu kepada Kak Ida. Ia berterima
kasih dan berbicara kepadaku, “Pak Harto pasti senang bila melihat anak
bangsanya seperti kau semua, Dik. Mendahului kepentingan umum daripada
kepentingan pribadi,’’ katanya sambil menepuk-nepuk pundakku.
‘’Aku
pancasilais sejati kan, Kak Ida? Ya,
kan?’’ tanyaku girang.
Dia
tersenyum lalu melenggangkan perutnya yang buncit pergi menjauh. Kemudian aku
berlari girang menuju ke tempat Ibu yang sedang menjemur dan menceritakan hal
baik yang telah aku lakukan tadi. Ibu melengoh dan mencampakkan cucian yang
sedang ingin ia jemur kembali ke dalam ember plastik. Tentu saja aku kaget,
tapi aku tetap berkata dengan yakin, ’’Aku pancasilais
kan, Bu? Anak-anak komunis pasti tidak seperti aku, kan, Bu?’’
Ibu
melotot memandangiku, takut juga kurasa, lantas ia berseru;
‘’Ya!
Benar! Anak-anak komunis sama sekali tidak seperti kau dan semua anak di desa
ini!!!’
Tengku Ariy
Dipantara, Malaka, Januari 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar