29 Des 2015

PESAN NJOTO UNTUK PERS INDONESIA



Sesungguhnya, tak ada ilmu yang tak berguna, dan tak ada sejarah yang kadaluarsa.
Belakangan ini saya (mungkin juga Anda) merasa agak muak melihat gaya "berbicara" pers kita yang terkesan bombastis, cenderung memfitnah, yang kesemuanya demi keuntungan profit jual-menjual lidah. Kesannya mereka-mereka itu telah ber-evolusi dari sang "pembawa kebenaran" (meminjam istilah Mas Marco) menjadi tak lebih dari sang penyebar kerecokan. Sebab, bukankah hanya yang recok-recok sajalah yang laku dijual. Puluhan tahun yang lalu, Njoto, Wakil Ketua II PKI, sudah mendeteksi gejala-gejala penyakit yang menyerang pers masa kini, yang diwariskan dari pers kanan pembebek Amerika. Untuk itulah saya hendak mengajak sdr semua untuk berkaca pada pesan-pesan yang pernah beliau ucapkan. Sedikit tulisan dibawah ini saya kumpulkan dari buku "Pers dan Massa" Njoto, N.V. Rakjat, 1960.


" ...Galib dikatakan, bahwa setengah kebenaran masih lebih berbahaya daripada kebohongan seratus prosen. Tetapi akan saya coba untuk membuktikan, bahwa pers kanan bukannya menghidangkan setengah kebenaran kepada pembaca-pembacanya, melainkan seperlima, dan tidak jarang sepersepuluh saja dari kebenaran.
Dalam keadaan yang demikian, tugas dari pers yang mempunyai harga diri, pers yang menyadari arti suci kejujuran, sungguh tidak ringan. Dewan Redaksi Harian Rakjat selalu mengingat kata-kata pengarang demokrat Belanda yang besar, Multatuli, kata-kata yang kami anggap ditujukan kepada setiap orang yang jujur. Kata Multatuli:
Padamu terletak tugas kemanusiaan!
Tugas itu mengharuskan: berusaha ke arah kebenaran
Dan di mana-mana terdapat kebohongan.
Maju! Berjuang terhadap kebohongan! Ayo berjuang! Maju, ke arah kemenangan!
Kata-kata Multatuli yang tajam ini berharga benar bagi setiap surat kabar, setiap redaktur dan setiap koresponden, yang mengabdi atau ingin mengabdi kepada Rakyat. Membohongi pembaca tidaklah sukar, tetapi membohongi pembaca berarti juga membohongi diri sendiri. Di sini orang tertumbuk pada hati nurani. Karena menyadari hal ini, maka kata-kata Multatuli itu kami simpan dalam hati sebagai intan daripada intan.
....
Jika kita ikuti koran “Pedoman”, “Keng Po”, “Indonesia Raya” dan juga “Abadi”, maka seolah-olah orang Jawa jahat semua, atau orang Minangkabau luar biasa semua, atau PNI korup semua, atau NU “kyai-kyai juga bodoh” semua. Sudah tentu – Rakyat “bodoh semua” dan PSI “pintar semua”! Penyakit main UMUM-UMUMAN ini oleh Multatuli pernah dicanangkan sebagai penyakit yang paling berbahaya.
Atau kita ambil-lah segi yang lain: kalau pers kanan tidak melebih-lebihkan sesuatu, dia mengecilkan sesuatu, begitu rupa, sehingga yang tampak hanya karikatur belaka. Sebetulnya, mengecilkan itu adalah juga sifat melebih-lebihkan. Begitulah, jika kita hanya membaca koran-koran kanan, maka Konferensi Asia-Afrika itu hanya apa yang dinamakan “Hospitality Committee”; kabinet Ali-Arifin itu hanya apa yang terkenal sebagai “lisensi istimewa”; dan Presiden Soekarno itu hanya “yang mengawini Hartini”.
....kita selalu menandaskan, bahwa kemerdekaan pers itu sama sekali bukan anarki pers. KEMERDEKAAN ITU SANGAT LUAS, TETAPI KEMERDEKAAN ITU MENGENAL BATAS. Jika tidak ada batas, jika mau mutlak, ia bukan kemerdekaan lagi. Tetapi justru mutlak-mutlakan ini pulalah penyakit kaum reaksioner. Ambillah Hatta. Bagi kaum reaksioner, Hatta ini seperti juga Syahrir, dan lain-lain adalah “dewa” –dia mutlak, dia tidak bisa salah, dia tidak boleh diganggugugat. Sepuluh-dua puluh ribu rupiah pada orang PNI atau NU, itu sudah pasti korupsi. Tetapi 200 juta rupiah Teluknibung Simbolon, itu “bukan korupsi”. Satu rumah Roeslan Abdulgani di Bogor, itu sudah pasti korupsi. Tetapi rumah Hatta yang mewah di Jalan Diponegoro Jakarta itu “bukan korupsi”.
...Saya ingin meminta perhatian saudara-saudara dan kawan-kawan sekalian, agar jangan pengaruh pers reaksioner itu kita remehkan. Sudah sejak sebelum perang dunia kedua, pembaca di Indonesia banyak yang mempercayai saja apa-apa yang ditulis surat kabar. Mereka mengira: jika sesuatu itu sudah ditulis di suratkabar, tentulah ia benar. Lagipula, ada semacam sifat konservatif pada pembaca-pembaca Indonesia, yaitu: sekali berlanggangan suratkabar A, selama-lamanya berlangganan suratkabar A dan tidak mau ganti. Sekarang, keadaan sudah maju. Tetapi keadaan yang saya gambarkan ini, yaitu kecenderungan untuk memercayai segala apa yang ditulis oleh suratkabar manapun, dan sifat konservatif dalam membaca suratkabar, masih saja ada, dan masih agak luas. Inilah keterangannya mengapa perjuangan pers revolusioner itu tidaklah ringan.
Kaum revolusioner, apa pun tugasnya dan dimana pun tempatnya, wajib menyadari bahwa pers revolusioner adalah sebagian dari mesin perjuangan revolusioner yang besar. Oleh sebab itu, maju mundurnya pers revolusioner, baik dalam isi, dalam tipografi, dalam penyebaran maupun dalam keuangan, bukanlah semata-mata soal Dewan Redaksi, Direksi dan Administrasi, melainkan soal seluruh gerakan revolusioner..."



PESAN DARI D.N AIDIT UNTUK PARA SASTRAWAN DAN SENIMAN INDONESIA


D.N Aidit tidak mati-mati. Begitupun dengan segala wejangan beliau. Saya sajikan salah satunya untuk kita, terutama yang bergerak di dalam bidang kesusastraan. Dikutip dari pidatonya di pembukaan Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner, 27 Agustus 1964.
"Mungkin masih ada “kerikil” yang menyebabkan para sastrawan dan seniman kita belum keranjingan untuk menggarap tema-tema besar seperti pemberontakan 1926, tanah pembuangan Digul, pemberontakan “Zeven Provincien”, Revolusi Agustus 1945, pembasmian “PRRI-Permesta”, penghancuran DI-TII, pembebasan Irian Barat dan tema-tema lain yang dapat membangkitkan kebanggaan nasional, misalnya karena melihat adanya kelemahan-kelemahan pada tiap-tiap perjuangan itu. Pemberontakan 1926 adalah pemberontakan yang gagal, di antara orang-orang yang dibuang ke Digul ada yang menyerah kepada Belanda. Pemberontakan “Zeven Provincien” juga gagal. Revolusi Agustus berlangsung tanpa pimpinan yang sadar dari proletariat. “PRRI-Permesta” dan DI-TII diselesaikan dengan kompromi, dan Irian Barat bebas dengan campur tangan Bunker dari Amerika Serikat. Inilah yang mungkin menjadi “kerikil” sehingga tidak menimbulkan rangsang untuk menulis. Jika benar ini yang menjadi sebab, maka sama sekali tidak beralasan. Kegagalan sesuatu pemberontakan revolusioner tidaklah berarti bahwa pemberontakan itu salah, dan sekalipun ia gagal, ia tetap melahirkan pahlawan-pahlawan. Kelemahan beberapa gelintir orang dalam pembuangan tidaklah berarti semua orang buangan revolusioner menjadi pengkhianat dan lemah jiwa seperti coba digambarkan oleh Sutan Sjahrir dalam bukunya “Indonesische Overpeinzingen” (Renungan Indonesia). Biarlah Sutan Sjahrir merenung-renung, tapi sastrawan dan seniman revolusioner harus menuliskan kepahlawanan orang-orang revolusioner tanah pembuangan Digul itu. Jika sesuatu perjuangan “diselesaikan” dengan kompromi, sudah pasti yang berkompromi bukanlah rakyat, dan korban sudah banyak berjatuhan, pahlawan sudah banyak dilahirkan. Jika sesuatu pemberontakan, sesuatu revolusi atau sesuatu aksi gagal atau tidak mencapai tujuan yang sepenuhnya karena tanpa pimpinan yang sadar, ini tidaklah berarti bahwa pemberontakan, revolusi atau aksi itu salah, tidaklah berarti bahwa tidak ada perbuatan kepahlawanan yang harus ditulis. Tentang ketiadaan pimpinan yang sadar dari PKI, justru itu yang juga harus diungkapkan agar lain kali pimpinan dilakukan sesadar-sadarnya oleh PKI. Saya mengetok hati kawan-kawan dengan harapan supaya dalam waktu yang tidak terlalu lama pahlawan-pahlawan yang sudah berjatuhan dan yang masih hidup itu menambah semaraknya perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia lewat karya kawan-kawan.
Siapakah yang bersalah jika ada orang yang mengira bahwa nama “Aliarcham” ada hubungannya dengan “Al Azhar”? Bahwa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” di Jakarta dikira berafiliasi dengan Universitas Al Azhar di Kairo? Tentu bukan salah ayah dan ibu Aliarcham yang memberi nama Arab kepada anaknya, tetapi karena pahlawan rakyat tidak diperkenalkan kepada rakyat yang memiliki pahlawan itu oleh mereka yang harus memperkenalkannya. Sekarang banyak universitas dan akademi memakai nama pahlawan. Ini baik sekali, menandakan bahwa kita generasi sekarang tidak menyia-nyiakan pahlawan-pahlawan kita. Tetapi berapa banyak orang yang mengetahui perbuatan kepahlawanan mereka? Dalam perjuangan yang bagaimana mereka tampil sebagai pahlawan?
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu pernah gambar penulis Soviet Ilya Ehrenburg diarak dalam suatu demonstrasi 1 Mei. Kalau kita mau berterus-terang, berapalah jumlah buku Ehrenburg di negeri kita ini, berapa orang yang sudah membacanya, berapa pula yang membacanya tamat, dan di antara yang membacanya tamat itu berapa orang yang berhasil menarik pelajaran untuk revolusi Indonesia, khususnya untuk perkembangan sastra dan seni revolusioner Indonesia. Jumlah bukunya yang beredar hanya sedikit sekali, yang tamat membacanya bisa dihitung dengan jari dan yang membaca dengan berhasil menarik pelajaran untuk kepentingan revolusi Indonesia mungkin tidak ada. Tapi gambar Ehrenburg diarak. Gejala apa ini, kalau bukan gejala dogmatisme dan formalisme. Karena Ehrenburg seorang penulis Soviet, sedangkan Soviet itu adalah baik, karya-karyanya dikira juga baik, dan oleh karena itu gambarnya diarak sekalipun yang mengarak dan yang menyuruh mengarak tidak tahu apa-apa tentang karya Ehrenburg.
Masih ada lagi sastrawan dan seniman luar negeri yang pernah dipuja-puja oleh sementara orang revolusioner negeri kita dengan tidak memikirkan betapa hubungannya dengan revolusi kita dan dengan perkembangan sastra dan seni revolusioner kita. Saya tidak berbicara tentang apa yang terjadi di kalangan mereka yang tidak revolusioner, karena memuja segala yang datang dari luar negeri, termasuk juga memuja penyebar-penyebar segala yang bertentangan dengan kepentingan revolusi Indonesia, adalah biasa dan akan terus menjadi kebiasaan mereka.
Kita kaum Komunis bisa dan harus pandai menilai dan menghargai karya-karya sastra dan seni progresif dari luar negeri. Tetapi penilaian dan penghargaan kita pertama-tama harus dilihat dari segi hubungannya dengan kepentingan revolusi Indonesia dan tidak boleh berakibat menganggap rendah sastrawan dan seniman kita sendiri serta karya-karyanya. Perkenalan kita dengan karya-karya sastrawan dan seniman progresif luar negeri harus menjadi perangsang bagi kita guna mengenal lebih baik sastrawan dan seniman kita sendiri, guna meningkatkan kesadaran kita tentang keharusan memberi tempat dan penghargaan yang wajar kepada sastrawan dan seniman kita yang sudah tidak ada lagi, serta mendorong maju ke pekerjaan sastrawan dan seniman kita sekarang."

9 Nov 2015

7 November, 98 Tahun yang Lalu

7 November, 98 tahun yang lalu, adalah hari bagi kemenangan Revolusi Rusia 1917. Lelaki botak bermata Tar-Tar, Vladimir Ilyich Lenin, berhasil mengombinasikan kepemimpinan praksis revolusioner dengan sumbangan teoritis yang penting bagi pemahaman sosialis tentang dunia dan bagaimana mengubahnya. Dua kontribusi teoritisnya yang paling penting adalah tentang Imperialisme dan strategi revolusioner di negara-negara terbelakang yang tereksploitasi. Mari kita bahas satu per satu.
Imperialisme:
Saat ini dunia masih didominasi oleh sebuah sistem yang membaginya dalam dua pihak, kaya dan miskin, yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi--tidak hanya antar bangsa, tapi juga diantara bangsa itu sendiri. Sistem yang memaksa orang (klas pekerja atau proletariat) untuk bekerja agar bisa tetap hidup di bawah kontrol mereka (klas penguasa atau borjuasi) yang memiliki semua industri-industri kunci. Klas penguasa dari berbagai bangsa yang berbeda bersaing untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan mengeksploitasi yang lainnya demi keuntungan kapital. Watak dasar sistem inilah yang dianalisa oleh Lenin di tahun 1916. Sebuah kejadian yang menguatkan pembangunan teori Lenin adalah Perang Dunia I, kaum Marxis memahaminya sebagai pertempuran di antara klas penguasa di negara-negara kapitalis maju untuk meraih kontrol sepenuhnya atas dunia beserta sumber daya alamnya.Telah banyak peperangan yang terjadi di abad ini karena pertempuran yang sama, demi pasar yang lebih besar untuk penjualan produk mereka, dan kontrol yang lebih besar atas sumber daya alam dan kaum buruh yang bisa diperbudak.
Salah satu faktor disebutnya sebuah negara sebagai imperialis adalah klas penguasa di suatu negara memunyai modal atau keuntungan yang dapat digunakan untuk investasi di negara lain; investasi itu untuk membeli bahan mentah dan buruh yang ada di negara tempat investasi, dan untuk mengisap laba dari mereka.
Negara Imperialis mulai mendominasi negara dunia ketiga melalui kontrol penjajahan langsung. Sekarang kontrol mereka itu kebanyakan mengambil bentuk dominasi ekonomi atau modal. Kucuran utang yang diberikan bank-bank negara maju kepada Dunia Ketiga yang dipaksakan untuk membiayai "pembangunan" dengan menggunakan pinjaman tersebut, memaksa negara-negara Dunia Ketiga tersebut untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan dari negara-negara imperialis untuk mengeksploitasi secara massif sumber daya alam dan kaum buruh mereka.
Pembagi-bagian dunia oleh kaum imperialis menyediakan sebuah lahan permanen bagi kapitalisme untuk mengeksploitasi secara massif klas pekerja. Sebagai contoh, Nike membayar buruhnya sebesar 25 sen dollar Australia perhari di pabrik mereka yang berada di Indonesia, tapi mereka menjual sepatunya di negara-negara maju seharga ratusan dollar.
Imperialisme mengurung negara dunia ketiga --lebih dari 4 per 5 populasi dunia- dalam kemelaratan, namun mereka mengingkarinya secara sistematis, dengan argumen teknologi dan bantuan finansial yang diberikan itu dibutuhkan untuk pembangunan.
Keuntungan besar bagi klas penguasa di negara-negara imperialis dengan digunakannya sistem ini, memungkinkan kaum penindas itu untuk memperoleh sebuah derajat ketentraman sosial tertentu di negara-negara Dunia Pertama, khususnya Amerika, dengan menyediakan dalam kadar tertentu hak-hak istimewa, yang mengilusi banyak pekerja untuk mempertahankan sistem keuntungan individual. Lenin menyebut lapisan ini (yang terilusi dan menjadi antek kapitalis) sebagai “Aristokrat buruh”, yang seringkali merasa diri bukanlah bagian dari klas pekerja. Ilusi untuk mempertahankan sistem kapitalisme melanda negara-negara Dunia Pertama.
Biasanya, klas penguasa menggunakan kebanggaan nasionalisme untuk menghancurkan solidaritas para pekerja yang ada di negara Imperialis terhadap penindasan yang menimpa kaum buruh di negara Dunia Ketiga; terindoktrinisasi dalam apa yang disebut Wajib Militer. Karena mereka tahu, rasa solidaritas itulah yang dapat memenangkan perjuangan melawan eksploitasi imperialis. Rasisme biasanya juga digunakan untuk memecah-belah buruh-buruh di negara Dunia Pertama dan Ketiga.
Di negara-negara otoriter, sistem ini dipaksakan dengan cara-cara yang lebih brutal seperti kediktatoran, aturan-aturan militer yang hanya menguntungkan klas kapitalis, dan juga represi.
Lalu apa strategi yang diterapkan oleh Lenin pada saat itu?
Lenin menggunakan pengalamannya dalam membangun gerakan revolusioner di Rusia untuk memformulasikan teorinya tentang strategi revolusioner di negara-negara terbelakang.
Tugas terberat kaum revolusioner pada masa kekaisaran Rusia adalah memenangkan kesadaran yang ada pada klas pekerja, dan keterlibatan aktif mereka dalam proses revolusi. Mayoritas rakyat Rusia bukanlah buruh, melainkan para petani yang berada pada taraf subsistensi pra-industrial, dan hak-hak demokratik pun, meskipun bersifat terbatas, ditolak oleh Rezim represif Tsar.
Di Rusia tidak ada syarat untuk melahirkan Revolusi Borjuis seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Barat, di mana aturan-aturan monarki digantikan oleh parlemen yang terpilih. Adanya parlemen ini merefleksikan pertumbuhan kekuatan ekonomi di bidang politik, dan mereka, klas borjuis, menjadi klas penguasa yang baru. Borjuasi Rusia secara ekonomis sangat lemah, dan secara politis mereka takut untuk bekerja sama dengan klas buruh dan tani dalam revolusi borjuis.
Menurut teori “Uninterrupted Revolution“ (revolusi berkelanjutan) yang dikembangkan oleh Lenin, tahapan yang pertama adalah keterlibatan klas pekerja dan seluruh petani dalam penggulingan Tsar dan pembentukan sebuah republik demokratik. Yang kedua, tahapan sosialis yang melibatkan buruh yang bersatu dengan para petani miskin untuk melawan para kulak (tuan tanah).
Untuk memudahkan dan menerapkan tahapan yang pertama, Bolshevik meyakini sebuah sistem yang didasarkan pada perwakilan-perwakilan (soviet) buruh dan tani yang dipilih oleh rakyat. Sistem pemerintahan inilah yang akhirnya diterapkan setelah revolusi 1917.
Reformasi agraria akan tuntas ketika kontrol atau kepemilikan tanah yang dipegang oleh tuan-tuan tanah diambil-alih oleh para petani penggarap. Bagaimanapun, Lenin percaya bahwa para petani miskin tidak akan segera menyadari perbedaan kepentingan mereka dengan petani kaya, dan oleh karena itu, mereka juga tidak akan segera mendukung langkah-langkah sosialis seperti kolektivisasi tanah.
Dalam tahap kedua, kekuasaan politik digunakan oleh klas pekerja untuk memperoleh kontrol ekonomi secara langsung, dan untuk membantu para petani miskin dalam pengambil-alihan atas kontrol tanah.
Pada tahun 1918 Lenin menulis: “Sesuatu telah berubah seperti yang dulu kita katakan. Pelajaran yang didapat dari revolusi telah menegaskan kebenaran penjelasan atas argumen-argumen kita. Pertama, dengan kaum tani melawan monarki, melawan tuan-tuan tanah, melawan pemikiran abad pertengahan atau mediavalism (dan untuk meningkatkan revolusi terhadap sisa-sisa borjuasi, demokratik borjuis). Kemudian bersama dengan kaum petani miskin, semi-proletariat, dan semua yang tereksploitasi, mereka akan berperang membantai kapitalisme, termasuk orang-orang kaya pedesaan, para tengkulak, lintah-darat, dan semuanya itu meningkatkan revolusi ke tahapan sosialis. Jika kita berusaha mendirikan sebuah “Tembok Cina” antara tahap pertama dan kedua, untuk memisahkan keduanya dengan alasan selain tingkatan kesiapan proletariat dan tingkatan persatuan atau kesatuan dengan para petani, berarti sangat mendistorsi Marxisme, menjadikannya vulgar, memindahkan liberalisme ke tempatnya semula.
Ketika Karl Marx dan Frederick Engel meramalkan bahwa revolusi sosialis akan terjadi pertama kali di negara-negara kapitalis maju, ini bukanlah permasalahan bagaimana sejarah berjalan (proceeded). Mereka belum melihat dampak super-profit Imperialis dan aristokrasi perburuhan yang melanda klas pekerja di negara-negara maju.
Kemenangan revolusi Rusia menunjukkan bahwa kapitalisme akan hancur di mata rantainya yang paling lemah. Paska revolusi Rusia, hal ini terulang lagi dan lagi, mulai dari Kuba sampai Nikaragua, dari Vietnam ke Granada, hingga menunggu waktu untuk memerahkan Eropa.
Sesungguhnya, revolusi-revolusi ini sangat mudah dipatahkan, jika Lenin tidak menganalisis ulang akan teorinya. Imperialisme akan memperbesar kekuatannya untuk mendapatkan kembali kontrol dan dominasinya atas negara-negara yang telah memutuskan hubungan dengan kapitalisme. Tahun 1918, negara imperialis melakukan intervensi militer untuk mendukung kapitalis kontra-revolusi di Rusia. Amerika Serikat juga telah melakukan (memimpin) blokade ekonomi selama 40 tahun terhadap Kuba, namun revolusi di sana masih bisa diselamatkan.
Lenin berkata di tahun 1912, “Kita selalu mengutamakan dan memperteguh kebenaran mendasar Marxisme—bahwa usaha penggabungan kaum buruh dari berbagai belahan negara-negara maju adalah dibutuhkan untuk kemenangan Sosialisme."
Di negara-negara terbelakang, pemerintahan sosialis masih menggantungkan diri pada segelintir administrator dan manajer ahli untuk menjalankan ekonomi. Di Rusia, dominasi dilakukan oleh badan birokrasi yang berbasis pada lapisan sosial yang mengambil kekuasaan, yang saat itu dipimpin oleh Joseph Stalin. Lantas yang terjadi kemudian adalah; pria berkumis lebat itu meluluh-lantakkan semua pemikiran-pemikiran Bolshevik tentang organisasi sosial, demokrasi partai, dan internasionalisme.
Sayangnya, banyak yang mengganggap ide-ide tersebut (stalinisme) adalah sosialisme. Teori Stalin yang sungguh keliru, “Building Socialism in One Country” (Sosialisme dalam satu negeri) digunakan untuk mengorbankan perjuangan sosialis di banyak negara demi mempertahankan kepentingan-kepentingan mendesak Uni-Soviet. Sesungguhnya, tipikal nasionalis chauvinis ini bukanlah ajaran-ajaran dari Lenin, apalagi Karl Marx. Dan sejarah kelam era-Stalin inilah yang terus dikunyah-kunyah oleh praktisi-praktisi anti-Marxis hingga saat ini.
Karena imperialisme adalah sebuah sistem penindasan yang berskala Internasional, maka dibutuhkan sebuah perjuangan yang berskala internasional pula. Internasionalisme revolusioner menurut Lenin berarti mendukung perjuangan melawan segala penindasan dan eksploitasi yang terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk pemerintahan kita sendiri



















18 Apr 2015

Surat Terbuka Dewi Sukarno kepada Presiden Soeharto (1970)




Tuan Presiden Suharto

Bersama ini saya ingin mengingatkan Tuan terhadap segala sesuatu yang nampaknya oleh Tuan akan dilupakan. Hal-hal yang akan dikemukakan ini saya anggap sebagai kewajiban bagi saya untuk menjelaskannya secara benar, karena saya justru mengikuti peristiwa-peristiwa di In­donesia itu dari dekat.
Barangkali sementara orang akan berpendapat akan lebih baik kalau saya diam seribu bahasa seperti Sphinks (arca batu di Mesir) dalam hal ini. Akan tetapi karena saya tanggung jawab maka saya harus melakukan hal ini biar membawa resiko betapapun besrnya terhadap diri saya. Ini pun karena makin lama di seluruh dunia maupun di Indonesia sendiri banyak tersebar cerita-cerita palsu yang disebarkan tentang peristiwa-peristiwa di Indonesia itu; sehingga membeberkan keadaan yang sebenarnya itu merupakan kewajiban saya.
Karena itulah saya kirimkan surat terbuka ini kepada Tuan dalam kedudukan saya sebagai warga negara Indonesia. Selain itu surat terbuka yang saya kirimkan kepada Tuan ini termasuk segala isinya adalah sepenuhnya tanggung jawab saya, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang terdahulu.
Sebenarnya agaknya sudah terlambat untuk mempersoalkan kembali tentang para perwira yang telah dinyatakan sebagai “kontra revolusi” atau pemberontak-pemberontak terhadap Negara di mana mereka telah sama dihukum mati.
Selama ini saya selalu berpendirian tidak sependapat dengan adanya dalil bahwa ” yang berkuasa itu selalu benar” (power can do no wrong). Sikap ini pun sama sewaktu Presiden Soekarno berkuasa. Saya berpendapat bahwa seorang Kepala Negara itu mesti dikerumuni oleh orang-orang yang mendukungnya. Begitu juga halnya dengan Tuan: bahwa di sekeliling Tuan itu banyak orang-orang berkerumun yang pada umumnya tidak berani membuka mulutnya berpura-pura taat dan tunduk; bahkan ada yang menjilat yang pada hakekatnya mereka bertujuan untuk mendapatkan kesempatan berkuasa lebih banyak. Karena itulah apa yang sebenarnya terjadi di sekitar Tuan sulit akan terungkap.
Pertama-tama dalam surat terbuka saya ini saya ingin mengemukakan apa yang disebut “proses” dimana banyak orang telah dibunuh karena dituduh melakukan kejahatan terhadap Negara. “proses” ini yang sebenamya terjadi di luar norma-norma Hukum dan Keadilan lebih tepat untuk disebut “teror dan kekerasan”
Dan mereka orang-orang yang tidak puas dan tidak mau bicara sewaktu kekuasaan Soekarno maka setelah situasi berubah lalu bersikap tidak bertanggung jawab dan turut serta melakukan pembunuhan dan teror. Dalam hal ini Tuan telah membiarkahnya. Andai kata nanti pada suatu ketika kedudukan Tuan diganti oleh orang lain sudah tentu akan terjadi hal yang sama dimana pembantu-pembantu Tuan yang penting sipil maupun militer termasuk mungkin Tuan sendiri akan mendapat perlakuan yang sama di mana mereka dituduh dan dituntut dengan hukuman mati dengan berbagai dalih misal “karena melakukan korupsi”
Dalam hubungan ini saya ingin bertanya kepada Tuan : “Mengapa Tuan membiarkan dan memberi kesempatan semua itu berlalu yang dapat menjadi contoh jelek bagi suatu Negara yang masih muda dan rakyatnya sedang berkembang, yaitu Indonesia ?”
Bukan maksud saya untuk mencela kebijaksanaan politik yang Tuan lakukan. Akan tetapi perhatian tertumpah kepada mereka yang dibunuh dan diteror dengan memakai dalih “pembersihan terhadap golongan merah” sejak peristiwa G 30 S itu terjadi. Padahal kebanyakan dari mereka itu hanyalah pengikut-pengikut Soekarno yang tidak tahu menahu tentang peristiwa G 30 S.
Bahkan saya memperoleh berita bahwa tidak kurang dari 800.000 Rakyat Indonesia yang telah terbunuh diantaranya trdapat kaum wanita dan anak-anak karena hanya sebagai simpatisan PKI.
Harian London Times membuat berita pada Januari 1966 sebagai berikut “Bahkan sejak pecahnya peristiwa G 30 S itu dalam 3 bulan telah ratusan ribu kaum komunis yang dibunuh jumlah mana menurut para diplomat barat angka tersebut masih terlalu rendah.
Sementara itu menurut sementara pengusaha-pengusaha dan turis-turis dari Eropa yang pulang dari Indonesia mengatakan bahwa pembunuhan dan teror itu begitu hebatnya sehingga mereka melihat sementara di sungai-sungai penuh dengan hanyutnya mayat- mayat tanpa kepala dan sementara anak-anak di desa-desa katanya bermain sepak bola dengan kepala-kepala manusia yang terbunuh. Pokoknya dalam tempo 3 bulan sesudah peristiwa G 30 S itu situasi di Indonesia dicekam dengan ketakutan dan ketegangan dimana banyak darah mengalir yang belum pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia.
Seorang wartawan dari Washington Post memberitakan dari Jakarta bahwa di Jawa Timur saja telah terbunuh 250.000 orang, demikian menurut sumber dari golongan Islam. Lebih lanjut “Washington Post” memberitakan bahwa puncak pembunuhan dan teror itu pada bulan November 1965. Kepala-kepala manusia telah dijadikan hiasan (decorasi) pada suatu jembatan. Di tempat lain orang melihat bahwa mayat-mayat tanpa kepala dihanyutkan di sungai-sungai di atas rakit dalam deretan yang panjang. Sungai bengawan Solo yang indah permai ketika itu penuh dengan mayat-mayat sehingga di sementara tempat kadang-kadang airnya tidak terlihat tertutup oleh mayat-mayat itu. Sungai-sungai itu airnya menjadi merah karena darah Rakyat. Pokoknya ketika itu Indonesia seperti neraka demikian tulis Washington Post.
Sementara itu harian Inggris Economist memperkirakan bahwa korban yang jatuh karena pembunuhan dan teror itu mencapai 1.000.000 orang.
Saya ingin bertanya kepada Tuan: mengapa pertumpahan darah itu sampai terjadi atas mereka yang belum tentu berdosa? Dan mengapa masyarakat dunia diam seribu bahasa ? Padahal dipihak lain kalau seorang manusia terbunuh di sepanjang tembok Berlin saja, maka seluruh dunia Barat
ramai dan geger. Tapi mengapa dunia Barat itu diam dimana 800.000 Bangsa Asia (Indonesia) telah dibunuh dan diteror dengan darah dingin, bahkanan dalam situasi Dunia sedang damai??
Saya tahu pasti bahwa diantara yang terbunuh itu ada orang komunis. Tapi apa artinya kemerdekaan dan hak azasi manusia kalau Tuan membenarkan pembunuhan besar-besaran itu sekedar karena mereka melakukan gerakan di bawah tan ah yang tidak diketahui oleh Pemerintah Tuan ?
Sebenamya Tuan akan lebih bijaksana kalau Tuan mengambil langkah-langkah pencegahan terjadinya pembunuhan besar-besaran itu sebelum PKI dinyatakan dilarang oleh undang-undang.
Akan tetapi Tuan ternyata tidak berbuat demikian dan hal ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap hal-hal azasi manusia dan Tuan tidak mendapatkan respek. Lepas dari ideologi apa yang sudah terjadi itu merupakan “kejahatan nasional”

Tuan Suharto

Meskipun Tuan akan menolak dengan berbagai dalih untuk bertindak dan mencegah terhadap “kejahtan nasional” yang telah berlangsung itu – dimana telah ratusan ribu orang tak berdaya telah dibantai- bagaimanapun saya juga bersikap tidak membenarkan bahkan mengutuk peristiwa itu. Bukankah telah menjadi kenyataan bahwa pemerintah Orde Baru yang Tuan pimpin memakai slogan demi “penumpasan terhadap PKI”? Ataukah Tuan amat kuatir kalau kekuasaan Soekarno bangkit kembali beserta pendukung- pendukungnya karena Tuan tahu pasti bahwa lebih dari 50 % Rakyat Indonesia itu masih setia pada Soekano? Hal ini pasti Tuan tidak lupa bukan ? Ataukah barangkali Tuan berpendapat bahwa peristiwa G 30 S itu sudah lampau dan harus dilupakan? Bagi saya hal itu bukan soal. Akan tetapi yang menjadi masalah: masih terlalu banyak hal-hal dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dan bahkan sengaja disembunyikan walaupun begitu saya masih merasa beruntung dan bangga bahwa saya dalam peristiwa 1965 itu tahu dari dekat dan mendapat pelajaran yang bermanfaat. Bahwa fakta-fakta yang benar dalam sejarah itu kadang-kadang memang diputar balikkan oleh karena mereka yang berkuasa dengan maksud untuk kepentingan atau keuntungan tujuan politknya. Begitu juga dengan berita-berita dalam pers (koran-koran) telah dibuat demikian rupa oleh penguasa sebagai suatu Propaganda untuk kepentingan politik pemerintah.
Sebagai misal yang paling mudah kita ambil contoh peristiwa G 30 S. Peristiwa ini sebenamya terjadi pada tanggal l Oktober 1965 dinihari yang didukung oleh dewan revolusi dengan dipimpin oleh salah seorang perwira penanggung jawab pengawal istana Presiden Soekarno yaitu Letnan Kolonel Untung. Pengumuman dewan revolusi itu berbunyi sebagai berikut:
Sekelompok (grup) Jenderal merencanakan untuk mengambil oper kekuasaan (coup) dari Pemerintah Presiden Soekarno dan beliau akan dibunuh. Mereka membentuk dewan Jenderal dengan tujuan untuk membentuk kekuasaan Militer. Rencana coup tersebut akan dilakukan pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965 yang akan datang. Untuk mencegah itu maka dewan revolusi mendahului mengambil langkah dengan menangkap 6 Jenderal diantaranya Jenderal A Yani,
Dalam hal ini Tuan temyata telah meyakinkan orang banyak (menfitnah) dengan melancarkan berita bahwa G 30 S itu dilakukan oleh PKI. Hal ini jelas tidak benar. Bukankah yang melakukan gerakan ini adalah orang-orang militer? Dan saya meragukan kalau mereka yang melakukan gerakan itu orang komunis.
Saya ingin bertanya kepada Tuan lalu siapakali yang berbuat menyebarkan isyu sehingga timbul situasi dimana masa dibakar dan digerakkan. dengan menuduh G 30 S itu didalangi oleh PKI ?
Menteri Pertahanan sendiri yaitu Jenderal Nasution sebagai salah seorang anggauta Dewan Jenderal yang menunrt rencana seharusnya juga ditangkap oleh gerakan G 30 S telah berkata pada upacara penguburan 6 Jenderal yang terbunuh itu pada HUT ABRI tanggai 5 Oktber 1965 sebagai berikut:
“Sampai hari ini pun HUT ABRI kita masih tetap penuh khitmat dan kebanggaan meskipun ditandai oleh peristiwa yang merupakan noda bagi kita ABRI. Yaitu bahwa telah terjadi suatu fitnah dan pengkhianatan serta kekejaman atas perwira-perwira tinggi kita. Walaupun bagitu saudara saudara kita yang menjadi korban itu adalah tetap merupakan pahlawan-pahlawan di hati kita Bangsa Indonesia. Yang pada akhirnya nanti kebenaran pasti akan menang meskipun kita telah diftnah oleh pengkhianat-pengkhinat int. Hal mana pada waktunya nanti kita akan memperhitungkannya.”
Dalam pidato Jenderal Nasution itu sama sekali tidak nampak ada kesan bahwa terbunuhnya 6 Jenderal itu telah didukung apalagi dilakukan oleh PKI. Bahkan sebaliknya dari kalimat-kalimat yg diucapkan oleh Jenderal Nasution itu jelas, bahwa peristiwa G 30S itu adalah akibat pertentangan yg ada di kalangan ABRI sendiri.
Tuan Suharto – dapatkah saya bertanya kepada Tuan, siapakan yang dimaksud dengan kata-kata Nasution “fitnah dan pengkhianat pengkhianat” itu dan apakah yang dimaksud dengan kalimat “kita akan memperhitungkan mereka”.
Sebenarnya yang penting diperhitungkan dalam peristiwa itu adaiah: siapa dan apa tujuan dari 50 orang “yang bersegam seperti pengawal Presiden Soekarno” itu. Dan ketika mereka menyerbu rumah dan kediaman Jenderal Nasution dengan senjata lengkap diketahui jelas oleh beliau bahwa mereka itu (penyerbu) adalah mereka yang dikenal sebagai orang-orang yang anti komunis. Justru karena mereka tidak kenal Jenderal itulah maka mereka menyangka Letnan Tendean sebagai Komandan Jaga dikira Jenderal Nasution dan terus menembaknya.
Dari fakta ini jelas menurut penilaian saya bahwa andaikata para penyerbu itu benar-benar pengawal Presiden Soekarno pasti mereka akan tahu dan kenal betul pada Jenderal Nasution. Jadi tidak masuk akal pula kalau para penyerbu itu adalah orang-orang komunis yang mendapat tugas khusus tidak akan kenal pada Jenderal Nasution sehingga terjadi kegagalan itu.
Apakah Tuan tahu – bahwa banyak orang di Indonesia ini telah membicarakan bahwa timbul tanda tanya yang besar yang penuh prasangka kepada Tuan.
Yalah: mengapa Tuan sebagai komandan tertinggi pada Kostrad justru malah tidak diserbu untuk dibnnuh dengan dalih katanya”karena mereka (penyerbu) tidak tahu alamat Tuan”? Dan yang menarik perhatian lagi – justru Tuanlah yang pada tanggal l Oktober 1965 pada dinihari sudah memainkan peranan dan ambil oper pimpinan ABRI dengan memberikan perintah-perintah sehingga dengan mudah sekali Tuan telah bisa menguasai dan menumpas Dewan Revolusi dalam waktu yang singkat.
Setelah Presiden Soekarno kehilangan Jenderal A. Yani maka beliau terus mengangkat Tuan sebagai Menteri Hankam, sekaligus sebagai Pangab ABRI. Ini terjadi pada tanggai 14 Oktober 1965 dimana Presiden Soekarno pada pengangkatan Tuan itu telah berpesan sebagai berikut:
“Adalah mendesak sekali agar keamanan dan ketertibann harus segera dipulihkan agar terciptanya keadaan, dimana emosi dari golongan kiri maupun golongan kanan dapat ditenangkan dan dikendalikan, sehingga peristiwa G 30 S itu dapat diselesaikan sambil kita mempelajari segala sesuatunya yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Kejadian itu tidak akan menenangkan saya
sebelum segala sesuatunya jelas siapa yg bertanggung jawab entah dari pihak manapun, entah merah, hijau ataupun kuning”
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Tuan memikul tugas yang diberikan olch Presiden Soekarno untuk menghimpun segala data sekitar peristiwa G 30 S itu dan seharusnya Tuan segera memulai dengan penyelidikan dan pengusutan yang harus dilaporkan pada Presiden Soekarno. Akan tetapi Tuan ternyata tidak mentaati perintah-perintah itu bahkan Tuan telah memberikan tafsiran sendiri dan berkata:: “Sekarang saya sudah memperoleh kepercayaan dari Presiden Soekarno. Dan saya akan terus menumpas sisa-sisa kekuatan dari peristiwa tersebut ” Pernyataan Tuan jelas mempunyai arti tersendiri.
Sebenarnya Presiden Soekarno mengharapkan dan mempercayakan pada Tuan agar Tuan tetap setia dan loyal untuk melaksanakan perintah-perintahnya. Dengan tujuan selanjutnya akan diambil tindakan-tindakan hukum oleh Presiden Soekarno terhadap siapa yang bersalah tanpa pandang bulu – apakah PKI atau pihak Militer. Akan tetapi Tuan ternyata tidak memberikan laporan apa- apa pada Presiden Soekarno. Bahkan Tuan telah menggerakkan ABRI tanpa persetujuan Presiden bersama-sama dengan beberapa Jenderal antara lain Sarwo Edhie. Dan sejak inilah dimulai pengejaran dan pembunuhan terhadap mereka yang belum tentu bersalah yaitu kaum komunis. Yang kemudian telah terkenal luas di seluruh negeri bahwa TNI di bawah pimpinan Tuan telah melakukan penganiayaan, pembakaran, perarnpokan dan pembunuhan terhadap orang PKI. TNI telah melakukan teror yang berselubung di bawah pimpinan Tuan Rakyat yang hidup tenang dihasut/dibangkitkan untuk membenci dan mengamuk dengan dalih karena adanya kejadian terbunuhnya para Jenderal tersebut. Rakyat telah dihasut untuk anti PKI yang dikaitkan dengan negeri Cina yang dituduh memberikan dukungan terhadap G 30 S tersebut. Dan rakyat telah dibikin rupa sehingga tidak percaya bahwa “Dewan Revolusi” itu ada.
Selanjutnya Presiden Soekarno dipaksakan untuk menyatakan PKI dilarang dan di luar hukum karena dianggap partai itu terlibat pada G 30 S. Selama setahun lamanya mahasiswa-mahasiswa dan kelompok-kelompok yang tidak puas diorganisasi untuk melakukan demonstrasi-demonstrasi terhadap Soekarno dengan tuntutan-tuntutan termaksud. Akan tetapi Presiden Soekarno menolak untuk membubarkan PKI sebab tidak ada data-data dan bukti-bukti yang menyakinkan yang sudah dilaporkan pada Presiden.
Yang menarik perhatain ialah, bahwa “pemimpin-pemimpin” demonstrasi tersebut yang katanya adalah “mahasiswa-mahasiswa” kenyataannya umumya kebanyakan lebih dari 30 tahun dan bahkan pengikut-pengikutnya demonstrasi iru memakai pakaian seragam para troops (tentara payung) yang masih baru-baru. Sehingga perlu dipertanyakan apakah benar mereka itu mahasiswa-mahasiswa betul ? Dan dari mana dana (keuangan) yang didapat untuk mengorganisasi demonstrasi-demonstrasi itu? Dan mengapa ternyata sekarang, bahwa mereka yang menjadi pemimpin-pemirnpin” demonstrasi itu kini menempati kedudukan-kedudukan penting dalam Pemerintahan Tuan ?
Semua kekacauan dan tidak tenang yang nampaknya dibikin (artificial) telah berlangsung se-lama satu tahun. Sementara itu telah dilancarkan Propaganda secara luas bahwa segala kesulitan dan keburukan diberbagai bidang itu ditimpakan pada PKI? Dan hal ini sampai hari inipun masih berlangsung walaupun peristiwa G 30 S itu telah 4 tahun berlalu.
Akan tetapi tentang hal ini sebenarnya dapat dimengerti sebab dalam politik yang berkuasa itu harus membuat Rakyat yang tidak tahu apa-apa itu sedemikian rupa sehingga rakyat merasa tidak tenteram dan aman dengan menimpakan kesalahan dan ancaman itu pada PKI. yang kemudian
diarahkan bahwa penguasa (pemerintah) itu adalah satu-satunya pelindung rakyat yang sebenarnya.
Kalau demikian halnya maka jelas bahwa Tuan telah mengabaikan perintah dan peringatan Presiden Soekarno pada sidang kabinet tanggal 2 Januari 1966 di Bogor yang meminta kepada Tuan agar situasi yang tidak menentu itu harus segera diakhiri dan dipulihkan sehingga rasa kesatuan dan persatuan bangsa lIndonesia dapat tercipta kembali. Bukan saling membunuh diantara sebangsa dan setanah air. Apabila pembunuhan besar-besaran itu berlangsung terus menerus maka perjuangan kita selama ini akan sia-sia, karena dalam hai ini Tuan ternyata telah menempuh jalan sendiri.
Saya tidak akan mengatakan bahwa G 30 S itu baik. Tapi saya tidak akan menyalahkan siapa-pun dan belum memberikan penilaian terhadap peristiwa itu.
Andaikata sebagai orang komunis atau simpatisan. maka yang pertama-tama menjadi pertanyaan dan yang tidak masuk akal apa perlunya dan apa keuntungannya PKI itu melibatkan diri dalam G 30 S itu. Padahal PKI itu merupakan partai yang besar? Selain itu kalau memang benar PKI itu adalah pengacau? Mengapa TNI tidak mengetahui atau mencegah bahkan yang membakar Markas CG PKI itu dibiarkan untuk selanjutnya diselidiki kalau-kalau bisa diperoleh data yang penting? Dan kalau benar PK1 itu terlibat apakah tidak lebih baik kalau para pemimpinnya yang bertanggung jawab diadili di depan umum untuk diketahui oleh seluruh Rakyat Indonesia? Dan mengapa Tentara yang menangkap DN Aidit itu justru telah membunuhnya dengan diam-diam baru kemudian melapor pada Presiden Soekarno. Dan apa pula sebabnya ketua I dan wakil ketua II PKI, yaitu Sdr. Njoto dan Lukman juga diperlakukan yang sama dengan cara dibunuh dengan diam-diam dan tanpa proses hukum?
Kata orang bahwa NU itu mempunyai anggota sebanyak 6 juta. Tapi mengapa orang-orang di kalangan partai tersebut terlalu takut kepada PKI, yang jumlah angggotanya lebih kecil hanya 3 juta orang ? Memang terlalu banyak soal-soal dan pertanyaan- pertanyaan yang tidak bisa terjawab bahkan sengaja ditutup disembunyikan.
Komunisme yang begitu Tuan takutkan itu sebenarnya akan tidak berdaya. apabila kesengsaraan dapat ditiadakan. Hakekat ideologi PKI di bawah pimpinan DN Aidit sebenarnya berdasarkan Pancasila (Soekarnoisme). Dan PKI telah memainkan peranan yang penting dalam kebangkitan dan kebangunan Bangsa Indonesia serta berjuang untuk sosialisme Indonesia.
Juga Nasution pimpinan MPRS. telah menyalahkan PKI karena telah melakukan aksi-aksi di bidang ekonomi. Dia juga menyalahkan PKI bahwa sebab terjadinya inflasi dewasa ini karena adanya hutang pada luar negeri sebanyak $ 2.5 milyard dan diantaranya berupa pembelian sen-jata-senjata seharga $ l milyard pada Uni Sovyet. Yang aneh dalam hal ini justru hutang-hutang pada Uni Sovyet ini bukankah Jenderal Nasution sendiri yang menandatangani kontrak-kontraknya ? Bahkan dia sendiri sudah 2 kali berkunjung ke Moskow. Apakah dengan begitu ucapan Jenderal Nasution itu dapat dipertanggungjawabkan?

Tuan Suharto

Saya ingin mengajukan banyak data-data yang Tuan sendiri berharap akan menjadikan data-dala itu sebagai bukti terlibatnya PKI. Tapi mengapa Tuan tidak membuka penyelidikan untuk menghimpun sesungguhnya ? Sudah tentu bukan data-data yang bersifat sepihak. Saya kira seluruh Negri dan rakyat Indonesia berhak untuk tahu dan mengerti yang sebenarnya. Sekali biar seluruh rakyat tahu juga bagaimana pendapat Tuan tentang peristiwa tersebut. Hal ini penting sekali karena telah diisukan bahwa bukan hanya PKI yang terlibat tapi juga Presiden Soekarno yang ikut dituduh merestui ” dewan revolusi.”
Selain itu juga dikatakan bahwa beberapa ribu orang PKI sebelum peristiwa G 30 S itu telah dipersiapkan dengan mengadakan latihan militer di daerah lapangan udara Halim. Dimana Presiden Soekarno pada tengah malam ketika peristiwa itu terjadi juga diamankan disitu. Dengan adanya berita-berita itu orang pada bertanya bagaimana hal ini bisa terjadi adnya suatu latihan militer yang diikuti oleh ribuan orang dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi ? Dan apa perlunya Presiden Soekarno itu mencari perlindungan di tempat yang tidak menguntungkan baginya?
Kenyataan berita-berita lain yang saya peroleh dari lapangan udara Halim adalah bahwa : peristiwa G 30 S itu adaiah cetusan dari suatu konflik dalam angkatan Darat. Oleh karena itu mereka menggunakan dalih”pribadi Soekarno itu dibawa kesana karena saya sebagai istri merasa khawatir akan keselamatan suami saya. Sampai di Halim saya malah jadi bingung karena ketika saya tanyakan pada sementara orang tenyata tak seorang pun yang tahu apa yang telah terjadi. Bahkan ketika itu kita tidak tahu bahwa Jenderal A.Yani telah terbunuh. Pokoknya ketika itu kita tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Hampir semuanya dalam kebingungan dan tidak tahu apa yang akan diperbuat. Tidak seorang pun tahu apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi berikutnya.
Dalam mengenang peristiwa G 30 S itu kembali saya kira persoalannya akan lain andaikata Jenderal A.Yani masih hidup. Presiden Soekarno sendiri sangat sedih bagaimana sampai terjadi dia jadi korban dan bagaimana tempat tinggalnya sampai diketahui.
Selain hal diatas dengan ini saya ingin mengajukan pertanyaan yang penting kepada Tuan yang kiranya Tuan perlu perhatikan.Yalah tentang adanya ” dewan jenderal” yang Tuan telah tentang keras tidak mengetahuinya. Orang hanya tahu bahwa Jenderal A. Yani dan jenderal-jenderal lain yang terbunuh itu yang hanya mengetahui tentang persoalan “dewan jenderal1′ tersebut.
Akan tetapi 2 minggu sebelum peristiwa tersebut Presiden Soekarno bertanya kepada Jenderal A. Yani: bagaimna sebenamya duduk persoalan dewan jenderal tersebut. Yang dijawab oleh Jenderal A. Yani dengan tegas: Bapak Presiden serahkan kepada saya saja segala hal yang bersangkutan dengan anak buah saya tersebut” (maksudnya D.D.)
Dari dialog tersebut bagi saya timbul pertanyaan yang besar: bagaimana bisa terjadi Jenderal A. Yani itu ikut terbunuh?
Jadi andai kata Tuan benar-benar obyektif maka pasti Tuan akan yakin bahwa Soekarno itu benar-benar tidak terlibat dan tidak tahu apa-apa tentang G 30 S tersebut.

Tuan Suharto

Dengan mengetahui tentang hal-hal di atas maka lalu timbul pertanyaan saya: apakah kiranya jawaban Tuan ada seluruh rakyat Indonesia yang menduga bahwa dengan adanya tindakan cepat dari Tuan untuk membentuk kekuasaan “orde baru” dalam situasi yang kacau balau itu bukankah justru sebenarnya Tuanlah yang mempunyai semua rencana dan melaksanakan rencana “dewan jenderal”
Bukti-bukti kemudian menunjukkan bahwa dalam situasi yang kacau di Indonesia itu, Tuan telah membangun tentara yang berorientasi ke kanan, bergandengan tangan dengan sementara mahasiswa-mahasiswa (yang tidak puas) yang kemudian didorong dan bekerja sama dengan pimpinan-pimpinan partai islam serta politisi yang kanan untuk menghancurkan PKI. Yang selanjutnya terjadilah pembunuhan dan pertumpahan darah yang terencana. Bagaimana hal ini sampai terjadi bahwa sikap ABRI malah lebih dekat dengan Pentagon (markas Besar Departemen Pertahanan Amerika Serikat) dimana hampir semua kegiatan militer didunia dikendalikan dari sana? Apakah dalam situasi demikian itu orang bisa mengharapkan lain kecuali PKI itu menjadi hancur beranakan karenanya dan hubungan dengan RRC dengan sendirinya putus.
Presiden Soekarno telah berulang kali mengatakan bahwa tidak benar untuk hanya menyalahkan PKI. Beliau berkata: “Kita jangan melemparkan semua kesalahan itu kepada PKI saja. Tapi persoalannya terletak pada hal-hal lain.”
Saya sangat menghargai akan sikap Bung Karno yang begitu tegas itu meskipun beliau harus mengorbankan nasibnya sendiri. Beliau telah menolak untuk tunduk pada tekanan pihak ABRI untuk menyatakan PKI itu dilarang dan di luar hukum. Ideenya meskipun telah mengalami tekanan yang berat dari pihak ABRI. Andaikata Bung Karno itu tidak bersikap teguh sedemikian rupa, barangkali situasi dan posisi beliau tidak akan seburuk seperti sekarang, apalagi kalau beliau melakukan langkah-langkah kompromis. Tapi beliau tidak demikian dan tetap berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan.
Adam Malik, Menteri Luar Negri Republik Indonesia pada tahun 1966 telah berbicara di depan mahasiswa-mahasiswa di Tokyo dengan penuh kebohongan dan kebodohan. la menerangkan bahwa Soekarnolah yang bertanggung jawab atas terjadinya pembunuhan massal terhadap kaum komunis di Indonesia itu. Andaikata Soekarno tepat pada waktunya menentukan sikapnya terhadap PKI maka pembunuhan massal itu dapat dihindari.
Dengan pidatonya Adam Malik itu maka orang-orang yang tidak tahu tentang apa sebenarnya yang telah terjadi di Indonesia itu akan menanggapinya dengan benar. Sementara itu Bung Karno masih terus secara terbuka berbicara dan menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya tentang PKI itu. Hal ini pun telah ditafsirkan oleh sementara mereka itu, bahwa Presiden Soekarno telah merestui tindakan-tindakan lebih lanjut dari PKI yang ternyata kemudian berakibat terjadinya pembunuhan yang lebih kejam.
Seperti kata pepatah Latin Cui Bono yang artinya: yang penting bukan siapa yang benar akan tetapi siapa yang memperoleh keuntungan. Bukankah kemudian ternyata terbukti, bahwa Amerika Serikatlah yang memperoleh keuntungan dengan peristiwa G 30 S itu. Kini terbukti bahwa Jakarta telah dibanjiri oleh Investor-Investor asing (penanam modal) yaitu Amerika Serikat. Tentang inipun tidak menjadi soal andaikan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi itu Indonesia dan rakyatnya yang pertama-tama memperoleh keuntungan. Bung Karno sejak semula sebenarnya selalu menolak untuk dibuatkan patung untuk dirinya. Baru setelah 22 tahun kemudian beliau mengabdi kepada Revolusi Indonesia dengan enggan beliau baru menerima untuk dituliskan autobiografinya.
Akan tetapi bagi Tuan Suharto sendiri segera setelah tidak lama memegang kekuasaan telah dibuatkan buku riwayat hidup Tuan dengan memakai judul The Smiling General. Selain itu Tuan telah mengabadikan potret Tuan pada uang kertas Republik Indonesia yang sudah tentu agar Tuan cepat dikenal. Semua itu tentunya dengan advis para pembantu yang mengelilingi Tuan.
Tetapi sebaliknya – Tuan sama sekali telah meniadakan foto-foto Bung Karno pada kedutaan-kedutaan di Luar Negeri yang mempunyai kebiasaan memancangkan foto tokoh-tokoh dari bangsa di Dunia. Dalam hal ini tidak satu gambar Presiden Soekarno pun nampak.

Tuan Suharto

Tuan yang pernah mengkritik tentang kediktatoran Presiden Soekarno dan bahkan Tuan telah berjanji akan memulihkan demokrasi di Indonesia, ternyata sekarang Tuan telah berbuat melebih apa yang diperbuat oleh bung Kanio. Langkah pertama yang seharusnya Tuan lakukan untuk men demokratisir keadaan/ situasi antara lain tentang pemilihan Presiden. Temyata tentang halin inipun oleh Tuan selalu ditunda-tunda. Selain itu Tuan telah melarang untuk mencantumkan nama Bung Karno dalam buku-buku sejarah Indonesia yang harus diterbitkan. Sementara itu Tuan telah menahan Bung Karno dengan dalih untuk melindungi keselamatannya yang hakekatnya Tuan telah mengisolir beliau dari dunia luar. Tindakan Tuan yang tidak benar dan tidak adil inilah yang menyebabkan Bung Karno itu menjadi sakit. Beliau tidak mendapat perawatan sebagaimana mestinya. Dokter-dokter yang disediakan hanya proforma saja. Malah dokter gigi yang sangat diperlukan oleh beliau Tuan tidak berikannya. Bahkan pernah ada orang yang mengingatkannya agar Bung Karno itu jangan selalu diberi obat-obat injeksi sebab ada kemungkinan obat-obat in justru membahayakan kesehatannya.
Disamping itu saya juga berharap mudah-mudahan makanan yang dibuat dan dikirm oleh Putra/Putri Bung Soekarno itu benar-benar akan sampai ke tangan beliau selama beliau dalam isolas dalam tahanan benar-benar dalam keadaan sangat berat dalam hidupnya. Bahkan hak-hak ke manusiannya yang paling azasipun beliau tidak memperolehnya. Satu-satunya kesempatan yang diberikan kepada beliau selama beliau untuk meninggalkan isolasinya ialah ketika menghadir-perkawinan salah satu putrinya. Untuk itu mobil Bung Karno dikawal dengan ketat dengan kendaraan panser dan tidak boleh didekati oleh siapapun. Ketika beliau berdiri dan mendekati putrinya yang sedang menjadi temanten guna memberikan ciuman selamat dari seorang ayah pada anaknya inipun teiah dicegah oleh Polisi Militer yang mengawalnya dan beliau didorong secara kasar sehingga terjatuh duduk di atas sofa. Selain itu wajah beliau ditutupi dan dihalang-halangi agar tidak dapat diambil fotonya.
Andaikata saya yang mendapat perlakuan demikian mungkin pasti jiwa saya akan terpukul keras. Akan tetapi karena Bung Soekarno itu mempunyai jiwa yang besar dan mentalnya kuat perlakuan demikian itu dianggapnya sebagai pengorbanan yang harus dideritanya. Saya benar-benar sangat khawatir bahwa mungkin perlakuan alat-alat kekuasaan Tuan kepada Bung Karno itu kalau sedang sendirian lebih kasar karena di depan umum pun alat-alat kekuasaan Tuan itu sampai berani berbuat demikian terhadap beliau. Tuan dapat saja menghancurkan jasmani Bung Karno tetapi Tuan tak akan pernah berhasil menghancurkan semangat dan jiwanya dalam membela keadilan dan kebenaran Jiwa dan semangat Bung Karno itu tak akan pernah mati!
Bung Karno telah berjasa membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda yang 350 tahun lamanya. Setelalh 13 tahun di penjara dan dibuang pemerintah Belanda dan memimpin perjuangan bersenjata untuk kemerdekaan Indonesia selama tahun 1945 sampai tahun 1949. Bung Karno itu pasti tahu apa yang harus diperbuat untuk mengisi kemerdekaan negerinya.
Tanpa kepemimpinan Bung Soekarno Tuan pasti tidak akan punya kedudukan sebagai Presiden seperti sekarang ini. Bung Soekarno itu telah meletakkan Undang-undang dasar yang demokratis untuk Indonesia dan telah mendirikan “Lingua Franca”.
Dibidang seni dan budaya beliau adalah promotor. Beliaulah orangnya yang telah meletakkan dasar untuk pembangunan Bangsa Indonesia. Apakah dengan jasa-jasanya itu tidakkah pantas beliau mendapatkan imbalan?!
Andaikan Bung Soekarno tahu bahwa akan terjadi suatu pengkhianatan yang berakibat pembunuhan antar sesama Bangsa seperti peristiwa G 30 S itu pasti beliau tidak akan menyetujuinya.
Dan saya pun tidak akan tinggal diam apabila sampai suami saya terlibat dalam tindakan kekerasan itu. Didepan mata saya Bung Karno itu sangat terpuji dengan sifat-sifatnya yang luhur! Saya sangat yakin bahwa kalau ada seseorang yang berbuat dengan cara sadar dan sistematis membunuh sesama manusia maka perbuatan itu adalah yang paling keji dan tak beradab. Saya kenal pepatah Jepang yang berbunyi “mencekek seseorang dengan kain sutra: Sehubungan dengan inilah Tuan Suharto. Tuan telah memperkenankan Bung Karno itu diperlakukan sedemikian rupa tersiksa baik lahir maupun batinnya.
Selama ini saya belum pernah mengeluarkan suara atau pernyataan apa-apa karena saya sadar bahwa Tuan sedang menghadapi persoalan-persoalan yang cukup gawat. Tapi kali ini saya harus berbicara secara terbuka kepada Tuan karena: pertama-pertama untuk menjaga keselarnatan dan nama baik Presiden Soekarno.
Ketika Presiden Soekarno menyerahkan wewenangnya kepada Tuan sebagai pejabat Presiden pada tanggal 7 Märet 1967 telah diberikan 3 syarat oleh beliau kepada Tuan. Salah satu diantaranya yalah: bahwa Tuan harus menjaga keselamatan keluarga Presiden Soekarno. Ternyata Tuan tidak memperhatikan permintaan beliau itu.
Sewaktu Tuan diwawancarai oleh wartawan Jepang tentang banyaknya korupsi di Indonesia dewasa ini. Tuan telah memberikan keterangan sebagai berikut: “Tentang masalah korupsi itu saya kira selamanya akan ada. Dan soal korupsi ini sebenarnya adalah sisa-sisa dari pemerintah Soekarno dulu. Sementara ini akan tetap demikian karena memang sedemikian sejak semula.
Kalau ucapan Tuan itu benar maka ucapan Tuan itu seakan-akan ucapan seorang yang üdak bertanggung jawab. Sikap Tuan itu adalah licik dan tidak jantan karena Tuan ternyata berlindung dibelakang nama Soekarno tentang apa yang sekarang terjadi. Ketika Tuan berbicara demikian didepan wartawan itu maka habislah segala rasa hormat saya pada Tuan sampai yang terakhir pun!
Memang selama masih disebut manusia biasanya siapa yang menang akan selalu menganggap dirinya benar dan sebaliknya mereka yang kalah pasti segala sesuatunya akan ditimpakan kepadanya.
Apabila Tuan memang bersedia dan benar-benar mau menyelidiki serta memberantas korupsi sebagai seorang warga negara Indonesia saya sepenuhnya bersedia untuk menjadi saksi dan hadir pada setiap sidang-sidang pengadilan yang dilakukan secara terbuka. Sudah tentu pelaksanaanya harus sesuai dengan norma-norma dan hukum yang berlaku dan tidak ditutup-tutup serta tidak boleh (…?? Sambungan kalimat tidak jelas-Pen)
Bung Karno adalah Pahlawan Revolusi Indonesia. Dengan kerendahan hati ingin saya katakan bahwa beliau memang belum tentu bisa menjadi pemimpin diwaktu damai. Akan tetapi saya kira andaikata Bung Karno itu sewaktu menjadi mahasiswa sempat belajar di luar negeri beliau pasti akan lebih banyak mengenal masalah-masalah ekonomi yang akan melengkapi kepemimpinanya. Saya katakan demikian karena mungkin “Nasionalisasi” perusahaan – perusahaan asing di Indonesia yang telah dilakukanya itu sebagai suatu kekhilafan.
Selain itu Bung Karno itu sebenarnya tak pernah mengalami dan berada dalam kehidupan keluarga yang stabil. Andaikata beliau lebih lama mengenal kehidupan rumah-tangga yang harmonis seperti halnya kebanyakan orang mungkin beliau ini akan menjadi Presiden yang lebih baik dalam suatu pemerintahan yang terpimpin dan sosiaiis dinegeri ini. Sayangnya tidak memungkinkan sehingga beliau itu lebih cenderung pada sifat-sifat seorang kaisar. Dan beliau jadi korban dari kekuasaan yang dikuasainya sendirian secara-penuh.
Saya dapat mengatakan demikian kepada Tuan karena saya memang menganggap dan menghomati Soekarno itu sebagai orang besar. Akan tetapi kiranya Tuan tahu, bahwa saya tidak selalu menyetujui setiap pendapatnya.
Sebagai misal terhadap Pancasila yang beliau gali dan ciptakan itu, menurut pendapat saya adalah sepenuhnya terlalu idealistis. Meskipun idealisme itu perlu akan tetapi dalam abad ke 21 ini tidak sepenuhnya idealisme itu dapat dilaksanakan dalam praktek.
Indonesia sebenarnya belum matang untuk dibawa pada sistem demokrasi ala barat. Oleh karena itulah maka Bung Karno memberikan konsep pemikiran: “Demokrasi Terpimpin”. Lebih-lebih karena Rakyat Indonesia kebanyakan masih banyak yang buta humf dan taraf pendidikan maupun kemampuan ekonominya tidak sama. Dalam hal ini saya sependapat dengan Bung Karno.
Akan tetapi dipihak lain beliau itu telah meletakan dasar politik yang terlalu tinggi dan terlalu ideal. Karena itu dapatlah dimengerti kalau beliau mendapat kritik yang begitu keras terutama dengan cita-citanya untuk mengadakan perbaikan atas nasib seluruh rakyat Indonesia secara rnasal dan serentak. Beliau sebetulnya harus lebih realistis dengan ide-idenya itu. Pada saat-saat beliau mempunyai posisi yang cukup kuat sebagai penguasa tertinggi mestinya bliau akan mendapatkan dukungan dari pembantu-pembantunya atas ide-idenya tersebut. Akan tetapi kebanyakan dari Rakyat Indonesia itu hanya mengharapkan perubahan-perubahn dalam kebutuhan hidup sehari-harinya. Rakyat hanya menginginkan pemenuhan material yang nyata dan mereka sudah mulai jenuh dengan idealisme yang sering dipidatokan. Bung Karno itu mengemukakan bahwa dunia ini dikuasai oleh 2 blok kekuasaan adi kuasa. Dan ide beliau ingin membentuk kekuatan ke 3 sebagai imbangan. Dalam perjuangan mewujudkan cita-cita ini Indonesia dapat mempengaruhi dan menggerakkan dunia ke 3 seperti negara- negar di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Ini berarti bahwa Indonesia sekaligus harus bisa berdikari disegala bidang. Demikian yang dicita-citakan oleh Bung Karno.
Kalau kemerdekan penuh dapat diberikan kepada semua negeri dan bangsa-bangsa yang terjajah. Akan sikap politik Indonesia yang mengisolasi diri itu menyebabkan Indonesia menarik diri dari keanggotaan P.B.B, dari Bank Dunia tidak ikut dalam Olympiade di Tokyo. Hal ini terjadi dalam rangka ketegangan dan perjuangan pembebasan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia.
Bung Karno berpendapat bahwa P.B.B telah bersikap tidak adil terhadap anggota-anggotanya. Indonesia yang belum pernah mendapat pinjaman dari Bank Dunia (Yang dikuasai oleh Amerika Serikat) telah menolak bantuan itu, kalau memakai syarat-syarat politik. Sebelum Olympiade Tokyo dimulai Indonesia telah dituduh mempolitisir olah-raga seluruh bangsa-bangsa Asia-Afrika di Jakarta (Ganefo). Karena Indonesia lalu ditolak untuk ikut dalam Olympiade Tokyo itu. Dalam hal ini Bung Karno menolak tuduhan tersebut kerena ternyata pertandingan-pertandingan Olympiade selama ini pun juga tidak mengikut sertakan semua negeri khususnya negara-negara komunis.

Tuan Suharto

Apabila Tuan juga mencoba memikirkan tentang hari depan Indonesia pada hari-hari yang gawat itu tuan pun akan pasti mempunyai pendapat-pendapat lain mengenai ide-ide Bung Karno itu, yang mempunyai akibat tantangan angin taufan. Saya sendiripun ikut prihatin dengan hati yang berdebar-debar memperhatikan bahwa diplomasi Indonesia itu makin hari makin bergeser kekiri.
Memang tak ada orang yang sempurna! Begitu juga dengan diri Bung Karno menurut saya apa yang dikerjakan oleh beliau itu sama sekali tidak terselip untuk keuntungan diri sendiri tetapi sepenuhnya segala sesuatunya itu diabdikan pada Indonesia dan rakyatnya satu-satunya yang dicintainya dan hendak diabdinya. Dalam perjalanan hidupnya Bung Karno itu selalu berusaha untuk mencegah dan menghindari ada pertentangan dalam negeri yang bisa berakibat adanya korban-korban.
Dibanding dengan sikap Tuan dan pembantu-pembantu Tuan ternyata jauh berbeda dimana Tuan atau pembantu-pembantu Tuan telah memerintah Indonesia dengan perampokan dan pertum-pahan darah. Tuan dan pembantu-pembantu Tuan kelak akan dituntut dengan tuduhan telah melaksanakan pembunuhan yang disengaja terhadap ratusan ribu orang PKI yang tidak bersalah, dengan dalih “penumpasan PKI sampai ke akar-akarnya
Siapa dapat percaya bahwa Tuan percaya kepada Tuhan ? Dalam hal ini Indonesia seharusnya tidak memerlukan Presiden di mana tangannya penuh berlumuran darah.

Tuan Suharto

Bung Karno itu saya tahu benar-benar sangat mencintai Indonesia dengan Rakyatnya. Sebagai bukti bahwa meskipun ada lawannya yang berkali-kali hendak menteror beliau beliau pun masih mau memberikan pengampunan kalau yang bersangkutan itu mau mengakui kesalahannya. Dibanding dengan Bung Karno maka dibalik senyuman Tuan itu, Tuan mempunyai hati yang kejam. Tuan telah membiarkan ratusan ribu orang orang PKI dibantai. Kalau saya boleh bertanya : apakah Tuan tidak mampu dan tidak berkuasa untuk mencegah dan melindungi mereka agar tidak terjadi pertumpahan darah?
Mungkin Tuan kelupaan bahwa ketika peristiwa tahun 1965 itu berlangsung Bung Karno tidak juga Tuan suruh bunuh pula. Tuan pasti mudah amat untuk mempersalahkan dan menuduh PKI itu bersalah sehingga terjadinya tragedi tersebut. Kalau Tuan mau berbuat demikian maka pasti rakyat banyak yang menjadi pengagum dan menganut Bung Karno itu akan tetap hidup tenang. Tidak seperti sekarang dimana mereka tidak dapat berbuat apa-apa sementara mereka tidak tahu bagai-mana nasib pemimpinnya.
Semestinya Tuan tidak perlu memperlakukan Bung Karno itu sedemikian rupa, yang rnungkin karena perasaan kerdil Tuan. Sebenarnya Tuan akan lebih terhormat apabila Bung Karno itu sebagai Pemimpin Besar Revolusi dapat meninggal secara wajar bukan karena tersiksa dalam tahanan. Adalah suatu kerugian besar sekali bagi Indonesia bahwa Bung Karno itu telah mendapat perilakuan yang tidak wajar seperti itu setelah beliau mengabdi selama hidupnya untuk Negara Indo­nesia dan bangsanya.
Pada akhir surat terbuka ini saya akan tutup surat ini dengan mengenang kembali akan kecintaan dan kemesraan saya terhadap Bung Karno dengan seruan!!!



Paris tgl 16-4-1970
Tertanda
Ratna Sari Dewi Soekarno

29 Des 2015

PESAN NJOTO UNTUK PERS INDONESIA



Sesungguhnya, tak ada ilmu yang tak berguna, dan tak ada sejarah yang kadaluarsa.
Belakangan ini saya (mungkin juga Anda) merasa agak muak melihat gaya "berbicara" pers kita yang terkesan bombastis, cenderung memfitnah, yang kesemuanya demi keuntungan profit jual-menjual lidah. Kesannya mereka-mereka itu telah ber-evolusi dari sang "pembawa kebenaran" (meminjam istilah Mas Marco) menjadi tak lebih dari sang penyebar kerecokan. Sebab, bukankah hanya yang recok-recok sajalah yang laku dijual. Puluhan tahun yang lalu, Njoto, Wakil Ketua II PKI, sudah mendeteksi gejala-gejala penyakit yang menyerang pers masa kini, yang diwariskan dari pers kanan pembebek Amerika. Untuk itulah saya hendak mengajak sdr semua untuk berkaca pada pesan-pesan yang pernah beliau ucapkan. Sedikit tulisan dibawah ini saya kumpulkan dari buku "Pers dan Massa" Njoto, N.V. Rakjat, 1960.


" ...Galib dikatakan, bahwa setengah kebenaran masih lebih berbahaya daripada kebohongan seratus prosen. Tetapi akan saya coba untuk membuktikan, bahwa pers kanan bukannya menghidangkan setengah kebenaran kepada pembaca-pembacanya, melainkan seperlima, dan tidak jarang sepersepuluh saja dari kebenaran.
Dalam keadaan yang demikian, tugas dari pers yang mempunyai harga diri, pers yang menyadari arti suci kejujuran, sungguh tidak ringan. Dewan Redaksi Harian Rakjat selalu mengingat kata-kata pengarang demokrat Belanda yang besar, Multatuli, kata-kata yang kami anggap ditujukan kepada setiap orang yang jujur. Kata Multatuli:
Padamu terletak tugas kemanusiaan!
Tugas itu mengharuskan: berusaha ke arah kebenaran
Dan di mana-mana terdapat kebohongan.
Maju! Berjuang terhadap kebohongan! Ayo berjuang! Maju, ke arah kemenangan!
Kata-kata Multatuli yang tajam ini berharga benar bagi setiap surat kabar, setiap redaktur dan setiap koresponden, yang mengabdi atau ingin mengabdi kepada Rakyat. Membohongi pembaca tidaklah sukar, tetapi membohongi pembaca berarti juga membohongi diri sendiri. Di sini orang tertumbuk pada hati nurani. Karena menyadari hal ini, maka kata-kata Multatuli itu kami simpan dalam hati sebagai intan daripada intan.
....
Jika kita ikuti koran “Pedoman”, “Keng Po”, “Indonesia Raya” dan juga “Abadi”, maka seolah-olah orang Jawa jahat semua, atau orang Minangkabau luar biasa semua, atau PNI korup semua, atau NU “kyai-kyai juga bodoh” semua. Sudah tentu – Rakyat “bodoh semua” dan PSI “pintar semua”! Penyakit main UMUM-UMUMAN ini oleh Multatuli pernah dicanangkan sebagai penyakit yang paling berbahaya.
Atau kita ambil-lah segi yang lain: kalau pers kanan tidak melebih-lebihkan sesuatu, dia mengecilkan sesuatu, begitu rupa, sehingga yang tampak hanya karikatur belaka. Sebetulnya, mengecilkan itu adalah juga sifat melebih-lebihkan. Begitulah, jika kita hanya membaca koran-koran kanan, maka Konferensi Asia-Afrika itu hanya apa yang dinamakan “Hospitality Committee”; kabinet Ali-Arifin itu hanya apa yang terkenal sebagai “lisensi istimewa”; dan Presiden Soekarno itu hanya “yang mengawini Hartini”.
....kita selalu menandaskan, bahwa kemerdekaan pers itu sama sekali bukan anarki pers. KEMERDEKAAN ITU SANGAT LUAS, TETAPI KEMERDEKAAN ITU MENGENAL BATAS. Jika tidak ada batas, jika mau mutlak, ia bukan kemerdekaan lagi. Tetapi justru mutlak-mutlakan ini pulalah penyakit kaum reaksioner. Ambillah Hatta. Bagi kaum reaksioner, Hatta ini seperti juga Syahrir, dan lain-lain adalah “dewa” –dia mutlak, dia tidak bisa salah, dia tidak boleh diganggugugat. Sepuluh-dua puluh ribu rupiah pada orang PNI atau NU, itu sudah pasti korupsi. Tetapi 200 juta rupiah Teluknibung Simbolon, itu “bukan korupsi”. Satu rumah Roeslan Abdulgani di Bogor, itu sudah pasti korupsi. Tetapi rumah Hatta yang mewah di Jalan Diponegoro Jakarta itu “bukan korupsi”.
...Saya ingin meminta perhatian saudara-saudara dan kawan-kawan sekalian, agar jangan pengaruh pers reaksioner itu kita remehkan. Sudah sejak sebelum perang dunia kedua, pembaca di Indonesia banyak yang mempercayai saja apa-apa yang ditulis surat kabar. Mereka mengira: jika sesuatu itu sudah ditulis di suratkabar, tentulah ia benar. Lagipula, ada semacam sifat konservatif pada pembaca-pembaca Indonesia, yaitu: sekali berlanggangan suratkabar A, selama-lamanya berlangganan suratkabar A dan tidak mau ganti. Sekarang, keadaan sudah maju. Tetapi keadaan yang saya gambarkan ini, yaitu kecenderungan untuk memercayai segala apa yang ditulis oleh suratkabar manapun, dan sifat konservatif dalam membaca suratkabar, masih saja ada, dan masih agak luas. Inilah keterangannya mengapa perjuangan pers revolusioner itu tidaklah ringan.
Kaum revolusioner, apa pun tugasnya dan dimana pun tempatnya, wajib menyadari bahwa pers revolusioner adalah sebagian dari mesin perjuangan revolusioner yang besar. Oleh sebab itu, maju mundurnya pers revolusioner, baik dalam isi, dalam tipografi, dalam penyebaran maupun dalam keuangan, bukanlah semata-mata soal Dewan Redaksi, Direksi dan Administrasi, melainkan soal seluruh gerakan revolusioner..."



PESAN DARI D.N AIDIT UNTUK PARA SASTRAWAN DAN SENIMAN INDONESIA


D.N Aidit tidak mati-mati. Begitupun dengan segala wejangan beliau. Saya sajikan salah satunya untuk kita, terutama yang bergerak di dalam bidang kesusastraan. Dikutip dari pidatonya di pembukaan Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner, 27 Agustus 1964.
"Mungkin masih ada “kerikil” yang menyebabkan para sastrawan dan seniman kita belum keranjingan untuk menggarap tema-tema besar seperti pemberontakan 1926, tanah pembuangan Digul, pemberontakan “Zeven Provincien”, Revolusi Agustus 1945, pembasmian “PRRI-Permesta”, penghancuran DI-TII, pembebasan Irian Barat dan tema-tema lain yang dapat membangkitkan kebanggaan nasional, misalnya karena melihat adanya kelemahan-kelemahan pada tiap-tiap perjuangan itu. Pemberontakan 1926 adalah pemberontakan yang gagal, di antara orang-orang yang dibuang ke Digul ada yang menyerah kepada Belanda. Pemberontakan “Zeven Provincien” juga gagal. Revolusi Agustus berlangsung tanpa pimpinan yang sadar dari proletariat. “PRRI-Permesta” dan DI-TII diselesaikan dengan kompromi, dan Irian Barat bebas dengan campur tangan Bunker dari Amerika Serikat. Inilah yang mungkin menjadi “kerikil” sehingga tidak menimbulkan rangsang untuk menulis. Jika benar ini yang menjadi sebab, maka sama sekali tidak beralasan. Kegagalan sesuatu pemberontakan revolusioner tidaklah berarti bahwa pemberontakan itu salah, dan sekalipun ia gagal, ia tetap melahirkan pahlawan-pahlawan. Kelemahan beberapa gelintir orang dalam pembuangan tidaklah berarti semua orang buangan revolusioner menjadi pengkhianat dan lemah jiwa seperti coba digambarkan oleh Sutan Sjahrir dalam bukunya “Indonesische Overpeinzingen” (Renungan Indonesia). Biarlah Sutan Sjahrir merenung-renung, tapi sastrawan dan seniman revolusioner harus menuliskan kepahlawanan orang-orang revolusioner tanah pembuangan Digul itu. Jika sesuatu perjuangan “diselesaikan” dengan kompromi, sudah pasti yang berkompromi bukanlah rakyat, dan korban sudah banyak berjatuhan, pahlawan sudah banyak dilahirkan. Jika sesuatu pemberontakan, sesuatu revolusi atau sesuatu aksi gagal atau tidak mencapai tujuan yang sepenuhnya karena tanpa pimpinan yang sadar, ini tidaklah berarti bahwa pemberontakan, revolusi atau aksi itu salah, tidaklah berarti bahwa tidak ada perbuatan kepahlawanan yang harus ditulis. Tentang ketiadaan pimpinan yang sadar dari PKI, justru itu yang juga harus diungkapkan agar lain kali pimpinan dilakukan sesadar-sadarnya oleh PKI. Saya mengetok hati kawan-kawan dengan harapan supaya dalam waktu yang tidak terlalu lama pahlawan-pahlawan yang sudah berjatuhan dan yang masih hidup itu menambah semaraknya perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia lewat karya kawan-kawan.
Siapakah yang bersalah jika ada orang yang mengira bahwa nama “Aliarcham” ada hubungannya dengan “Al Azhar”? Bahwa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” di Jakarta dikira berafiliasi dengan Universitas Al Azhar di Kairo? Tentu bukan salah ayah dan ibu Aliarcham yang memberi nama Arab kepada anaknya, tetapi karena pahlawan rakyat tidak diperkenalkan kepada rakyat yang memiliki pahlawan itu oleh mereka yang harus memperkenalkannya. Sekarang banyak universitas dan akademi memakai nama pahlawan. Ini baik sekali, menandakan bahwa kita generasi sekarang tidak menyia-nyiakan pahlawan-pahlawan kita. Tetapi berapa banyak orang yang mengetahui perbuatan kepahlawanan mereka? Dalam perjuangan yang bagaimana mereka tampil sebagai pahlawan?
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu pernah gambar penulis Soviet Ilya Ehrenburg diarak dalam suatu demonstrasi 1 Mei. Kalau kita mau berterus-terang, berapalah jumlah buku Ehrenburg di negeri kita ini, berapa orang yang sudah membacanya, berapa pula yang membacanya tamat, dan di antara yang membacanya tamat itu berapa orang yang berhasil menarik pelajaran untuk revolusi Indonesia, khususnya untuk perkembangan sastra dan seni revolusioner Indonesia. Jumlah bukunya yang beredar hanya sedikit sekali, yang tamat membacanya bisa dihitung dengan jari dan yang membaca dengan berhasil menarik pelajaran untuk kepentingan revolusi Indonesia mungkin tidak ada. Tapi gambar Ehrenburg diarak. Gejala apa ini, kalau bukan gejala dogmatisme dan formalisme. Karena Ehrenburg seorang penulis Soviet, sedangkan Soviet itu adalah baik, karya-karyanya dikira juga baik, dan oleh karena itu gambarnya diarak sekalipun yang mengarak dan yang menyuruh mengarak tidak tahu apa-apa tentang karya Ehrenburg.
Masih ada lagi sastrawan dan seniman luar negeri yang pernah dipuja-puja oleh sementara orang revolusioner negeri kita dengan tidak memikirkan betapa hubungannya dengan revolusi kita dan dengan perkembangan sastra dan seni revolusioner kita. Saya tidak berbicara tentang apa yang terjadi di kalangan mereka yang tidak revolusioner, karena memuja segala yang datang dari luar negeri, termasuk juga memuja penyebar-penyebar segala yang bertentangan dengan kepentingan revolusi Indonesia, adalah biasa dan akan terus menjadi kebiasaan mereka.
Kita kaum Komunis bisa dan harus pandai menilai dan menghargai karya-karya sastra dan seni progresif dari luar negeri. Tetapi penilaian dan penghargaan kita pertama-tama harus dilihat dari segi hubungannya dengan kepentingan revolusi Indonesia dan tidak boleh berakibat menganggap rendah sastrawan dan seniman kita sendiri serta karya-karyanya. Perkenalan kita dengan karya-karya sastrawan dan seniman progresif luar negeri harus menjadi perangsang bagi kita guna mengenal lebih baik sastrawan dan seniman kita sendiri, guna meningkatkan kesadaran kita tentang keharusan memberi tempat dan penghargaan yang wajar kepada sastrawan dan seniman kita yang sudah tidak ada lagi, serta mendorong maju ke pekerjaan sastrawan dan seniman kita sekarang."

9 Nov 2015

7 November, 98 Tahun yang Lalu

7 November, 98 tahun yang lalu, adalah hari bagi kemenangan Revolusi Rusia 1917. Lelaki botak bermata Tar-Tar, Vladimir Ilyich Lenin, berhasil mengombinasikan kepemimpinan praksis revolusioner dengan sumbangan teoritis yang penting bagi pemahaman sosialis tentang dunia dan bagaimana mengubahnya. Dua kontribusi teoritisnya yang paling penting adalah tentang Imperialisme dan strategi revolusioner di negara-negara terbelakang yang tereksploitasi. Mari kita bahas satu per satu.
Imperialisme:
Saat ini dunia masih didominasi oleh sebuah sistem yang membaginya dalam dua pihak, kaya dan miskin, yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi--tidak hanya antar bangsa, tapi juga diantara bangsa itu sendiri. Sistem yang memaksa orang (klas pekerja atau proletariat) untuk bekerja agar bisa tetap hidup di bawah kontrol mereka (klas penguasa atau borjuasi) yang memiliki semua industri-industri kunci. Klas penguasa dari berbagai bangsa yang berbeda bersaing untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan mengeksploitasi yang lainnya demi keuntungan kapital. Watak dasar sistem inilah yang dianalisa oleh Lenin di tahun 1916. Sebuah kejadian yang menguatkan pembangunan teori Lenin adalah Perang Dunia I, kaum Marxis memahaminya sebagai pertempuran di antara klas penguasa di negara-negara kapitalis maju untuk meraih kontrol sepenuhnya atas dunia beserta sumber daya alamnya.Telah banyak peperangan yang terjadi di abad ini karena pertempuran yang sama, demi pasar yang lebih besar untuk penjualan produk mereka, dan kontrol yang lebih besar atas sumber daya alam dan kaum buruh yang bisa diperbudak.
Salah satu faktor disebutnya sebuah negara sebagai imperialis adalah klas penguasa di suatu negara memunyai modal atau keuntungan yang dapat digunakan untuk investasi di negara lain; investasi itu untuk membeli bahan mentah dan buruh yang ada di negara tempat investasi, dan untuk mengisap laba dari mereka.
Negara Imperialis mulai mendominasi negara dunia ketiga melalui kontrol penjajahan langsung. Sekarang kontrol mereka itu kebanyakan mengambil bentuk dominasi ekonomi atau modal. Kucuran utang yang diberikan bank-bank negara maju kepada Dunia Ketiga yang dipaksakan untuk membiayai "pembangunan" dengan menggunakan pinjaman tersebut, memaksa negara-negara Dunia Ketiga tersebut untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan dari negara-negara imperialis untuk mengeksploitasi secara massif sumber daya alam dan kaum buruh mereka.
Pembagi-bagian dunia oleh kaum imperialis menyediakan sebuah lahan permanen bagi kapitalisme untuk mengeksploitasi secara massif klas pekerja. Sebagai contoh, Nike membayar buruhnya sebesar 25 sen dollar Australia perhari di pabrik mereka yang berada di Indonesia, tapi mereka menjual sepatunya di negara-negara maju seharga ratusan dollar.
Imperialisme mengurung negara dunia ketiga --lebih dari 4 per 5 populasi dunia- dalam kemelaratan, namun mereka mengingkarinya secara sistematis, dengan argumen teknologi dan bantuan finansial yang diberikan itu dibutuhkan untuk pembangunan.
Keuntungan besar bagi klas penguasa di negara-negara imperialis dengan digunakannya sistem ini, memungkinkan kaum penindas itu untuk memperoleh sebuah derajat ketentraman sosial tertentu di negara-negara Dunia Pertama, khususnya Amerika, dengan menyediakan dalam kadar tertentu hak-hak istimewa, yang mengilusi banyak pekerja untuk mempertahankan sistem keuntungan individual. Lenin menyebut lapisan ini (yang terilusi dan menjadi antek kapitalis) sebagai “Aristokrat buruh”, yang seringkali merasa diri bukanlah bagian dari klas pekerja. Ilusi untuk mempertahankan sistem kapitalisme melanda negara-negara Dunia Pertama.
Biasanya, klas penguasa menggunakan kebanggaan nasionalisme untuk menghancurkan solidaritas para pekerja yang ada di negara Imperialis terhadap penindasan yang menimpa kaum buruh di negara Dunia Ketiga; terindoktrinisasi dalam apa yang disebut Wajib Militer. Karena mereka tahu, rasa solidaritas itulah yang dapat memenangkan perjuangan melawan eksploitasi imperialis. Rasisme biasanya juga digunakan untuk memecah-belah buruh-buruh di negara Dunia Pertama dan Ketiga.
Di negara-negara otoriter, sistem ini dipaksakan dengan cara-cara yang lebih brutal seperti kediktatoran, aturan-aturan militer yang hanya menguntungkan klas kapitalis, dan juga represi.
Lalu apa strategi yang diterapkan oleh Lenin pada saat itu?
Lenin menggunakan pengalamannya dalam membangun gerakan revolusioner di Rusia untuk memformulasikan teorinya tentang strategi revolusioner di negara-negara terbelakang.
Tugas terberat kaum revolusioner pada masa kekaisaran Rusia adalah memenangkan kesadaran yang ada pada klas pekerja, dan keterlibatan aktif mereka dalam proses revolusi. Mayoritas rakyat Rusia bukanlah buruh, melainkan para petani yang berada pada taraf subsistensi pra-industrial, dan hak-hak demokratik pun, meskipun bersifat terbatas, ditolak oleh Rezim represif Tsar.
Di Rusia tidak ada syarat untuk melahirkan Revolusi Borjuis seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Barat, di mana aturan-aturan monarki digantikan oleh parlemen yang terpilih. Adanya parlemen ini merefleksikan pertumbuhan kekuatan ekonomi di bidang politik, dan mereka, klas borjuis, menjadi klas penguasa yang baru. Borjuasi Rusia secara ekonomis sangat lemah, dan secara politis mereka takut untuk bekerja sama dengan klas buruh dan tani dalam revolusi borjuis.
Menurut teori “Uninterrupted Revolution“ (revolusi berkelanjutan) yang dikembangkan oleh Lenin, tahapan yang pertama adalah keterlibatan klas pekerja dan seluruh petani dalam penggulingan Tsar dan pembentukan sebuah republik demokratik. Yang kedua, tahapan sosialis yang melibatkan buruh yang bersatu dengan para petani miskin untuk melawan para kulak (tuan tanah).
Untuk memudahkan dan menerapkan tahapan yang pertama, Bolshevik meyakini sebuah sistem yang didasarkan pada perwakilan-perwakilan (soviet) buruh dan tani yang dipilih oleh rakyat. Sistem pemerintahan inilah yang akhirnya diterapkan setelah revolusi 1917.
Reformasi agraria akan tuntas ketika kontrol atau kepemilikan tanah yang dipegang oleh tuan-tuan tanah diambil-alih oleh para petani penggarap. Bagaimanapun, Lenin percaya bahwa para petani miskin tidak akan segera menyadari perbedaan kepentingan mereka dengan petani kaya, dan oleh karena itu, mereka juga tidak akan segera mendukung langkah-langkah sosialis seperti kolektivisasi tanah.
Dalam tahap kedua, kekuasaan politik digunakan oleh klas pekerja untuk memperoleh kontrol ekonomi secara langsung, dan untuk membantu para petani miskin dalam pengambil-alihan atas kontrol tanah.
Pada tahun 1918 Lenin menulis: “Sesuatu telah berubah seperti yang dulu kita katakan. Pelajaran yang didapat dari revolusi telah menegaskan kebenaran penjelasan atas argumen-argumen kita. Pertama, dengan kaum tani melawan monarki, melawan tuan-tuan tanah, melawan pemikiran abad pertengahan atau mediavalism (dan untuk meningkatkan revolusi terhadap sisa-sisa borjuasi, demokratik borjuis). Kemudian bersama dengan kaum petani miskin, semi-proletariat, dan semua yang tereksploitasi, mereka akan berperang membantai kapitalisme, termasuk orang-orang kaya pedesaan, para tengkulak, lintah-darat, dan semuanya itu meningkatkan revolusi ke tahapan sosialis. Jika kita berusaha mendirikan sebuah “Tembok Cina” antara tahap pertama dan kedua, untuk memisahkan keduanya dengan alasan selain tingkatan kesiapan proletariat dan tingkatan persatuan atau kesatuan dengan para petani, berarti sangat mendistorsi Marxisme, menjadikannya vulgar, memindahkan liberalisme ke tempatnya semula.
Ketika Karl Marx dan Frederick Engel meramalkan bahwa revolusi sosialis akan terjadi pertama kali di negara-negara kapitalis maju, ini bukanlah permasalahan bagaimana sejarah berjalan (proceeded). Mereka belum melihat dampak super-profit Imperialis dan aristokrasi perburuhan yang melanda klas pekerja di negara-negara maju.
Kemenangan revolusi Rusia menunjukkan bahwa kapitalisme akan hancur di mata rantainya yang paling lemah. Paska revolusi Rusia, hal ini terulang lagi dan lagi, mulai dari Kuba sampai Nikaragua, dari Vietnam ke Granada, hingga menunggu waktu untuk memerahkan Eropa.
Sesungguhnya, revolusi-revolusi ini sangat mudah dipatahkan, jika Lenin tidak menganalisis ulang akan teorinya. Imperialisme akan memperbesar kekuatannya untuk mendapatkan kembali kontrol dan dominasinya atas negara-negara yang telah memutuskan hubungan dengan kapitalisme. Tahun 1918, negara imperialis melakukan intervensi militer untuk mendukung kapitalis kontra-revolusi di Rusia. Amerika Serikat juga telah melakukan (memimpin) blokade ekonomi selama 40 tahun terhadap Kuba, namun revolusi di sana masih bisa diselamatkan.
Lenin berkata di tahun 1912, “Kita selalu mengutamakan dan memperteguh kebenaran mendasar Marxisme—bahwa usaha penggabungan kaum buruh dari berbagai belahan negara-negara maju adalah dibutuhkan untuk kemenangan Sosialisme."
Di negara-negara terbelakang, pemerintahan sosialis masih menggantungkan diri pada segelintir administrator dan manajer ahli untuk menjalankan ekonomi. Di Rusia, dominasi dilakukan oleh badan birokrasi yang berbasis pada lapisan sosial yang mengambil kekuasaan, yang saat itu dipimpin oleh Joseph Stalin. Lantas yang terjadi kemudian adalah; pria berkumis lebat itu meluluh-lantakkan semua pemikiran-pemikiran Bolshevik tentang organisasi sosial, demokrasi partai, dan internasionalisme.
Sayangnya, banyak yang mengganggap ide-ide tersebut (stalinisme) adalah sosialisme. Teori Stalin yang sungguh keliru, “Building Socialism in One Country” (Sosialisme dalam satu negeri) digunakan untuk mengorbankan perjuangan sosialis di banyak negara demi mempertahankan kepentingan-kepentingan mendesak Uni-Soviet. Sesungguhnya, tipikal nasionalis chauvinis ini bukanlah ajaran-ajaran dari Lenin, apalagi Karl Marx. Dan sejarah kelam era-Stalin inilah yang terus dikunyah-kunyah oleh praktisi-praktisi anti-Marxis hingga saat ini.
Karena imperialisme adalah sebuah sistem penindasan yang berskala Internasional, maka dibutuhkan sebuah perjuangan yang berskala internasional pula. Internasionalisme revolusioner menurut Lenin berarti mendukung perjuangan melawan segala penindasan dan eksploitasi yang terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk pemerintahan kita sendiri



















18 Apr 2015

Surat Terbuka Dewi Sukarno kepada Presiden Soeharto (1970)




Tuan Presiden Suharto

Bersama ini saya ingin mengingatkan Tuan terhadap segala sesuatu yang nampaknya oleh Tuan akan dilupakan. Hal-hal yang akan dikemukakan ini saya anggap sebagai kewajiban bagi saya untuk menjelaskannya secara benar, karena saya justru mengikuti peristiwa-peristiwa di In­donesia itu dari dekat.
Barangkali sementara orang akan berpendapat akan lebih baik kalau saya diam seribu bahasa seperti Sphinks (arca batu di Mesir) dalam hal ini. Akan tetapi karena saya tanggung jawab maka saya harus melakukan hal ini biar membawa resiko betapapun besrnya terhadap diri saya. Ini pun karena makin lama di seluruh dunia maupun di Indonesia sendiri banyak tersebar cerita-cerita palsu yang disebarkan tentang peristiwa-peristiwa di Indonesia itu; sehingga membeberkan keadaan yang sebenarnya itu merupakan kewajiban saya.
Karena itulah saya kirimkan surat terbuka ini kepada Tuan dalam kedudukan saya sebagai warga negara Indonesia. Selain itu surat terbuka yang saya kirimkan kepada Tuan ini termasuk segala isinya adalah sepenuhnya tanggung jawab saya, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang terdahulu.
Sebenarnya agaknya sudah terlambat untuk mempersoalkan kembali tentang para perwira yang telah dinyatakan sebagai “kontra revolusi” atau pemberontak-pemberontak terhadap Negara di mana mereka telah sama dihukum mati.
Selama ini saya selalu berpendirian tidak sependapat dengan adanya dalil bahwa ” yang berkuasa itu selalu benar” (power can do no wrong). Sikap ini pun sama sewaktu Presiden Soekarno berkuasa. Saya berpendapat bahwa seorang Kepala Negara itu mesti dikerumuni oleh orang-orang yang mendukungnya. Begitu juga halnya dengan Tuan: bahwa di sekeliling Tuan itu banyak orang-orang berkerumun yang pada umumnya tidak berani membuka mulutnya berpura-pura taat dan tunduk; bahkan ada yang menjilat yang pada hakekatnya mereka bertujuan untuk mendapatkan kesempatan berkuasa lebih banyak. Karena itulah apa yang sebenarnya terjadi di sekitar Tuan sulit akan terungkap.
Pertama-tama dalam surat terbuka saya ini saya ingin mengemukakan apa yang disebut “proses” dimana banyak orang telah dibunuh karena dituduh melakukan kejahatan terhadap Negara. “proses” ini yang sebenamya terjadi di luar norma-norma Hukum dan Keadilan lebih tepat untuk disebut “teror dan kekerasan”
Dan mereka orang-orang yang tidak puas dan tidak mau bicara sewaktu kekuasaan Soekarno maka setelah situasi berubah lalu bersikap tidak bertanggung jawab dan turut serta melakukan pembunuhan dan teror. Dalam hal ini Tuan telah membiarkahnya. Andai kata nanti pada suatu ketika kedudukan Tuan diganti oleh orang lain sudah tentu akan terjadi hal yang sama dimana pembantu-pembantu Tuan yang penting sipil maupun militer termasuk mungkin Tuan sendiri akan mendapat perlakuan yang sama di mana mereka dituduh dan dituntut dengan hukuman mati dengan berbagai dalih misal “karena melakukan korupsi”
Dalam hubungan ini saya ingin bertanya kepada Tuan : “Mengapa Tuan membiarkan dan memberi kesempatan semua itu berlalu yang dapat menjadi contoh jelek bagi suatu Negara yang masih muda dan rakyatnya sedang berkembang, yaitu Indonesia ?”
Bukan maksud saya untuk mencela kebijaksanaan politik yang Tuan lakukan. Akan tetapi perhatian tertumpah kepada mereka yang dibunuh dan diteror dengan memakai dalih “pembersihan terhadap golongan merah” sejak peristiwa G 30 S itu terjadi. Padahal kebanyakan dari mereka itu hanyalah pengikut-pengikut Soekarno yang tidak tahu menahu tentang peristiwa G 30 S.
Bahkan saya memperoleh berita bahwa tidak kurang dari 800.000 Rakyat Indonesia yang telah terbunuh diantaranya trdapat kaum wanita dan anak-anak karena hanya sebagai simpatisan PKI.
Harian London Times membuat berita pada Januari 1966 sebagai berikut “Bahkan sejak pecahnya peristiwa G 30 S itu dalam 3 bulan telah ratusan ribu kaum komunis yang dibunuh jumlah mana menurut para diplomat barat angka tersebut masih terlalu rendah.
Sementara itu menurut sementara pengusaha-pengusaha dan turis-turis dari Eropa yang pulang dari Indonesia mengatakan bahwa pembunuhan dan teror itu begitu hebatnya sehingga mereka melihat sementara di sungai-sungai penuh dengan hanyutnya mayat- mayat tanpa kepala dan sementara anak-anak di desa-desa katanya bermain sepak bola dengan kepala-kepala manusia yang terbunuh. Pokoknya dalam tempo 3 bulan sesudah peristiwa G 30 S itu situasi di Indonesia dicekam dengan ketakutan dan ketegangan dimana banyak darah mengalir yang belum pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia.
Seorang wartawan dari Washington Post memberitakan dari Jakarta bahwa di Jawa Timur saja telah terbunuh 250.000 orang, demikian menurut sumber dari golongan Islam. Lebih lanjut “Washington Post” memberitakan bahwa puncak pembunuhan dan teror itu pada bulan November 1965. Kepala-kepala manusia telah dijadikan hiasan (decorasi) pada suatu jembatan. Di tempat lain orang melihat bahwa mayat-mayat tanpa kepala dihanyutkan di sungai-sungai di atas rakit dalam deretan yang panjang. Sungai bengawan Solo yang indah permai ketika itu penuh dengan mayat-mayat sehingga di sementara tempat kadang-kadang airnya tidak terlihat tertutup oleh mayat-mayat itu. Sungai-sungai itu airnya menjadi merah karena darah Rakyat. Pokoknya ketika itu Indonesia seperti neraka demikian tulis Washington Post.
Sementara itu harian Inggris Economist memperkirakan bahwa korban yang jatuh karena pembunuhan dan teror itu mencapai 1.000.000 orang.
Saya ingin bertanya kepada Tuan: mengapa pertumpahan darah itu sampai terjadi atas mereka yang belum tentu berdosa? Dan mengapa masyarakat dunia diam seribu bahasa ? Padahal dipihak lain kalau seorang manusia terbunuh di sepanjang tembok Berlin saja, maka seluruh dunia Barat
ramai dan geger. Tapi mengapa dunia Barat itu diam dimana 800.000 Bangsa Asia (Indonesia) telah dibunuh dan diteror dengan darah dingin, bahkanan dalam situasi Dunia sedang damai??
Saya tahu pasti bahwa diantara yang terbunuh itu ada orang komunis. Tapi apa artinya kemerdekaan dan hak azasi manusia kalau Tuan membenarkan pembunuhan besar-besaran itu sekedar karena mereka melakukan gerakan di bawah tan ah yang tidak diketahui oleh Pemerintah Tuan ?
Sebenamya Tuan akan lebih bijaksana kalau Tuan mengambil langkah-langkah pencegahan terjadinya pembunuhan besar-besaran itu sebelum PKI dinyatakan dilarang oleh undang-undang.
Akan tetapi Tuan ternyata tidak berbuat demikian dan hal ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap hal-hal azasi manusia dan Tuan tidak mendapatkan respek. Lepas dari ideologi apa yang sudah terjadi itu merupakan “kejahatan nasional”

Tuan Suharto

Meskipun Tuan akan menolak dengan berbagai dalih untuk bertindak dan mencegah terhadap “kejahtan nasional” yang telah berlangsung itu – dimana telah ratusan ribu orang tak berdaya telah dibantai- bagaimanapun saya juga bersikap tidak membenarkan bahkan mengutuk peristiwa itu. Bukankah telah menjadi kenyataan bahwa pemerintah Orde Baru yang Tuan pimpin memakai slogan demi “penumpasan terhadap PKI”? Ataukah Tuan amat kuatir kalau kekuasaan Soekarno bangkit kembali beserta pendukung- pendukungnya karena Tuan tahu pasti bahwa lebih dari 50 % Rakyat Indonesia itu masih setia pada Soekano? Hal ini pasti Tuan tidak lupa bukan ? Ataukah barangkali Tuan berpendapat bahwa peristiwa G 30 S itu sudah lampau dan harus dilupakan? Bagi saya hal itu bukan soal. Akan tetapi yang menjadi masalah: masih terlalu banyak hal-hal dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dan bahkan sengaja disembunyikan walaupun begitu saya masih merasa beruntung dan bangga bahwa saya dalam peristiwa 1965 itu tahu dari dekat dan mendapat pelajaran yang bermanfaat. Bahwa fakta-fakta yang benar dalam sejarah itu kadang-kadang memang diputar balikkan oleh karena mereka yang berkuasa dengan maksud untuk kepentingan atau keuntungan tujuan politknya. Begitu juga dengan berita-berita dalam pers (koran-koran) telah dibuat demikian rupa oleh penguasa sebagai suatu Propaganda untuk kepentingan politik pemerintah.
Sebagai misal yang paling mudah kita ambil contoh peristiwa G 30 S. Peristiwa ini sebenamya terjadi pada tanggal l Oktober 1965 dinihari yang didukung oleh dewan revolusi dengan dipimpin oleh salah seorang perwira penanggung jawab pengawal istana Presiden Soekarno yaitu Letnan Kolonel Untung. Pengumuman dewan revolusi itu berbunyi sebagai berikut:
Sekelompok (grup) Jenderal merencanakan untuk mengambil oper kekuasaan (coup) dari Pemerintah Presiden Soekarno dan beliau akan dibunuh. Mereka membentuk dewan Jenderal dengan tujuan untuk membentuk kekuasaan Militer. Rencana coup tersebut akan dilakukan pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965 yang akan datang. Untuk mencegah itu maka dewan revolusi mendahului mengambil langkah dengan menangkap 6 Jenderal diantaranya Jenderal A Yani,
Dalam hal ini Tuan temyata telah meyakinkan orang banyak (menfitnah) dengan melancarkan berita bahwa G 30 S itu dilakukan oleh PKI. Hal ini jelas tidak benar. Bukankah yang melakukan gerakan ini adalah orang-orang militer? Dan saya meragukan kalau mereka yang melakukan gerakan itu orang komunis.
Saya ingin bertanya kepada Tuan lalu siapakali yang berbuat menyebarkan isyu sehingga timbul situasi dimana masa dibakar dan digerakkan. dengan menuduh G 30 S itu didalangi oleh PKI ?
Menteri Pertahanan sendiri yaitu Jenderal Nasution sebagai salah seorang anggauta Dewan Jenderal yang menunrt rencana seharusnya juga ditangkap oleh gerakan G 30 S telah berkata pada upacara penguburan 6 Jenderal yang terbunuh itu pada HUT ABRI tanggai 5 Oktber 1965 sebagai berikut:
“Sampai hari ini pun HUT ABRI kita masih tetap penuh khitmat dan kebanggaan meskipun ditandai oleh peristiwa yang merupakan noda bagi kita ABRI. Yaitu bahwa telah terjadi suatu fitnah dan pengkhianatan serta kekejaman atas perwira-perwira tinggi kita. Walaupun bagitu saudara saudara kita yang menjadi korban itu adalah tetap merupakan pahlawan-pahlawan di hati kita Bangsa Indonesia. Yang pada akhirnya nanti kebenaran pasti akan menang meskipun kita telah diftnah oleh pengkhianat-pengkhinat int. Hal mana pada waktunya nanti kita akan memperhitungkannya.”
Dalam pidato Jenderal Nasution itu sama sekali tidak nampak ada kesan bahwa terbunuhnya 6 Jenderal itu telah didukung apalagi dilakukan oleh PKI. Bahkan sebaliknya dari kalimat-kalimat yg diucapkan oleh Jenderal Nasution itu jelas, bahwa peristiwa G 30S itu adalah akibat pertentangan yg ada di kalangan ABRI sendiri.
Tuan Suharto – dapatkah saya bertanya kepada Tuan, siapakan yang dimaksud dengan kata-kata Nasution “fitnah dan pengkhianat pengkhianat” itu dan apakah yang dimaksud dengan kalimat “kita akan memperhitungkan mereka”.
Sebenarnya yang penting diperhitungkan dalam peristiwa itu adaiah: siapa dan apa tujuan dari 50 orang “yang bersegam seperti pengawal Presiden Soekarno” itu. Dan ketika mereka menyerbu rumah dan kediaman Jenderal Nasution dengan senjata lengkap diketahui jelas oleh beliau bahwa mereka itu (penyerbu) adalah mereka yang dikenal sebagai orang-orang yang anti komunis. Justru karena mereka tidak kenal Jenderal itulah maka mereka menyangka Letnan Tendean sebagai Komandan Jaga dikira Jenderal Nasution dan terus menembaknya.
Dari fakta ini jelas menurut penilaian saya bahwa andaikata para penyerbu itu benar-benar pengawal Presiden Soekarno pasti mereka akan tahu dan kenal betul pada Jenderal Nasution. Jadi tidak masuk akal pula kalau para penyerbu itu adalah orang-orang komunis yang mendapat tugas khusus tidak akan kenal pada Jenderal Nasution sehingga terjadi kegagalan itu.
Apakah Tuan tahu – bahwa banyak orang di Indonesia ini telah membicarakan bahwa timbul tanda tanya yang besar yang penuh prasangka kepada Tuan.
Yalah: mengapa Tuan sebagai komandan tertinggi pada Kostrad justru malah tidak diserbu untuk dibnnuh dengan dalih katanya”karena mereka (penyerbu) tidak tahu alamat Tuan”? Dan yang menarik perhatian lagi – justru Tuanlah yang pada tanggal l Oktober 1965 pada dinihari sudah memainkan peranan dan ambil oper pimpinan ABRI dengan memberikan perintah-perintah sehingga dengan mudah sekali Tuan telah bisa menguasai dan menumpas Dewan Revolusi dalam waktu yang singkat.
Setelah Presiden Soekarno kehilangan Jenderal A. Yani maka beliau terus mengangkat Tuan sebagai Menteri Hankam, sekaligus sebagai Pangab ABRI. Ini terjadi pada tanggai 14 Oktober 1965 dimana Presiden Soekarno pada pengangkatan Tuan itu telah berpesan sebagai berikut:
“Adalah mendesak sekali agar keamanan dan ketertibann harus segera dipulihkan agar terciptanya keadaan, dimana emosi dari golongan kiri maupun golongan kanan dapat ditenangkan dan dikendalikan, sehingga peristiwa G 30 S itu dapat diselesaikan sambil kita mempelajari segala sesuatunya yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Kejadian itu tidak akan menenangkan saya
sebelum segala sesuatunya jelas siapa yg bertanggung jawab entah dari pihak manapun, entah merah, hijau ataupun kuning”
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Tuan memikul tugas yang diberikan olch Presiden Soekarno untuk menghimpun segala data sekitar peristiwa G 30 S itu dan seharusnya Tuan segera memulai dengan penyelidikan dan pengusutan yang harus dilaporkan pada Presiden Soekarno. Akan tetapi Tuan ternyata tidak mentaati perintah-perintah itu bahkan Tuan telah memberikan tafsiran sendiri dan berkata:: “Sekarang saya sudah memperoleh kepercayaan dari Presiden Soekarno. Dan saya akan terus menumpas sisa-sisa kekuatan dari peristiwa tersebut ” Pernyataan Tuan jelas mempunyai arti tersendiri.
Sebenarnya Presiden Soekarno mengharapkan dan mempercayakan pada Tuan agar Tuan tetap setia dan loyal untuk melaksanakan perintah-perintahnya. Dengan tujuan selanjutnya akan diambil tindakan-tindakan hukum oleh Presiden Soekarno terhadap siapa yang bersalah tanpa pandang bulu – apakah PKI atau pihak Militer. Akan tetapi Tuan ternyata tidak memberikan laporan apa- apa pada Presiden Soekarno. Bahkan Tuan telah menggerakkan ABRI tanpa persetujuan Presiden bersama-sama dengan beberapa Jenderal antara lain Sarwo Edhie. Dan sejak inilah dimulai pengejaran dan pembunuhan terhadap mereka yang belum tentu bersalah yaitu kaum komunis. Yang kemudian telah terkenal luas di seluruh negeri bahwa TNI di bawah pimpinan Tuan telah melakukan penganiayaan, pembakaran, perarnpokan dan pembunuhan terhadap orang PKI. TNI telah melakukan teror yang berselubung di bawah pimpinan Tuan Rakyat yang hidup tenang dihasut/dibangkitkan untuk membenci dan mengamuk dengan dalih karena adanya kejadian terbunuhnya para Jenderal tersebut. Rakyat telah dihasut untuk anti PKI yang dikaitkan dengan negeri Cina yang dituduh memberikan dukungan terhadap G 30 S tersebut. Dan rakyat telah dibikin rupa sehingga tidak percaya bahwa “Dewan Revolusi” itu ada.
Selanjutnya Presiden Soekarno dipaksakan untuk menyatakan PKI dilarang dan di luar hukum karena dianggap partai itu terlibat pada G 30 S. Selama setahun lamanya mahasiswa-mahasiswa dan kelompok-kelompok yang tidak puas diorganisasi untuk melakukan demonstrasi-demonstrasi terhadap Soekarno dengan tuntutan-tuntutan termaksud. Akan tetapi Presiden Soekarno menolak untuk membubarkan PKI sebab tidak ada data-data dan bukti-bukti yang menyakinkan yang sudah dilaporkan pada Presiden.
Yang menarik perhatain ialah, bahwa “pemimpin-pemimpin” demonstrasi tersebut yang katanya adalah “mahasiswa-mahasiswa” kenyataannya umumya kebanyakan lebih dari 30 tahun dan bahkan pengikut-pengikutnya demonstrasi iru memakai pakaian seragam para troops (tentara payung) yang masih baru-baru. Sehingga perlu dipertanyakan apakah benar mereka itu mahasiswa-mahasiswa betul ? Dan dari mana dana (keuangan) yang didapat untuk mengorganisasi demonstrasi-demonstrasi itu? Dan mengapa ternyata sekarang, bahwa mereka yang menjadi pemimpin-pemirnpin” demonstrasi itu kini menempati kedudukan-kedudukan penting dalam Pemerintahan Tuan ?
Semua kekacauan dan tidak tenang yang nampaknya dibikin (artificial) telah berlangsung se-lama satu tahun. Sementara itu telah dilancarkan Propaganda secara luas bahwa segala kesulitan dan keburukan diberbagai bidang itu ditimpakan pada PKI? Dan hal ini sampai hari inipun masih berlangsung walaupun peristiwa G 30 S itu telah 4 tahun berlalu.
Akan tetapi tentang hal ini sebenarnya dapat dimengerti sebab dalam politik yang berkuasa itu harus membuat Rakyat yang tidak tahu apa-apa itu sedemikian rupa sehingga rakyat merasa tidak tenteram dan aman dengan menimpakan kesalahan dan ancaman itu pada PKI. yang kemudian
diarahkan bahwa penguasa (pemerintah) itu adalah satu-satunya pelindung rakyat yang sebenarnya.
Kalau demikian halnya maka jelas bahwa Tuan telah mengabaikan perintah dan peringatan Presiden Soekarno pada sidang kabinet tanggal 2 Januari 1966 di Bogor yang meminta kepada Tuan agar situasi yang tidak menentu itu harus segera diakhiri dan dipulihkan sehingga rasa kesatuan dan persatuan bangsa lIndonesia dapat tercipta kembali. Bukan saling membunuh diantara sebangsa dan setanah air. Apabila pembunuhan besar-besaran itu berlangsung terus menerus maka perjuangan kita selama ini akan sia-sia, karena dalam hai ini Tuan ternyata telah menempuh jalan sendiri.
Saya tidak akan mengatakan bahwa G 30 S itu baik. Tapi saya tidak akan menyalahkan siapa-pun dan belum memberikan penilaian terhadap peristiwa itu.
Andaikata sebagai orang komunis atau simpatisan. maka yang pertama-tama menjadi pertanyaan dan yang tidak masuk akal apa perlunya dan apa keuntungannya PKI itu melibatkan diri dalam G 30 S itu. Padahal PKI itu merupakan partai yang besar? Selain itu kalau memang benar PKI itu adalah pengacau? Mengapa TNI tidak mengetahui atau mencegah bahkan yang membakar Markas CG PKI itu dibiarkan untuk selanjutnya diselidiki kalau-kalau bisa diperoleh data yang penting? Dan kalau benar PK1 itu terlibat apakah tidak lebih baik kalau para pemimpinnya yang bertanggung jawab diadili di depan umum untuk diketahui oleh seluruh Rakyat Indonesia? Dan mengapa Tentara yang menangkap DN Aidit itu justru telah membunuhnya dengan diam-diam baru kemudian melapor pada Presiden Soekarno. Dan apa pula sebabnya ketua I dan wakil ketua II PKI, yaitu Sdr. Njoto dan Lukman juga diperlakukan yang sama dengan cara dibunuh dengan diam-diam dan tanpa proses hukum?
Kata orang bahwa NU itu mempunyai anggota sebanyak 6 juta. Tapi mengapa orang-orang di kalangan partai tersebut terlalu takut kepada PKI, yang jumlah angggotanya lebih kecil hanya 3 juta orang ? Memang terlalu banyak soal-soal dan pertanyaan- pertanyaan yang tidak bisa terjawab bahkan sengaja ditutup disembunyikan.
Komunisme yang begitu Tuan takutkan itu sebenarnya akan tidak berdaya. apabila kesengsaraan dapat ditiadakan. Hakekat ideologi PKI di bawah pimpinan DN Aidit sebenarnya berdasarkan Pancasila (Soekarnoisme). Dan PKI telah memainkan peranan yang penting dalam kebangkitan dan kebangunan Bangsa Indonesia serta berjuang untuk sosialisme Indonesia.
Juga Nasution pimpinan MPRS. telah menyalahkan PKI karena telah melakukan aksi-aksi di bidang ekonomi. Dia juga menyalahkan PKI bahwa sebab terjadinya inflasi dewasa ini karena adanya hutang pada luar negeri sebanyak $ 2.5 milyard dan diantaranya berupa pembelian sen-jata-senjata seharga $ l milyard pada Uni Sovyet. Yang aneh dalam hal ini justru hutang-hutang pada Uni Sovyet ini bukankah Jenderal Nasution sendiri yang menandatangani kontrak-kontraknya ? Bahkan dia sendiri sudah 2 kali berkunjung ke Moskow. Apakah dengan begitu ucapan Jenderal Nasution itu dapat dipertanggungjawabkan?

Tuan Suharto

Saya ingin mengajukan banyak data-data yang Tuan sendiri berharap akan menjadikan data-dala itu sebagai bukti terlibatnya PKI. Tapi mengapa Tuan tidak membuka penyelidikan untuk menghimpun sesungguhnya ? Sudah tentu bukan data-data yang bersifat sepihak. Saya kira seluruh Negri dan rakyat Indonesia berhak untuk tahu dan mengerti yang sebenarnya. Sekali biar seluruh rakyat tahu juga bagaimana pendapat Tuan tentang peristiwa tersebut. Hal ini penting sekali karena telah diisukan bahwa bukan hanya PKI yang terlibat tapi juga Presiden Soekarno yang ikut dituduh merestui ” dewan revolusi.”
Selain itu juga dikatakan bahwa beberapa ribu orang PKI sebelum peristiwa G 30 S itu telah dipersiapkan dengan mengadakan latihan militer di daerah lapangan udara Halim. Dimana Presiden Soekarno pada tengah malam ketika peristiwa itu terjadi juga diamankan disitu. Dengan adanya berita-berita itu orang pada bertanya bagaimana hal ini bisa terjadi adnya suatu latihan militer yang diikuti oleh ribuan orang dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi ? Dan apa perlunya Presiden Soekarno itu mencari perlindungan di tempat yang tidak menguntungkan baginya?
Kenyataan berita-berita lain yang saya peroleh dari lapangan udara Halim adalah bahwa : peristiwa G 30 S itu adaiah cetusan dari suatu konflik dalam angkatan Darat. Oleh karena itu mereka menggunakan dalih”pribadi Soekarno itu dibawa kesana karena saya sebagai istri merasa khawatir akan keselamatan suami saya. Sampai di Halim saya malah jadi bingung karena ketika saya tanyakan pada sementara orang tenyata tak seorang pun yang tahu apa yang telah terjadi. Bahkan ketika itu kita tidak tahu bahwa Jenderal A.Yani telah terbunuh. Pokoknya ketika itu kita tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Hampir semuanya dalam kebingungan dan tidak tahu apa yang akan diperbuat. Tidak seorang pun tahu apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi berikutnya.
Dalam mengenang peristiwa G 30 S itu kembali saya kira persoalannya akan lain andaikata Jenderal A.Yani masih hidup. Presiden Soekarno sendiri sangat sedih bagaimana sampai terjadi dia jadi korban dan bagaimana tempat tinggalnya sampai diketahui.
Selain hal diatas dengan ini saya ingin mengajukan pertanyaan yang penting kepada Tuan yang kiranya Tuan perlu perhatikan.Yalah tentang adanya ” dewan jenderal” yang Tuan telah tentang keras tidak mengetahuinya. Orang hanya tahu bahwa Jenderal A. Yani dan jenderal-jenderal lain yang terbunuh itu yang hanya mengetahui tentang persoalan “dewan jenderal1′ tersebut.
Akan tetapi 2 minggu sebelum peristiwa tersebut Presiden Soekarno bertanya kepada Jenderal A. Yani: bagaimna sebenamya duduk persoalan dewan jenderal tersebut. Yang dijawab oleh Jenderal A. Yani dengan tegas: Bapak Presiden serahkan kepada saya saja segala hal yang bersangkutan dengan anak buah saya tersebut” (maksudnya D.D.)
Dari dialog tersebut bagi saya timbul pertanyaan yang besar: bagaimana bisa terjadi Jenderal A. Yani itu ikut terbunuh?
Jadi andai kata Tuan benar-benar obyektif maka pasti Tuan akan yakin bahwa Soekarno itu benar-benar tidak terlibat dan tidak tahu apa-apa tentang G 30 S tersebut.

Tuan Suharto

Dengan mengetahui tentang hal-hal di atas maka lalu timbul pertanyaan saya: apakah kiranya jawaban Tuan ada seluruh rakyat Indonesia yang menduga bahwa dengan adanya tindakan cepat dari Tuan untuk membentuk kekuasaan “orde baru” dalam situasi yang kacau balau itu bukankah justru sebenarnya Tuanlah yang mempunyai semua rencana dan melaksanakan rencana “dewan jenderal”
Bukti-bukti kemudian menunjukkan bahwa dalam situasi yang kacau di Indonesia itu, Tuan telah membangun tentara yang berorientasi ke kanan, bergandengan tangan dengan sementara mahasiswa-mahasiswa (yang tidak puas) yang kemudian didorong dan bekerja sama dengan pimpinan-pimpinan partai islam serta politisi yang kanan untuk menghancurkan PKI. Yang selanjutnya terjadilah pembunuhan dan pertumpahan darah yang terencana. Bagaimana hal ini sampai terjadi bahwa sikap ABRI malah lebih dekat dengan Pentagon (markas Besar Departemen Pertahanan Amerika Serikat) dimana hampir semua kegiatan militer didunia dikendalikan dari sana? Apakah dalam situasi demikian itu orang bisa mengharapkan lain kecuali PKI itu menjadi hancur beranakan karenanya dan hubungan dengan RRC dengan sendirinya putus.
Presiden Soekarno telah berulang kali mengatakan bahwa tidak benar untuk hanya menyalahkan PKI. Beliau berkata: “Kita jangan melemparkan semua kesalahan itu kepada PKI saja. Tapi persoalannya terletak pada hal-hal lain.”
Saya sangat menghargai akan sikap Bung Karno yang begitu tegas itu meskipun beliau harus mengorbankan nasibnya sendiri. Beliau telah menolak untuk tunduk pada tekanan pihak ABRI untuk menyatakan PKI itu dilarang dan di luar hukum. Ideenya meskipun telah mengalami tekanan yang berat dari pihak ABRI. Andaikata Bung Karno itu tidak bersikap teguh sedemikian rupa, barangkali situasi dan posisi beliau tidak akan seburuk seperti sekarang, apalagi kalau beliau melakukan langkah-langkah kompromis. Tapi beliau tidak demikian dan tetap berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan.
Adam Malik, Menteri Luar Negri Republik Indonesia pada tahun 1966 telah berbicara di depan mahasiswa-mahasiswa di Tokyo dengan penuh kebohongan dan kebodohan. la menerangkan bahwa Soekarnolah yang bertanggung jawab atas terjadinya pembunuhan massal terhadap kaum komunis di Indonesia itu. Andaikata Soekarno tepat pada waktunya menentukan sikapnya terhadap PKI maka pembunuhan massal itu dapat dihindari.
Dengan pidatonya Adam Malik itu maka orang-orang yang tidak tahu tentang apa sebenarnya yang telah terjadi di Indonesia itu akan menanggapinya dengan benar. Sementara itu Bung Karno masih terus secara terbuka berbicara dan menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya tentang PKI itu. Hal ini pun telah ditafsirkan oleh sementara mereka itu, bahwa Presiden Soekarno telah merestui tindakan-tindakan lebih lanjut dari PKI yang ternyata kemudian berakibat terjadinya pembunuhan yang lebih kejam.
Seperti kata pepatah Latin Cui Bono yang artinya: yang penting bukan siapa yang benar akan tetapi siapa yang memperoleh keuntungan. Bukankah kemudian ternyata terbukti, bahwa Amerika Serikatlah yang memperoleh keuntungan dengan peristiwa G 30 S itu. Kini terbukti bahwa Jakarta telah dibanjiri oleh Investor-Investor asing (penanam modal) yaitu Amerika Serikat. Tentang inipun tidak menjadi soal andaikan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi itu Indonesia dan rakyatnya yang pertama-tama memperoleh keuntungan. Bung Karno sejak semula sebenarnya selalu menolak untuk dibuatkan patung untuk dirinya. Baru setelah 22 tahun kemudian beliau mengabdi kepada Revolusi Indonesia dengan enggan beliau baru menerima untuk dituliskan autobiografinya.
Akan tetapi bagi Tuan Suharto sendiri segera setelah tidak lama memegang kekuasaan telah dibuatkan buku riwayat hidup Tuan dengan memakai judul The Smiling General. Selain itu Tuan telah mengabadikan potret Tuan pada uang kertas Republik Indonesia yang sudah tentu agar Tuan cepat dikenal. Semua itu tentunya dengan advis para pembantu yang mengelilingi Tuan.
Tetapi sebaliknya – Tuan sama sekali telah meniadakan foto-foto Bung Karno pada kedutaan-kedutaan di Luar Negeri yang mempunyai kebiasaan memancangkan foto tokoh-tokoh dari bangsa di Dunia. Dalam hal ini tidak satu gambar Presiden Soekarno pun nampak.

Tuan Suharto

Tuan yang pernah mengkritik tentang kediktatoran Presiden Soekarno dan bahkan Tuan telah berjanji akan memulihkan demokrasi di Indonesia, ternyata sekarang Tuan telah berbuat melebih apa yang diperbuat oleh bung Kanio. Langkah pertama yang seharusnya Tuan lakukan untuk men demokratisir keadaan/ situasi antara lain tentang pemilihan Presiden. Temyata tentang halin inipun oleh Tuan selalu ditunda-tunda. Selain itu Tuan telah melarang untuk mencantumkan nama Bung Karno dalam buku-buku sejarah Indonesia yang harus diterbitkan. Sementara itu Tuan telah menahan Bung Karno dengan dalih untuk melindungi keselamatannya yang hakekatnya Tuan telah mengisolir beliau dari dunia luar. Tindakan Tuan yang tidak benar dan tidak adil inilah yang menyebabkan Bung Karno itu menjadi sakit. Beliau tidak mendapat perawatan sebagaimana mestinya. Dokter-dokter yang disediakan hanya proforma saja. Malah dokter gigi yang sangat diperlukan oleh beliau Tuan tidak berikannya. Bahkan pernah ada orang yang mengingatkannya agar Bung Karno itu jangan selalu diberi obat-obat injeksi sebab ada kemungkinan obat-obat in justru membahayakan kesehatannya.
Disamping itu saya juga berharap mudah-mudahan makanan yang dibuat dan dikirm oleh Putra/Putri Bung Soekarno itu benar-benar akan sampai ke tangan beliau selama beliau dalam isolas dalam tahanan benar-benar dalam keadaan sangat berat dalam hidupnya. Bahkan hak-hak ke manusiannya yang paling azasipun beliau tidak memperolehnya. Satu-satunya kesempatan yang diberikan kepada beliau selama beliau untuk meninggalkan isolasinya ialah ketika menghadir-perkawinan salah satu putrinya. Untuk itu mobil Bung Karno dikawal dengan ketat dengan kendaraan panser dan tidak boleh didekati oleh siapapun. Ketika beliau berdiri dan mendekati putrinya yang sedang menjadi temanten guna memberikan ciuman selamat dari seorang ayah pada anaknya inipun teiah dicegah oleh Polisi Militer yang mengawalnya dan beliau didorong secara kasar sehingga terjatuh duduk di atas sofa. Selain itu wajah beliau ditutupi dan dihalang-halangi agar tidak dapat diambil fotonya.
Andaikata saya yang mendapat perlakuan demikian mungkin pasti jiwa saya akan terpukul keras. Akan tetapi karena Bung Soekarno itu mempunyai jiwa yang besar dan mentalnya kuat perlakuan demikian itu dianggapnya sebagai pengorbanan yang harus dideritanya. Saya benar-benar sangat khawatir bahwa mungkin perlakuan alat-alat kekuasaan Tuan kepada Bung Karno itu kalau sedang sendirian lebih kasar karena di depan umum pun alat-alat kekuasaan Tuan itu sampai berani berbuat demikian terhadap beliau. Tuan dapat saja menghancurkan jasmani Bung Karno tetapi Tuan tak akan pernah berhasil menghancurkan semangat dan jiwanya dalam membela keadilan dan kebenaran Jiwa dan semangat Bung Karno itu tak akan pernah mati!
Bung Karno telah berjasa membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda yang 350 tahun lamanya. Setelalh 13 tahun di penjara dan dibuang pemerintah Belanda dan memimpin perjuangan bersenjata untuk kemerdekaan Indonesia selama tahun 1945 sampai tahun 1949. Bung Karno itu pasti tahu apa yang harus diperbuat untuk mengisi kemerdekaan negerinya.
Tanpa kepemimpinan Bung Soekarno Tuan pasti tidak akan punya kedudukan sebagai Presiden seperti sekarang ini. Bung Soekarno itu telah meletakkan Undang-undang dasar yang demokratis untuk Indonesia dan telah mendirikan “Lingua Franca”.
Dibidang seni dan budaya beliau adalah promotor. Beliaulah orangnya yang telah meletakkan dasar untuk pembangunan Bangsa Indonesia. Apakah dengan jasa-jasanya itu tidakkah pantas beliau mendapatkan imbalan?!
Andaikan Bung Soekarno tahu bahwa akan terjadi suatu pengkhianatan yang berakibat pembunuhan antar sesama Bangsa seperti peristiwa G 30 S itu pasti beliau tidak akan menyetujuinya.
Dan saya pun tidak akan tinggal diam apabila sampai suami saya terlibat dalam tindakan kekerasan itu. Didepan mata saya Bung Karno itu sangat terpuji dengan sifat-sifatnya yang luhur! Saya sangat yakin bahwa kalau ada seseorang yang berbuat dengan cara sadar dan sistematis membunuh sesama manusia maka perbuatan itu adalah yang paling keji dan tak beradab. Saya kenal pepatah Jepang yang berbunyi “mencekek seseorang dengan kain sutra: Sehubungan dengan inilah Tuan Suharto. Tuan telah memperkenankan Bung Karno itu diperlakukan sedemikian rupa tersiksa baik lahir maupun batinnya.
Selama ini saya belum pernah mengeluarkan suara atau pernyataan apa-apa karena saya sadar bahwa Tuan sedang menghadapi persoalan-persoalan yang cukup gawat. Tapi kali ini saya harus berbicara secara terbuka kepada Tuan karena: pertama-pertama untuk menjaga keselarnatan dan nama baik Presiden Soekarno.
Ketika Presiden Soekarno menyerahkan wewenangnya kepada Tuan sebagai pejabat Presiden pada tanggal 7 Märet 1967 telah diberikan 3 syarat oleh beliau kepada Tuan. Salah satu diantaranya yalah: bahwa Tuan harus menjaga keselamatan keluarga Presiden Soekarno. Ternyata Tuan tidak memperhatikan permintaan beliau itu.
Sewaktu Tuan diwawancarai oleh wartawan Jepang tentang banyaknya korupsi di Indonesia dewasa ini. Tuan telah memberikan keterangan sebagai berikut: “Tentang masalah korupsi itu saya kira selamanya akan ada. Dan soal korupsi ini sebenarnya adalah sisa-sisa dari pemerintah Soekarno dulu. Sementara ini akan tetap demikian karena memang sedemikian sejak semula.
Kalau ucapan Tuan itu benar maka ucapan Tuan itu seakan-akan ucapan seorang yang üdak bertanggung jawab. Sikap Tuan itu adalah licik dan tidak jantan karena Tuan ternyata berlindung dibelakang nama Soekarno tentang apa yang sekarang terjadi. Ketika Tuan berbicara demikian didepan wartawan itu maka habislah segala rasa hormat saya pada Tuan sampai yang terakhir pun!
Memang selama masih disebut manusia biasanya siapa yang menang akan selalu menganggap dirinya benar dan sebaliknya mereka yang kalah pasti segala sesuatunya akan ditimpakan kepadanya.
Apabila Tuan memang bersedia dan benar-benar mau menyelidiki serta memberantas korupsi sebagai seorang warga negara Indonesia saya sepenuhnya bersedia untuk menjadi saksi dan hadir pada setiap sidang-sidang pengadilan yang dilakukan secara terbuka. Sudah tentu pelaksanaanya harus sesuai dengan norma-norma dan hukum yang berlaku dan tidak ditutup-tutup serta tidak boleh (…?? Sambungan kalimat tidak jelas-Pen)
Bung Karno adalah Pahlawan Revolusi Indonesia. Dengan kerendahan hati ingin saya katakan bahwa beliau memang belum tentu bisa menjadi pemimpin diwaktu damai. Akan tetapi saya kira andaikata Bung Karno itu sewaktu menjadi mahasiswa sempat belajar di luar negeri beliau pasti akan lebih banyak mengenal masalah-masalah ekonomi yang akan melengkapi kepemimpinanya. Saya katakan demikian karena mungkin “Nasionalisasi” perusahaan – perusahaan asing di Indonesia yang telah dilakukanya itu sebagai suatu kekhilafan.
Selain itu Bung Karno itu sebenarnya tak pernah mengalami dan berada dalam kehidupan keluarga yang stabil. Andaikata beliau lebih lama mengenal kehidupan rumah-tangga yang harmonis seperti halnya kebanyakan orang mungkin beliau ini akan menjadi Presiden yang lebih baik dalam suatu pemerintahan yang terpimpin dan sosiaiis dinegeri ini. Sayangnya tidak memungkinkan sehingga beliau itu lebih cenderung pada sifat-sifat seorang kaisar. Dan beliau jadi korban dari kekuasaan yang dikuasainya sendirian secara-penuh.
Saya dapat mengatakan demikian kepada Tuan karena saya memang menganggap dan menghomati Soekarno itu sebagai orang besar. Akan tetapi kiranya Tuan tahu, bahwa saya tidak selalu menyetujui setiap pendapatnya.
Sebagai misal terhadap Pancasila yang beliau gali dan ciptakan itu, menurut pendapat saya adalah sepenuhnya terlalu idealistis. Meskipun idealisme itu perlu akan tetapi dalam abad ke 21 ini tidak sepenuhnya idealisme itu dapat dilaksanakan dalam praktek.
Indonesia sebenarnya belum matang untuk dibawa pada sistem demokrasi ala barat. Oleh karena itulah maka Bung Karno memberikan konsep pemikiran: “Demokrasi Terpimpin”. Lebih-lebih karena Rakyat Indonesia kebanyakan masih banyak yang buta humf dan taraf pendidikan maupun kemampuan ekonominya tidak sama. Dalam hal ini saya sependapat dengan Bung Karno.
Akan tetapi dipihak lain beliau itu telah meletakan dasar politik yang terlalu tinggi dan terlalu ideal. Karena itu dapatlah dimengerti kalau beliau mendapat kritik yang begitu keras terutama dengan cita-citanya untuk mengadakan perbaikan atas nasib seluruh rakyat Indonesia secara rnasal dan serentak. Beliau sebetulnya harus lebih realistis dengan ide-idenya itu. Pada saat-saat beliau mempunyai posisi yang cukup kuat sebagai penguasa tertinggi mestinya bliau akan mendapatkan dukungan dari pembantu-pembantunya atas ide-idenya tersebut. Akan tetapi kebanyakan dari Rakyat Indonesia itu hanya mengharapkan perubahan-perubahn dalam kebutuhan hidup sehari-harinya. Rakyat hanya menginginkan pemenuhan material yang nyata dan mereka sudah mulai jenuh dengan idealisme yang sering dipidatokan. Bung Karno itu mengemukakan bahwa dunia ini dikuasai oleh 2 blok kekuasaan adi kuasa. Dan ide beliau ingin membentuk kekuatan ke 3 sebagai imbangan. Dalam perjuangan mewujudkan cita-cita ini Indonesia dapat mempengaruhi dan menggerakkan dunia ke 3 seperti negara- negar di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Ini berarti bahwa Indonesia sekaligus harus bisa berdikari disegala bidang. Demikian yang dicita-citakan oleh Bung Karno.
Kalau kemerdekan penuh dapat diberikan kepada semua negeri dan bangsa-bangsa yang terjajah. Akan sikap politik Indonesia yang mengisolasi diri itu menyebabkan Indonesia menarik diri dari keanggotaan P.B.B, dari Bank Dunia tidak ikut dalam Olympiade di Tokyo. Hal ini terjadi dalam rangka ketegangan dan perjuangan pembebasan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia.
Bung Karno berpendapat bahwa P.B.B telah bersikap tidak adil terhadap anggota-anggotanya. Indonesia yang belum pernah mendapat pinjaman dari Bank Dunia (Yang dikuasai oleh Amerika Serikat) telah menolak bantuan itu, kalau memakai syarat-syarat politik. Sebelum Olympiade Tokyo dimulai Indonesia telah dituduh mempolitisir olah-raga seluruh bangsa-bangsa Asia-Afrika di Jakarta (Ganefo). Karena Indonesia lalu ditolak untuk ikut dalam Olympiade Tokyo itu. Dalam hal ini Bung Karno menolak tuduhan tersebut kerena ternyata pertandingan-pertandingan Olympiade selama ini pun juga tidak mengikut sertakan semua negeri khususnya negara-negara komunis.

Tuan Suharto

Apabila Tuan juga mencoba memikirkan tentang hari depan Indonesia pada hari-hari yang gawat itu tuan pun akan pasti mempunyai pendapat-pendapat lain mengenai ide-ide Bung Karno itu, yang mempunyai akibat tantangan angin taufan. Saya sendiripun ikut prihatin dengan hati yang berdebar-debar memperhatikan bahwa diplomasi Indonesia itu makin hari makin bergeser kekiri.
Memang tak ada orang yang sempurna! Begitu juga dengan diri Bung Karno menurut saya apa yang dikerjakan oleh beliau itu sama sekali tidak terselip untuk keuntungan diri sendiri tetapi sepenuhnya segala sesuatunya itu diabdikan pada Indonesia dan rakyatnya satu-satunya yang dicintainya dan hendak diabdinya. Dalam perjalanan hidupnya Bung Karno itu selalu berusaha untuk mencegah dan menghindari ada pertentangan dalam negeri yang bisa berakibat adanya korban-korban.
Dibanding dengan sikap Tuan dan pembantu-pembantu Tuan ternyata jauh berbeda dimana Tuan atau pembantu-pembantu Tuan telah memerintah Indonesia dengan perampokan dan pertum-pahan darah. Tuan dan pembantu-pembantu Tuan kelak akan dituntut dengan tuduhan telah melaksanakan pembunuhan yang disengaja terhadap ratusan ribu orang PKI yang tidak bersalah, dengan dalih “penumpasan PKI sampai ke akar-akarnya
Siapa dapat percaya bahwa Tuan percaya kepada Tuhan ? Dalam hal ini Indonesia seharusnya tidak memerlukan Presiden di mana tangannya penuh berlumuran darah.

Tuan Suharto

Bung Karno itu saya tahu benar-benar sangat mencintai Indonesia dengan Rakyatnya. Sebagai bukti bahwa meskipun ada lawannya yang berkali-kali hendak menteror beliau beliau pun masih mau memberikan pengampunan kalau yang bersangkutan itu mau mengakui kesalahannya. Dibanding dengan Bung Karno maka dibalik senyuman Tuan itu, Tuan mempunyai hati yang kejam. Tuan telah membiarkan ratusan ribu orang orang PKI dibantai. Kalau saya boleh bertanya : apakah Tuan tidak mampu dan tidak berkuasa untuk mencegah dan melindungi mereka agar tidak terjadi pertumpahan darah?
Mungkin Tuan kelupaan bahwa ketika peristiwa tahun 1965 itu berlangsung Bung Karno tidak juga Tuan suruh bunuh pula. Tuan pasti mudah amat untuk mempersalahkan dan menuduh PKI itu bersalah sehingga terjadinya tragedi tersebut. Kalau Tuan mau berbuat demikian maka pasti rakyat banyak yang menjadi pengagum dan menganut Bung Karno itu akan tetap hidup tenang. Tidak seperti sekarang dimana mereka tidak dapat berbuat apa-apa sementara mereka tidak tahu bagai-mana nasib pemimpinnya.
Semestinya Tuan tidak perlu memperlakukan Bung Karno itu sedemikian rupa, yang rnungkin karena perasaan kerdil Tuan. Sebenarnya Tuan akan lebih terhormat apabila Bung Karno itu sebagai Pemimpin Besar Revolusi dapat meninggal secara wajar bukan karena tersiksa dalam tahanan. Adalah suatu kerugian besar sekali bagi Indonesia bahwa Bung Karno itu telah mendapat perilakuan yang tidak wajar seperti itu setelah beliau mengabdi selama hidupnya untuk Negara Indo­nesia dan bangsanya.
Pada akhir surat terbuka ini saya akan tutup surat ini dengan mengenang kembali akan kecintaan dan kemesraan saya terhadap Bung Karno dengan seruan!!!



Paris tgl 16-4-1970
Tertanda
Ratna Sari Dewi Soekarno