“Man,
kau tahu cerita tentang Pak Joyo yang memerahkan bata dengan
menumbalkan empat pekerjanya itu? Dia menyuruh Aceng memenggal kepala
mereka dan mencipratkan darah ke atas tumpukan bata, bahkan kabarnya,
salah satu kepala itu dipanggang! Semuanya pak Joyo lakukan sebagai
tumbal agar batanya menjadi merah, Man. Ya, segala sesuatu itu memang
perlu tumbal, seperti sekarang, Man. Anggap saja keluargamu itu sebagai
tumbal, demi negara yang lebih baik, demi ibu pertiwi yang sedang hamil
tua, tumbal demi anak cucu kita di masa depan.”
***
Tapi
itu kemarin; kemarin jelas berbeda dengan hari ini. Siapa pula yang mau
tetap hidup di hari kemarin? Namun tunggu dulu, tak ada yang bisa
dipastikan begitu saja di bumi manusia ini. Coba tanyakan kepada
Sardiman pertanyaan tadi, pasti dengan lantang ia bakal menjawab: “Ya!
Aku mau!”
Segalanya
berputar 160 derajat dari apa yang selama ini Sardiman idamkan. Di
perayaan ulang tahunnya yang ke tiga puluh empat, satu truk berisi
orang-orang berwajah minyak dengan seragam serba hijau merangsek masuk
dengan cara yang mereka anggap cukup beradab: menabrak pagar yang
terbentuk alami dari rerumputan sampai lebur.
Sardiman
langsung melompat dari sofa dan bergegas masuk ke dalam kamar.
Seperdetik kemudian ia terlihat menenteng sebuah senapan tjung di lengan kirinya.
“Bawa
anak-anak ngungsi ke rumah Mbah, lewat dapur keluarnya! Segera, Nduk!”
perintahnya cepat kepada istrinya. Nafasnya masih kepayahan; baru saja
ia menelan sepiring besar kue tart yang sedari pagi dibeli istrinya di
simpang Majestik. “Pasti ini militan Pemuda Rakyat! Tak salah lagi, kominis sudah bergerak!” batinnya sambil mengendap-endap di lantai rumah
“Lettu Sardiman! Menyerahlah! Keluar dengan tangan di atas pundak!” sebuah suara dari toa menggema di telinganya.
“Kapten! Itu kan suara kapten!” Sardiman
menelan ludah. Wajahnya yang penuh bopeng menjadi pucat seperti mayit.
Ia kenal betul dengan suara Kapten Waskito, atasannya di Kodim. Perlahan
Sardiman mulai mengumpulkan keberaniannya untuk segera keluar
rumah—sambil meyakinkan diri, ada sebuah kekeliruan yang dilakukan
atasannya. Namun ternyata ketakutan itu masih menggelayut manja di ulu
hatinya. Ia mengintip untuk memastikan bahwa suara tadi adalah benar
suara sang kapten.
‘Dooor! Dooor! Door!’
Tiga
kali suara pistol menyalak tak jauh dari samping rumahnya. Tubuh
Sardiman bergetar hebat. Keberaniannya menciut ke batas terendah.
Perlahan ia bangkit dan segera berlari ke arah dapur.
“Tin….
Tin….” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Ia memanggil dengan suara
yang lebih keras, semakin keras, hingga akhirnya ia menangis dan mulai
meraung-raung.
Di
luar rumahnya kini telah ramai bagai di Pasar Malam. Selain sekompi
pasukan tadi, ada pula sekitar delapan puluh penduduk sipil—bersarung,
berkopiah, bercelana kolor, bahkan ada yang hanya mengenakan celana
dalam—sedang berjongkok seperti barisan sapi yang hendak disembelih.
Dua
orang prajurit mengapit tubuh Sardiman yang berjalan sambil
terpincang-pincang menuju ke halaman. Lima prajurit lain mulai mengamuk
dan membongkar semua laci, kotak kardus, bawah meja, tempat tidur hingga
ke lubang tikus yang ada di dalam rumah.
“Dapat, Kep! Senjata buatan Tiongkok! Tergeletak di dapur! Jelas Lettu Sadirman adalah Prajurit Merah!” lapor seorang prajurit sambil menunjukkan senapan tjung
yang tadi ditimang-timang oleh Sardiman. Kapten itu terbelalak, bola
matanya seakan hendak loncat dari sangkarnya. Namun ia paksakan untuk
tetap tersenyum; senyuman yang… kaku. Ragu-ragu ia hendak bicara.
Lagaknya malah terlihat seperti kucing yang ketahuan mengambil makanan
yang sebenarnya memang jatahnya. Sementara itu sepasang mata merah
mengawasi tingkah laku ganjil sang kapten. Mata itu tak mau melepaskan
tatapan marahnya. Mata yang marah-merah itu.
*
NAMANYA
Sardiman, lebih lengkapnya, Lettu Sardiman. Kemarin siang pahanya
ditembus peluru panas dan sekarang ia mengendap-endap di lantai dingin
RTM Jalan Gandhi.
Pikirannya
kalut, segala macam pertanyaan menggempur relung otaknya. Dengan susah
payah ia menggoreskan sebuah nama di dinding sel dengan sendok penyok,
‘WASKITO KE…’. Ia hendak melanjutkan sebelum kukunya patah karena emosi
yang merambat dahsyat.
“Bajingan itu! akan tiba saatnya senapan tjung pemberiannya itu kembali kepadanya bersama peluru-pelurunya!”
Sardiman
terus merutuk di hadapan seekor tikus dan beberapa ekor kecoa yang
melenggang tak peduli di sekitarnya. Hantu-hantu yang berkeliaran di
dalam sel sampai tak tega untuk menertawainya.
Tiba-tiba ia terisak, wajah istri dan anak-anaknya datang dan meratap di hadapannya.
“Kalau
saja mereka tak aku suruh lari, tak perlu mereka ditembak mati, aku
yang bodoh! Aku yang bajingan! Kalau saja aku tak ulang tahun, tak perlu
mereka pulang ke rumah! Kalau saja… kalau saja…” dan segala macam “kalau” yang lain mengantri untuk ikut meramaikan ruangan di dalam kepalanya.
Tubuhnya
melesak tak bertenaga ke lantai yang semakin dingin. Ia mulai menciumi
lantai seakan-akan ada wajah istrinya terukir di sana.
Sementara
itu pintu sel berderit tanda baru saja terbuka. Seorang pria buntal
bermata sipit berjalan pelan menembus kegelapan menuju ke arah Sardiman.
Lantas ia berlutut tepat di samping kepala Sardiman: kepala yang sedang
sibuk menjamu tamu-tamu celaka.
“Man, tidur kau?”
Sardiman tak menjawab dengan kata, ia menjawab dengan menggerakkan kepalanya ke arah berlawanan.
“Jangan
kau dendam padaku, Man. Bukan hanya karena senapan itu kau ditangkap.
Aku juga punya senapan itu di rumah, Pak Mulyo juga punya di rumahnya.
Itu kan oleh-oleh dari Pak Kolonel waktu beliau berkunjung ke Cina.”
Suara
itu merayu-rayu di kuping Sardiman. Suara yang sama dengan suara yang
ia dengar tadi pagi, namun dengan bobot yang berbeda.
“Aku
janji akan menghukum prajurit yang menembak istri dan anak-anakmu. Aku
janji, Man!” lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sardiman.
“Man!
Bangun kau! Ini perintah!” Si pemilik suara meninggikan intonasinya
karena mulai merasa bosan mendengar bujukannya sendiri.
“Ingat-ingatlah
saat kau dengan bangga bercerita pada bawahanmu bagaimana kau
menghadiri ulang tahun PKI di Jakarta, Mei kemarin. Ingat kau? Pak Mulyo
juga mendengarnya. Aku tahu kau hanya datang karena kebetulan kau
sedang di Jakarta, aku tahu, Man! Tapi itu pula masalahnya. Siapapun
yang turut hadir di sana telah dimasukkan ke dalam daftar Prajurit Merah
oleh intel Kostrad. Aku tak bisa menolongmu …” Waskito cepat-cepat
menyambung kata-katanya, “tapi paling tidak aku bisa membuatmu mati
secara patriotik, bukan sebagai komunis pemberontak. Ingat kau sumpah
prajurit, Man?”
Melihat
tak juga ada respon, si buntal berdiri dan berjalan keluar meninggalkan
Sardiman bersama kejengkelannya yang hampir meletup.
Sardiman
tak mau peduli. Dengan pikiran yang diaduk-aduk begini rupa, ia tak
sanggup menghubungkan apa yang dikatakan suara itu dengan apa yang
menimpanya sekarang. Sardiman mengintip dari balik bahunya. Ia menangis
kembali, terisak kembali. Sungguh benar-benar memalukan kondisinya saat
ini. Terlintas di kepalanya bagaimana kiranya keadaannya saat ini
dipertontonkan kepada masyarakat di sekitar rumah yang dulu sering ia
takut-takuti dengan pistolnya, yang sering ia suruh-suruh sekehendak
hatinya, ia klakson bila menutupi jalan mobilnya, ia hardik hanya untuk
menunjukkan kepangkatannya, dan segala macam kebatilan lainnya. Kembali
ia menangis, kembali ia terisak menyadari dirinya yang sudah tak beda
jauh dengan seekor macan ompong, tua pula.
*
NAMANYA
Sardiman, namun kini tanpa embel-embel lettu lagi. Hanya Sardiman.
Kemarin ia genap berusia tiga puluh empat tahun, namun kini tanpa istri,
tanpa anak-anak, dan tanpa tanda kepangkatan. Di tengah malam buta,
mendekati perayaan tahun baru 1966, ia berjalan melewati serombongan
regu tembak dengan kegagahan terakhirnya; kegagahan yang ia dapatkan
dari Kapten Waskito. Ia berdiri dengan tegap, khas militer, lalu
berbisik pelan:
“Aku mati dan menjadi tumbal demi lahirnya negeri yang baru, orde yang baru, orde yang lebih baik. Semoga!"
*Tengku Ariy Dipantara, lahir di Malaka 25 Maret. Tulisan di atas dimuat di Pikiran Rakyat 5 April 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar