10 Apr 2015

Sang Tumbal

“Man, kau tahu cerita tentang Pak Joyo yang memerahkan bata dengan menumbalkan empat pekerjanya itu? Dia menyuruh Aceng memenggal kepala mereka dan mencipratkan darah ke atas tumpukan bata, bahkan kabarnya, salah satu kepala itu dipanggang! Semuanya pak Joyo lakukan sebagai tumbal agar batanya menjadi merah, Man. Ya, segala sesuatu itu memang perlu tumbal, seperti sekarang, Man. Anggap saja keluargamu itu sebagai tumbal, demi negara yang lebih baik, demi ibu pertiwi yang sedang hamil tua, tumbal demi anak cucu kita di masa depan.”

***
 
NAMANYA Sardiman, lebih lengkapnya, Lettu Sardiman. Kemarin ia genap berusia tiga puluh empat tahun. Memiliki istri yang muda dan soleha, sepasang anak yang gemuk dan sehat, dan kabarnya sebentar lagi ia akan naik pangkat menjadi kapten.
Tapi itu kemarin; kemarin jelas berbeda dengan hari ini. Siapa pula yang mau tetap hidup di hari kemarin? Namun tunggu dulu, tak ada yang bisa dipastikan begitu saja di bumi manusia ini. Coba tanyakan kepada Sardiman pertanyaan tadi, pasti dengan lantang ia bakal menjawab: “Ya! Aku mau!”
Segalanya berputar 160 derajat dari apa yang selama ini Sardiman idamkan. Di perayaan ulang tahunnya yang ke tiga puluh empat, satu truk berisi orang-orang berwajah minyak dengan seragam serba hijau merangsek masuk dengan cara yang mereka anggap cukup beradab: menabrak pagar yang terbentuk alami dari rerumputan sampai lebur.
Sardiman langsung melompat dari sofa dan bergegas masuk ke dalam kamar. Seperdetik kemudian ia terlihat menenteng sebuah senapan tjung di lengan kirinya.
“Bawa anak-anak ngungsi ke rumah Mbah, lewat dapur keluarnya! Segera, Nduk!” perintahnya cepat kepada istrinya. Nafasnya masih kepayahan; baru saja ia menelan sepiring besar kue tart yang sedari pagi dibeli istrinya di simpang Majestik. “Pasti ini militan Pemuda Rakyat! Tak salah lagi, kominis sudah bergerak!” batinnya sambil mengendap-endap di lantai rumah
“Lettu Sardiman! Menyerahlah! Keluar dengan tangan di atas pundak!” sebuah suara dari toa menggema di telinganya.
Kapten! Itu kan suara kapten!” Sardiman menelan ludah. Wajahnya yang penuh bopeng menjadi pucat seperti mayit. Ia kenal betul dengan suara Kapten Waskito, atasannya di Kodim. Perlahan Sardiman mulai mengumpulkan keberaniannya untuk segera keluar rumah—sambil meyakinkan diri, ada sebuah kekeliruan yang dilakukan atasannya. Namun ternyata ketakutan itu masih menggelayut manja di ulu hatinya. Ia mengintip untuk memastikan bahwa suara tadi adalah benar suara sang kapten.
‘Dooor! Dooor! Door!’
Tiga kali suara pistol menyalak tak jauh dari samping rumahnya. Tubuh Sardiman bergetar hebat. Keberaniannya menciut ke batas terendah. Perlahan ia bangkit dan segera berlari ke arah dapur.
“Tin…. Tin….” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Ia memanggil dengan suara yang lebih keras, semakin keras, hingga akhirnya ia menangis dan mulai meraung-raung.
Di luar rumahnya kini telah ramai bagai di Pasar Malam. Selain sekompi pasukan tadi, ada pula sekitar delapan puluh penduduk sipil—bersarung, berkopiah, bercelana kolor, bahkan ada yang hanya mengenakan celana dalam—sedang berjongkok seperti barisan sapi yang hendak disembelih.
Dua orang prajurit mengapit tubuh Sardiman yang berjalan sambil terpincang-pincang menuju ke halaman. Lima prajurit lain mulai mengamuk dan membongkar semua laci, kotak kardus, bawah meja, tempat tidur hingga ke lubang tikus yang ada di dalam rumah.
“Dapat, Kep! Senjata buatan Tiongkok! Tergeletak di dapur! Jelas Lettu Sadirman adalah Prajurit Merah!” lapor seorang prajurit sambil menunjukkan senapan tjung yang tadi ditimang-timang oleh Sardiman. Kapten itu terbelalak, bola matanya seakan hendak loncat dari sangkarnya. Namun ia paksakan untuk tetap tersenyum; senyuman yang… kaku. Ragu-ragu ia hendak bicara. Lagaknya malah terlihat seperti kucing yang ketahuan mengambil makanan yang sebenarnya memang jatahnya. Sementara itu sepasang mata merah mengawasi tingkah laku ganjil sang kapten. Mata itu tak mau melepaskan tatapan marahnya. Mata yang marah-merah itu.
*
NAMANYA Sardiman, lebih lengkapnya, Lettu Sardiman. Kemarin siang pahanya ditembus peluru panas dan sekarang ia mengendap-endap di lantai dingin RTM Jalan Gandhi.
Pikirannya kalut, segala macam pertanyaan menggempur relung otaknya. Dengan susah payah ia menggoreskan sebuah nama di dinding sel dengan sendok penyok, ‘WASKITO KE…’. Ia hendak melanjutkan sebelum kukunya patah karena emosi yang merambat dahsyat.
Bajingan itu! akan tiba saatnya senapan tjung pemberiannya itu kembali kepadanya bersama peluru-pelurunya!”
Sardiman terus merutuk di hadapan seekor tikus dan beberapa ekor kecoa yang melenggang tak peduli di sekitarnya. Hantu-hantu yang berkeliaran di dalam sel sampai tak tega untuk menertawainya.
Tiba-tiba ia terisak, wajah istri dan anak-anaknya datang dan meratap di hadapannya.
Kalau saja mereka tak aku suruh lari, tak perlu mereka ditembak mati, aku yang bodoh! Aku yang bajingan! Kalau saja aku tak ulang tahun, tak perlu mereka pulang ke rumah! Kalau saja… kalau saja…” dan segala macam “kalau” yang lain mengantri untuk ikut meramaikan ruangan di dalam kepalanya.
Tubuhnya melesak tak bertenaga ke lantai yang semakin dingin. Ia mulai menciumi lantai seakan-akan ada wajah istrinya terukir di sana.
Sementara itu pintu sel berderit tanda baru saja terbuka. Seorang pria buntal bermata sipit berjalan pelan menembus kegelapan menuju ke arah Sardiman. Lantas ia berlutut tepat di samping kepala Sardiman: kepala yang sedang sibuk menjamu tamu-tamu celaka.
“Man, tidur kau?”
Sardiman tak menjawab dengan kata, ia menjawab dengan menggerakkan kepalanya ke arah berlawanan.
“Jangan kau dendam padaku, Man. Bukan hanya karena senapan itu kau ditangkap. Aku juga punya senapan itu di rumah, Pak Mulyo juga punya di rumahnya. Itu kan oleh-oleh dari Pak Kolonel waktu beliau berkunjung ke Cina.”
Suara itu merayu-rayu di kuping Sardiman. Suara yang sama dengan suara yang ia dengar tadi pagi, namun dengan bobot yang berbeda.
“Aku janji akan menghukum prajurit yang menembak istri dan anak-anakmu. Aku janji, Man!” lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sardiman.
“Man! Bangun kau! Ini perintah!” Si pemilik suara meninggikan intonasinya karena mulai merasa bosan mendengar bujukannya sendiri.
“Ingat-ingatlah saat kau dengan bangga bercerita pada bawahanmu bagaimana kau menghadiri ulang tahun PKI di Jakarta, Mei kemarin. Ingat kau? Pak Mulyo juga mendengarnya. Aku tahu kau hanya datang karena kebetulan kau sedang di Jakarta, aku tahu, Man! Tapi itu pula masalahnya. Siapapun yang turut hadir di sana telah dimasukkan ke dalam daftar Prajurit Merah oleh intel Kostrad. Aku tak bisa menolongmu …” Waskito cepat-cepat menyambung kata-katanya, “tapi paling tidak aku bisa membuatmu mati secara patriotik, bukan sebagai komunis pemberontak. Ingat kau sumpah prajurit, Man?”
Melihat tak juga ada respon, si buntal berdiri dan berjalan keluar meninggalkan Sardiman bersama kejengkelannya yang hampir meletup.
Sardiman tak mau peduli. Dengan pikiran yang diaduk-aduk begini rupa, ia tak sanggup menghubungkan apa yang dikatakan suara itu dengan apa yang menimpanya sekarang. Sardiman mengintip dari balik bahunya. Ia menangis kembali, terisak kembali. Sungguh benar-benar memalukan kondisinya saat ini. Terlintas di kepalanya bagaimana kiranya keadaannya saat ini dipertontonkan kepada masyarakat di sekitar rumah yang dulu sering ia takut-takuti dengan pistolnya, yang sering ia suruh-suruh sekehendak hatinya, ia klakson bila menutupi jalan mobilnya, ia hardik hanya untuk menunjukkan kepangkatannya, dan segala macam kebatilan lainnya. Kembali ia menangis, kembali ia terisak menyadari dirinya yang sudah tak beda jauh dengan seekor macan ompong, tua pula.
*
NAMANYA Sardiman, namun kini tanpa embel-embel lettu lagi. Hanya Sardiman. Kemarin ia genap berusia tiga puluh empat tahun, namun kini tanpa istri, tanpa anak-anak, dan tanpa tanda kepangkatan. Di tengah malam buta, mendekati perayaan tahun baru 1966, ia berjalan melewati serombongan regu tembak dengan kegagahan terakhirnya; kegagahan yang ia dapatkan dari Kapten Waskito. Ia berdiri dengan tegap, khas militer, lalu berbisik pelan:
Aku mati dan menjadi tumbal demi lahirnya negeri yang baru, orde yang baru, orde yang lebih baik. Semoga!"

*Tengku Ariy Dipantara, lahir di Malaka 25 Maret. Tulisan di atas dimuat di Pikiran Rakyat 5 April 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

10 Apr 2015

Sang Tumbal

“Man, kau tahu cerita tentang Pak Joyo yang memerahkan bata dengan menumbalkan empat pekerjanya itu? Dia menyuruh Aceng memenggal kepala mereka dan mencipratkan darah ke atas tumpukan bata, bahkan kabarnya, salah satu kepala itu dipanggang! Semuanya pak Joyo lakukan sebagai tumbal agar batanya menjadi merah, Man. Ya, segala sesuatu itu memang perlu tumbal, seperti sekarang, Man. Anggap saja keluargamu itu sebagai tumbal, demi negara yang lebih baik, demi ibu pertiwi yang sedang hamil tua, tumbal demi anak cucu kita di masa depan.”

***
 
NAMANYA Sardiman, lebih lengkapnya, Lettu Sardiman. Kemarin ia genap berusia tiga puluh empat tahun. Memiliki istri yang muda dan soleha, sepasang anak yang gemuk dan sehat, dan kabarnya sebentar lagi ia akan naik pangkat menjadi kapten.
Tapi itu kemarin; kemarin jelas berbeda dengan hari ini. Siapa pula yang mau tetap hidup di hari kemarin? Namun tunggu dulu, tak ada yang bisa dipastikan begitu saja di bumi manusia ini. Coba tanyakan kepada Sardiman pertanyaan tadi, pasti dengan lantang ia bakal menjawab: “Ya! Aku mau!”
Segalanya berputar 160 derajat dari apa yang selama ini Sardiman idamkan. Di perayaan ulang tahunnya yang ke tiga puluh empat, satu truk berisi orang-orang berwajah minyak dengan seragam serba hijau merangsek masuk dengan cara yang mereka anggap cukup beradab: menabrak pagar yang terbentuk alami dari rerumputan sampai lebur.
Sardiman langsung melompat dari sofa dan bergegas masuk ke dalam kamar. Seperdetik kemudian ia terlihat menenteng sebuah senapan tjung di lengan kirinya.
“Bawa anak-anak ngungsi ke rumah Mbah, lewat dapur keluarnya! Segera, Nduk!” perintahnya cepat kepada istrinya. Nafasnya masih kepayahan; baru saja ia menelan sepiring besar kue tart yang sedari pagi dibeli istrinya di simpang Majestik. “Pasti ini militan Pemuda Rakyat! Tak salah lagi, kominis sudah bergerak!” batinnya sambil mengendap-endap di lantai rumah
“Lettu Sardiman! Menyerahlah! Keluar dengan tangan di atas pundak!” sebuah suara dari toa menggema di telinganya.
Kapten! Itu kan suara kapten!” Sardiman menelan ludah. Wajahnya yang penuh bopeng menjadi pucat seperti mayit. Ia kenal betul dengan suara Kapten Waskito, atasannya di Kodim. Perlahan Sardiman mulai mengumpulkan keberaniannya untuk segera keluar rumah—sambil meyakinkan diri, ada sebuah kekeliruan yang dilakukan atasannya. Namun ternyata ketakutan itu masih menggelayut manja di ulu hatinya. Ia mengintip untuk memastikan bahwa suara tadi adalah benar suara sang kapten.
‘Dooor! Dooor! Door!’
Tiga kali suara pistol menyalak tak jauh dari samping rumahnya. Tubuh Sardiman bergetar hebat. Keberaniannya menciut ke batas terendah. Perlahan ia bangkit dan segera berlari ke arah dapur.
“Tin…. Tin….” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Ia memanggil dengan suara yang lebih keras, semakin keras, hingga akhirnya ia menangis dan mulai meraung-raung.
Di luar rumahnya kini telah ramai bagai di Pasar Malam. Selain sekompi pasukan tadi, ada pula sekitar delapan puluh penduduk sipil—bersarung, berkopiah, bercelana kolor, bahkan ada yang hanya mengenakan celana dalam—sedang berjongkok seperti barisan sapi yang hendak disembelih.
Dua orang prajurit mengapit tubuh Sardiman yang berjalan sambil terpincang-pincang menuju ke halaman. Lima prajurit lain mulai mengamuk dan membongkar semua laci, kotak kardus, bawah meja, tempat tidur hingga ke lubang tikus yang ada di dalam rumah.
“Dapat, Kep! Senjata buatan Tiongkok! Tergeletak di dapur! Jelas Lettu Sadirman adalah Prajurit Merah!” lapor seorang prajurit sambil menunjukkan senapan tjung yang tadi ditimang-timang oleh Sardiman. Kapten itu terbelalak, bola matanya seakan hendak loncat dari sangkarnya. Namun ia paksakan untuk tetap tersenyum; senyuman yang… kaku. Ragu-ragu ia hendak bicara. Lagaknya malah terlihat seperti kucing yang ketahuan mengambil makanan yang sebenarnya memang jatahnya. Sementara itu sepasang mata merah mengawasi tingkah laku ganjil sang kapten. Mata itu tak mau melepaskan tatapan marahnya. Mata yang marah-merah itu.
*
NAMANYA Sardiman, lebih lengkapnya, Lettu Sardiman. Kemarin siang pahanya ditembus peluru panas dan sekarang ia mengendap-endap di lantai dingin RTM Jalan Gandhi.
Pikirannya kalut, segala macam pertanyaan menggempur relung otaknya. Dengan susah payah ia menggoreskan sebuah nama di dinding sel dengan sendok penyok, ‘WASKITO KE…’. Ia hendak melanjutkan sebelum kukunya patah karena emosi yang merambat dahsyat.
Bajingan itu! akan tiba saatnya senapan tjung pemberiannya itu kembali kepadanya bersama peluru-pelurunya!”
Sardiman terus merutuk di hadapan seekor tikus dan beberapa ekor kecoa yang melenggang tak peduli di sekitarnya. Hantu-hantu yang berkeliaran di dalam sel sampai tak tega untuk menertawainya.
Tiba-tiba ia terisak, wajah istri dan anak-anaknya datang dan meratap di hadapannya.
Kalau saja mereka tak aku suruh lari, tak perlu mereka ditembak mati, aku yang bodoh! Aku yang bajingan! Kalau saja aku tak ulang tahun, tak perlu mereka pulang ke rumah! Kalau saja… kalau saja…” dan segala macam “kalau” yang lain mengantri untuk ikut meramaikan ruangan di dalam kepalanya.
Tubuhnya melesak tak bertenaga ke lantai yang semakin dingin. Ia mulai menciumi lantai seakan-akan ada wajah istrinya terukir di sana.
Sementara itu pintu sel berderit tanda baru saja terbuka. Seorang pria buntal bermata sipit berjalan pelan menembus kegelapan menuju ke arah Sardiman. Lantas ia berlutut tepat di samping kepala Sardiman: kepala yang sedang sibuk menjamu tamu-tamu celaka.
“Man, tidur kau?”
Sardiman tak menjawab dengan kata, ia menjawab dengan menggerakkan kepalanya ke arah berlawanan.
“Jangan kau dendam padaku, Man. Bukan hanya karena senapan itu kau ditangkap. Aku juga punya senapan itu di rumah, Pak Mulyo juga punya di rumahnya. Itu kan oleh-oleh dari Pak Kolonel waktu beliau berkunjung ke Cina.”
Suara itu merayu-rayu di kuping Sardiman. Suara yang sama dengan suara yang ia dengar tadi pagi, namun dengan bobot yang berbeda.
“Aku janji akan menghukum prajurit yang menembak istri dan anak-anakmu. Aku janji, Man!” lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sardiman.
“Man! Bangun kau! Ini perintah!” Si pemilik suara meninggikan intonasinya karena mulai merasa bosan mendengar bujukannya sendiri.
“Ingat-ingatlah saat kau dengan bangga bercerita pada bawahanmu bagaimana kau menghadiri ulang tahun PKI di Jakarta, Mei kemarin. Ingat kau? Pak Mulyo juga mendengarnya. Aku tahu kau hanya datang karena kebetulan kau sedang di Jakarta, aku tahu, Man! Tapi itu pula masalahnya. Siapapun yang turut hadir di sana telah dimasukkan ke dalam daftar Prajurit Merah oleh intel Kostrad. Aku tak bisa menolongmu …” Waskito cepat-cepat menyambung kata-katanya, “tapi paling tidak aku bisa membuatmu mati secara patriotik, bukan sebagai komunis pemberontak. Ingat kau sumpah prajurit, Man?”
Melihat tak juga ada respon, si buntal berdiri dan berjalan keluar meninggalkan Sardiman bersama kejengkelannya yang hampir meletup.
Sardiman tak mau peduli. Dengan pikiran yang diaduk-aduk begini rupa, ia tak sanggup menghubungkan apa yang dikatakan suara itu dengan apa yang menimpanya sekarang. Sardiman mengintip dari balik bahunya. Ia menangis kembali, terisak kembali. Sungguh benar-benar memalukan kondisinya saat ini. Terlintas di kepalanya bagaimana kiranya keadaannya saat ini dipertontonkan kepada masyarakat di sekitar rumah yang dulu sering ia takut-takuti dengan pistolnya, yang sering ia suruh-suruh sekehendak hatinya, ia klakson bila menutupi jalan mobilnya, ia hardik hanya untuk menunjukkan kepangkatannya, dan segala macam kebatilan lainnya. Kembali ia menangis, kembali ia terisak menyadari dirinya yang sudah tak beda jauh dengan seekor macan ompong, tua pula.
*
NAMANYA Sardiman, namun kini tanpa embel-embel lettu lagi. Hanya Sardiman. Kemarin ia genap berusia tiga puluh empat tahun, namun kini tanpa istri, tanpa anak-anak, dan tanpa tanda kepangkatan. Di tengah malam buta, mendekati perayaan tahun baru 1966, ia berjalan melewati serombongan regu tembak dengan kegagahan terakhirnya; kegagahan yang ia dapatkan dari Kapten Waskito. Ia berdiri dengan tegap, khas militer, lalu berbisik pelan:
Aku mati dan menjadi tumbal demi lahirnya negeri yang baru, orde yang baru, orde yang lebih baik. Semoga!"

*Tengku Ariy Dipantara, lahir di Malaka 25 Maret. Tulisan di atas dimuat di Pikiran Rakyat 5 April 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar