12 Apr 2015

Catatan Anak SD: Mari Menjadi Pancasilais Tulen





14146415291769772020



BILA SAJA ada pemilihan desa yang paling pancasilais di seluruh wilayah teritorial Republik Indonesia; aku yakin, seribu tujuh ratus persen yakin, desaku-lah yang pasti terpilih. Bagaimana tidak, bukankah hal terpenting menjadi pancasilais adalah anti komunis? Atau mungkin tata bahasa-nya yang benar adalah sebagai berikut: Cukuplah menjadi seorang anti komunis tulen agar bisa disebut sebagai pancasilais. Ya, seperti itulah syarat utama ajaran pancasilais yang kami tahu. Dan desa kami boleh di test-lah kemampuannya sebagai desa yang paling anti komunis.
Desa kami terletak di sekitar perbatasan antara kawasan industri kota dan pelabuhan kota Medan. Oleh karena itu, rata-rata pemuda-pemudi di desa kami bekerja sebagai buruh pabrik atau menjadi penambak ikan di Kampung Nelayan. Sebagai desa yang pancasilais, kami menganut sistem kekerabatan yang sangat erat, tidak seperti orang orang komunis itu, kata bapakku.
Bila desa tetangga mengadakan ruwatan atau apa pun, yang menyelenggarakan pementasan organ tunggal, beberapa pemuda desa kami akan datang dan berkunjung ke sana. Sering kali diakhiri dengan perkelahian dengan pemuda-pemuda dari desa tetangga itu, entah karena apa sajalah, kadang hanya akibat lirikan mata yang terlalu lama, lantas berseru, “Mata kau itu!”
Maka, berduyun-duyunlah semua pemuda desa kami keluar dari rumahnya masing-masing dengan amarah yang telah memuncak di kepala. Namun jangan salah, jika hanya pemuda-pemudanya saja yang keluar, aku tidak akan berani menyebut desa kami sebagai desa pancasilais. Oleh karena tadi aku sudah mengatakan bahwa desa kami adalah desa yang pancasilais, maka, semua orang tua atau siapa pun yang sudah tua di desa kami juga ikut berbondong-bondong keluar dari ketenangan waktu istirahat malamnya. Ada yang keluar sambil membawa parang panjang yang sudah berkarat. Ada yang bergaya sok militer dengan mengenakan jaket militer palsu yang banyak dijual di pasar pelabuhan. Malah ada juga yang keluar hanya mengenakan sarung. Ah, yang penting kan semuanya keluar.
Lalu kami semua biasanya berkumpul dahulu di pos ronda di depan lapangan bola kebanggaan kami yang digarap dari bekas gudang yang sudah tak terpakai. Semuanya ngotot untuk berbicara. Saling ribut menebak-nebak apa yang telah terjadi di desa sebelah. Malah pasti, ini pasti; ada orang tua yang sudah tahu apa yang terjadi di sana. Ia selalu berhasil mengira dengan siapa si Polan berkelahi dan karena apa pula. Bukan main para orang tua di desa kami.
Dan tibalah saatnya membuktikan betapa pancasilaisnya desa kami.
‘’Inilah akibatnya. Itu desa kan dulu basis-nya PKI! Sudah dari dulu aku sarankan, bunuh saja semua penghuni desa itu!’’ teriak Wak Kliwon memanaskan suasana di pos ronda.
‘’Desa Setia Miskin Wak bilang kemarin juga basis PKI, desa Setia-Ribut juga, sekarang juga rupanya?’’ tanya Pak RT takut-takut, namun wajahnya mengiyakan.
‘’Pokoknya, desa yang suka ngajak ribut anak-anak kita, ya pasti desa komunis itu! ga akan habis-habis itu PKI sampai kiamat! Makanya, kita harus selalu waspada!’’
Teriakan Wak kliwon langsung kami iyakan beramai-ramai. Lantas kami berseru seru ’’bunuh PKI! Bunuh PKI!’’ di sepanjang perjalanan menuju tempat pertempuran. Ah, betapa bangganya tinggal di desa ini.
Di desa kami ada sebuah sekolah dasar. Tidak besar sih, tapi cukup untuk mendidik semua anak-anak agar menjadi pancasilais tulen. Di sekolah kami itu ada seorang guru yang sangat ditakuti anak-anak nakal. Tapi, karena aku tidak nakal, aku sangat sayang padanya; Pak Muji biasa ia dipanggil.
Dia sudah tua juga kelihatannya. Naik sepeda dia ke mana-mana. Rotan kayu yang biasa ia gunakan sebagai penggaris sekaligus pedang tidak pernah lepas dari tangannya. Jika ia sedang bersepeda, rotan itu ia duduki begitu saja di bawah joknya. Yang pasti, tak akan pernah ia lepaskan. Dan yang terpenting, ia adalah guru yang paling pancasilais menurutku.
Pernah di Senin pagi yang kebetulan sedang gerimis. Seperti biasa, kami harusnya berbaris di lapangan dan melakukan sebuah ritual aneh yang biasa kami sebut sebagai Upacara Bendera. Ah, malasnya kalau sudah begitu. Walau aku seorang pancasilais, jujur saja, aku pun malas berdiri berlama-lama di tengah lapangan itu. kaki jadi pegal. Ditambah gerimis yang turun, jadilah kami semua main petak umpet di dalam kelas.
Tiba-tiba datanglah Pak Muji ke kelas kami. Dipukulnya pintu kayu dengan beringas. Semua murid langsung berlarian mencari bangkunya masing-masing.
‘’Bukannya ke lapangan, malah pura-pura duduk kalian! Dasar anak PKI semuanya!’’ bentaknya kasar.
Aku benar-benar kaget saat itu. Apa benar bapak dan ibuku juga PKI? Aku langsung teringat kedua orang tua celaka itu. bapak bekerja di pabrik karet, sedang ibu berjualan jajanan dan manisan rambe buat anak-anak di depan rumah. Entah kenapa hidungku jadi berair saat itu, aku ingin nangis, tapi tidak berani.
“Apa benar ayah-ibuku ikut membunuh jendral-jendral di Jakarta? Kapan mereka pergi ke sana? Kenapa mereka tidak mengajak aku? kan enak bisa main-main di Jakarta,” pikirku.
Aku tidak sadar sejak kapan aku menangis, keras pula katanya. Pak Muji langsung menghampiriku dan mengelus-ngelus rambutku. Ia bertanya kenapa aku menangis. Aku jadi malu berbicara kepadanya, malu punya bapak dan ibu yang ternyata PKI. Berarti aku gagal menjadi pancasilais, pikirku saat itu. Namun akhirnya kelak aku tahu belaka, Pak Muji hanya kesal waktu itu, dia tidak mau kami-kami ini seperti anak-anak komunis yang tak pernah mau ikut Upacara Bendera, katanya.
Setelah Pulang sekolah biasanya aku bermain bola dahulu di lapangan bola garapan. Atau pergi ke ladang untuk mencuri apa saja yang bisa dicuri. Tebu contohnya, atau timun yang gendut-gendut itu, ah, tapi bukan mencuri itu namanya, orang tua di desa kami selalu bilang ’’Tanaman yang sudah layak panen lebih baik diambil saja daripada membusuk dibiarkan berlama-lama.’’ Tidak melanggar pancasilais itu berarti. Tapi hari itu aku langsung pulang ke rumah saja. Kepengen benar aku rasanya makan manisan rambe Ibu, sekalian ingin bertanya, kapan mereka ke Jakarta lagi.
Sesampai di rumah, kulihat Ibu sedang menjemur pakaian yang gagal di jemur tadi pagi akibat gerimis. Langsung saja aku berlari ke teras depan tempat jajanan Ibu dijajakan. Dari jauh aku dengar teriakan Ibu,
‘’Jangan kau makan rambe itu, Nak, sudah dipesan tadi sama Lik Iyem.’’
Ah! Patah hatiku jadinya. Terduduk aku di kursi kayu tempat Ibu biasa menunggu pembeli.
Tidak lama datanglah Kak Ida yang sedang bunting. Ingin ia membeli manisan rambe yang hanya tinggal seplastik itu, katanya. Langsung saja kuterangkan pesan Ibu tadi, enak saja dia, pikirku, aku pun mau!
Kak Ida tersenyum-senyum sambil merogoh dompet kulit di dalam tas keranjangnya.
‘’Ini Kak Ida kasi kau cepek, buat kau beli layangan. Kak Ida lagi ngidam rambe, betul!’’ katanya.
Eh, eh, harga seplastik manisan rambe hanya tilin, berarti kalau aku beri kak Ida, aku dapat 75 perak! Ah, enak benar. Bilang saja dia lagi ngidam sama ibu nanti, kasian. Ah, jual sajalah!
Aku pun segera menjual manisan rambe terakhir itu kepada Kak Ida. Ia berterima kasih dan berbicara kepadaku, “Pak Harto pasti senang bila melihat anak bangsanya seperti kau semua, Dik. Mendahului kepentingan umum daripada kepentingan pribadi,’’ katanya sambil menepuk-nepuk pundakku.
‘’Aku pancasilais sejati kan, Kak Ida? Ya, kan?’’ tanyaku girang.
Dia tersenyum lalu melenggangkan perutnya yang buncit pergi menjauh. Kemudian aku berlari girang menuju ke tempat Ibu yang sedang menjemur dan menceritakan hal baik yang telah aku lakukan tadi. Ibu melengoh dan mencampakkan cucian yang sedang ingin ia jemur kembali ke dalam ember plastik. Tentu saja aku kaget, tapi aku tetap berkata dengan yakin, ’’Aku pancasilais kan, Bu? Anak-anak komunis pasti tidak seperti aku, kan, Bu?’’
Ibu melotot memandangiku, takut juga kurasa, lantas ia berseru;
‘’Ya! Benar! Anak-anak komunis sama sekali tidak seperti kau dan semua anak di desa ini!!!’

Tengku Ariy Dipantara, Malaka, Januari 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

12 Apr 2015

Catatan Anak SD: Mari Menjadi Pancasilais Tulen





14146415291769772020



BILA SAJA ada pemilihan desa yang paling pancasilais di seluruh wilayah teritorial Republik Indonesia; aku yakin, seribu tujuh ratus persen yakin, desaku-lah yang pasti terpilih. Bagaimana tidak, bukankah hal terpenting menjadi pancasilais adalah anti komunis? Atau mungkin tata bahasa-nya yang benar adalah sebagai berikut: Cukuplah menjadi seorang anti komunis tulen agar bisa disebut sebagai pancasilais. Ya, seperti itulah syarat utama ajaran pancasilais yang kami tahu. Dan desa kami boleh di test-lah kemampuannya sebagai desa yang paling anti komunis.
Desa kami terletak di sekitar perbatasan antara kawasan industri kota dan pelabuhan kota Medan. Oleh karena itu, rata-rata pemuda-pemudi di desa kami bekerja sebagai buruh pabrik atau menjadi penambak ikan di Kampung Nelayan. Sebagai desa yang pancasilais, kami menganut sistem kekerabatan yang sangat erat, tidak seperti orang orang komunis itu, kata bapakku.
Bila desa tetangga mengadakan ruwatan atau apa pun, yang menyelenggarakan pementasan organ tunggal, beberapa pemuda desa kami akan datang dan berkunjung ke sana. Sering kali diakhiri dengan perkelahian dengan pemuda-pemuda dari desa tetangga itu, entah karena apa sajalah, kadang hanya akibat lirikan mata yang terlalu lama, lantas berseru, “Mata kau itu!”
Maka, berduyun-duyunlah semua pemuda desa kami keluar dari rumahnya masing-masing dengan amarah yang telah memuncak di kepala. Namun jangan salah, jika hanya pemuda-pemudanya saja yang keluar, aku tidak akan berani menyebut desa kami sebagai desa pancasilais. Oleh karena tadi aku sudah mengatakan bahwa desa kami adalah desa yang pancasilais, maka, semua orang tua atau siapa pun yang sudah tua di desa kami juga ikut berbondong-bondong keluar dari ketenangan waktu istirahat malamnya. Ada yang keluar sambil membawa parang panjang yang sudah berkarat. Ada yang bergaya sok militer dengan mengenakan jaket militer palsu yang banyak dijual di pasar pelabuhan. Malah ada juga yang keluar hanya mengenakan sarung. Ah, yang penting kan semuanya keluar.
Lalu kami semua biasanya berkumpul dahulu di pos ronda di depan lapangan bola kebanggaan kami yang digarap dari bekas gudang yang sudah tak terpakai. Semuanya ngotot untuk berbicara. Saling ribut menebak-nebak apa yang telah terjadi di desa sebelah. Malah pasti, ini pasti; ada orang tua yang sudah tahu apa yang terjadi di sana. Ia selalu berhasil mengira dengan siapa si Polan berkelahi dan karena apa pula. Bukan main para orang tua di desa kami.
Dan tibalah saatnya membuktikan betapa pancasilaisnya desa kami.
‘’Inilah akibatnya. Itu desa kan dulu basis-nya PKI! Sudah dari dulu aku sarankan, bunuh saja semua penghuni desa itu!’’ teriak Wak Kliwon memanaskan suasana di pos ronda.
‘’Desa Setia Miskin Wak bilang kemarin juga basis PKI, desa Setia-Ribut juga, sekarang juga rupanya?’’ tanya Pak RT takut-takut, namun wajahnya mengiyakan.
‘’Pokoknya, desa yang suka ngajak ribut anak-anak kita, ya pasti desa komunis itu! ga akan habis-habis itu PKI sampai kiamat! Makanya, kita harus selalu waspada!’’
Teriakan Wak kliwon langsung kami iyakan beramai-ramai. Lantas kami berseru seru ’’bunuh PKI! Bunuh PKI!’’ di sepanjang perjalanan menuju tempat pertempuran. Ah, betapa bangganya tinggal di desa ini.
Di desa kami ada sebuah sekolah dasar. Tidak besar sih, tapi cukup untuk mendidik semua anak-anak agar menjadi pancasilais tulen. Di sekolah kami itu ada seorang guru yang sangat ditakuti anak-anak nakal. Tapi, karena aku tidak nakal, aku sangat sayang padanya; Pak Muji biasa ia dipanggil.
Dia sudah tua juga kelihatannya. Naik sepeda dia ke mana-mana. Rotan kayu yang biasa ia gunakan sebagai penggaris sekaligus pedang tidak pernah lepas dari tangannya. Jika ia sedang bersepeda, rotan itu ia duduki begitu saja di bawah joknya. Yang pasti, tak akan pernah ia lepaskan. Dan yang terpenting, ia adalah guru yang paling pancasilais menurutku.
Pernah di Senin pagi yang kebetulan sedang gerimis. Seperti biasa, kami harusnya berbaris di lapangan dan melakukan sebuah ritual aneh yang biasa kami sebut sebagai Upacara Bendera. Ah, malasnya kalau sudah begitu. Walau aku seorang pancasilais, jujur saja, aku pun malas berdiri berlama-lama di tengah lapangan itu. kaki jadi pegal. Ditambah gerimis yang turun, jadilah kami semua main petak umpet di dalam kelas.
Tiba-tiba datanglah Pak Muji ke kelas kami. Dipukulnya pintu kayu dengan beringas. Semua murid langsung berlarian mencari bangkunya masing-masing.
‘’Bukannya ke lapangan, malah pura-pura duduk kalian! Dasar anak PKI semuanya!’’ bentaknya kasar.
Aku benar-benar kaget saat itu. Apa benar bapak dan ibuku juga PKI? Aku langsung teringat kedua orang tua celaka itu. bapak bekerja di pabrik karet, sedang ibu berjualan jajanan dan manisan rambe buat anak-anak di depan rumah. Entah kenapa hidungku jadi berair saat itu, aku ingin nangis, tapi tidak berani.
“Apa benar ayah-ibuku ikut membunuh jendral-jendral di Jakarta? Kapan mereka pergi ke sana? Kenapa mereka tidak mengajak aku? kan enak bisa main-main di Jakarta,” pikirku.
Aku tidak sadar sejak kapan aku menangis, keras pula katanya. Pak Muji langsung menghampiriku dan mengelus-ngelus rambutku. Ia bertanya kenapa aku menangis. Aku jadi malu berbicara kepadanya, malu punya bapak dan ibu yang ternyata PKI. Berarti aku gagal menjadi pancasilais, pikirku saat itu. Namun akhirnya kelak aku tahu belaka, Pak Muji hanya kesal waktu itu, dia tidak mau kami-kami ini seperti anak-anak komunis yang tak pernah mau ikut Upacara Bendera, katanya.
Setelah Pulang sekolah biasanya aku bermain bola dahulu di lapangan bola garapan. Atau pergi ke ladang untuk mencuri apa saja yang bisa dicuri. Tebu contohnya, atau timun yang gendut-gendut itu, ah, tapi bukan mencuri itu namanya, orang tua di desa kami selalu bilang ’’Tanaman yang sudah layak panen lebih baik diambil saja daripada membusuk dibiarkan berlama-lama.’’ Tidak melanggar pancasilais itu berarti. Tapi hari itu aku langsung pulang ke rumah saja. Kepengen benar aku rasanya makan manisan rambe Ibu, sekalian ingin bertanya, kapan mereka ke Jakarta lagi.
Sesampai di rumah, kulihat Ibu sedang menjemur pakaian yang gagal di jemur tadi pagi akibat gerimis. Langsung saja aku berlari ke teras depan tempat jajanan Ibu dijajakan. Dari jauh aku dengar teriakan Ibu,
‘’Jangan kau makan rambe itu, Nak, sudah dipesan tadi sama Lik Iyem.’’
Ah! Patah hatiku jadinya. Terduduk aku di kursi kayu tempat Ibu biasa menunggu pembeli.
Tidak lama datanglah Kak Ida yang sedang bunting. Ingin ia membeli manisan rambe yang hanya tinggal seplastik itu, katanya. Langsung saja kuterangkan pesan Ibu tadi, enak saja dia, pikirku, aku pun mau!
Kak Ida tersenyum-senyum sambil merogoh dompet kulit di dalam tas keranjangnya.
‘’Ini Kak Ida kasi kau cepek, buat kau beli layangan. Kak Ida lagi ngidam rambe, betul!’’ katanya.
Eh, eh, harga seplastik manisan rambe hanya tilin, berarti kalau aku beri kak Ida, aku dapat 75 perak! Ah, enak benar. Bilang saja dia lagi ngidam sama ibu nanti, kasian. Ah, jual sajalah!
Aku pun segera menjual manisan rambe terakhir itu kepada Kak Ida. Ia berterima kasih dan berbicara kepadaku, “Pak Harto pasti senang bila melihat anak bangsanya seperti kau semua, Dik. Mendahului kepentingan umum daripada kepentingan pribadi,’’ katanya sambil menepuk-nepuk pundakku.
‘’Aku pancasilais sejati kan, Kak Ida? Ya, kan?’’ tanyaku girang.
Dia tersenyum lalu melenggangkan perutnya yang buncit pergi menjauh. Kemudian aku berlari girang menuju ke tempat Ibu yang sedang menjemur dan menceritakan hal baik yang telah aku lakukan tadi. Ibu melengoh dan mencampakkan cucian yang sedang ingin ia jemur kembali ke dalam ember plastik. Tentu saja aku kaget, tapi aku tetap berkata dengan yakin, ’’Aku pancasilais kan, Bu? Anak-anak komunis pasti tidak seperti aku, kan, Bu?’’
Ibu melotot memandangiku, takut juga kurasa, lantas ia berseru;
‘’Ya! Benar! Anak-anak komunis sama sekali tidak seperti kau dan semua anak di desa ini!!!’

Tengku Ariy Dipantara, Malaka, Januari 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar