11 Apr 2015

Catatan Harian Orang Gila (Cerpen) - Lu Xun



DALAM Catatan Harian Orang Gila, Lu Xun bercerita tentang tokoh “aku” yang secara tidak sengaja mendengar kabar, bahwa salah satu dari dua bersaudara yang menjadi sahabat karibnya ketika sekolah menengah atas, tengah menderita sakit yang serius. Ketika tokoh “aku” menyempatkan diri singgah ke tempat mereka untuk menengok, ia hanya bertemu dengan salah satu dari mereka, yang kemudian memberitahu bahwa yang sakit itu adalah adiknya.
Dari sini cerita pun mengalir. Tokoh “aku” diperlihatkan oleh sang kakak catatan harian yang ditulis oleh adiknya. Menurut sang kakak, dengan membaca catatan harian sang adik, karakter penyakit masa lalu adiknya dapat diketahui.
Setelah membaca sampai khatam, tokoh “aku” menyimpulkan jikalau penyakit yang diderita sang adik adalah skizofrenia. Tokoh aku—yang sepertinya berprofesi sebagai tenaga medis—telah menyalin sebagian untuk memanfaatkannya sebagai subyek penelitian medis. Cerita selanjutnya pun berkisah tentang catatan harian yang ditulis oleh sang adik yang terdiri dari 13 bagian.
Awal mula gejala skizofrenia sang adik tampak pada bagian kedua. Dalam catatan hariannya, sang adik teringat akan kejadian “dua puluh tahun yang silam”.
Bertambah-tambahlah keherananku. Salah apa aku dengan Tuan Chao dan orang-orang di jalanan itu. Aku tak dapat memikirkan apa pun kecuali bahwa dua puluh tahun yang silam aku telah menginjak-injak kertas catatan Tuan Ku Chiu dan tampaknya ia tak senang” (CHOG: 4)
Ku Chiu sendiri berarti “Zaman Kuno”. Adegan penginjakan “Zaman Kuno” dalam cerpen ini tampaknya menjadi biang keladi dari penyakit sang adik. Sang adik seperti mendapat sebuah kutukan yang terus memburunya. Sejak saat itu, sang adik mengidap skizofrenia paranoid tertentu terhadap sekitarnya. Ia merasa Tuan Chao melihatnya dengan tatapan aneh seolah-olah ingin membunuhnya. Orang-orang di sekitarnya pun membicarakannya dengan berbisik-bisik.
Pada penderita skizofrenia paranoid, waham mereka sering kali mencakup tema-tema kebesaran, persekusi atau kecemburuan. Mereka meyakini, contohnya, bahwa pasangan atau kekasih mereka tidak setia, tanpa peduli akan tiadanya bukti. Mereka juga sangat gelisah, bingung dan ketakutan.
Setelah kejadian penginjakan kertas catatan Tuan Ku Chiu, serentetan gangguan psikotik pun mendera sang adik. Dimulai dari gangguan pikiran saat sang adik berpapasan dengan Tuan Chao.
Ia menatapku dengan tatapan aneh dan was-was, seolah-olah dia ingin membunuhku. Tujuh atau delapan orang yang lain membicarakanku dengan setengah berbisik” (CHOG: 3)
Gangguan pikiran tersebut langsung menimbulkan pengaruh pada perilaku sang adik. Sang adik merasa sekujur tubuhnya kedinginan karena salah seorang dari yang membicarakannya menyeringai ke arahnya. Perilaku “kedinginan” ini sangat tidak wajar, mengingat dalam cerita tidak diceritakan sedang tidak ada hujan dan tidak ada angin.
Karena perasaan tertekan terus menerus, persepsi sang adik terhadap lingkungan sekitar pun turut terganggu. Ia melihat “semua orang yang berwajah hijau dan bergigi panjang itu mulai tertawa mengejek” (CHOG: 5). “Gigi mereka putih dan berkilau; mereka semua adalah kanibal” (CHOG: 6). Hingga akhirnya, ketika sang adik dibawakan makan siang oleh Chen Tua berupa sayuran dan semangkuk ikan kukus, ia “tidak dapat lagi membedakan apakah potongan-potongan tipis ini adalah ikan atau daging manusia” (CHOG: 8).
Semua bayangan tentang kanibalisme—yang menurut sang adik terjadi di Desa Anak Serigala—telah membuat emosinya menjadi terganggu. Emosinya menjadi datar dalam menganggapi suatu hal. Hal ini tampak dalam percakapan sang adik dengan “seseorang” pada bagian delapan. Sang adik bertanya: “apakah boleh memakan daging manusia?” (CHOG: 13). Jawaban tokoh seseorang tidak dapat memuaskannya sama sekali. Sehingga sang adik menarik kesimpulan:
Dia pasti telah diajari oleh kedua orangtuanya. Dan aku takut kalau dia sudah mengajari putranya. Itulah sebabnya bahkan anak-anak pun melihat ke arahku dengan buasnya” (CHOG: 15).
Selain waham persekusi, sang adik juga mendapat gangguan isi pikiran berupa waham dikendalikan. Hal ini tampak pada bagian tujuh dalam catatan harian tersebut:
Aku memahami cara-cara mereka; mereka tidak berkeinginan untuk membunuh seseorang di luar hukum, sekaligus tidak benar-benar berani, karena takut akan akibat-akibatnya. Malah sebaliknya, mereka bersekutu dan membuat jebakan di mana-mana, untuk memaksaku agar bunuh diri” (CHOG: 12).
Akhirnya, semua paranoid sang adik bertumpu pada satu orang, sang kakak. Menurutnya, sang kakak lah yang mengakibatkan semua masalah dalam hidupnya. Sang kakak yang terlalu superior membuat sang adik lambat laun tersiksa dalam suasana inferior. Bahkan, sang adik pun menyangka kakaknya lah yang telah membunuh adik perempuan mereka, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut:
Kupungut sumpitku. Pikiranku hanya tertuju pada satu titik: kakakku; aku tahu kini bagaimana adik perempuanku meninggal. Tidak salah lagi, dialah pembunuhnya. Saat itu, adikku baru berumur lima tahun. Masih segar dalam ingatanku betapa memikat dan memelas wajah kakakku setelah peristiwa itu. Ibu menangis dan menangis, tapi dia mengiba agar ibu jangan menanmgis, mungkin karena dia sendiri yang telah memakan adik, dan tangisan ibu membuatnya malu. Seandainya dia memiliki secuil rasa malu….” (CHOG: 19).
Paranoid terhadap kakaknya berujung pada suatu kesimpulan. Sang adik menyadari telah lama hidup dalam teritori kanibal. Dan menurutnya, hal tersebut sudah berlangsung selama ribuan tahun.

Lahir di Zamannya

APA kira-kira yang membuat Lu Xun menulis tentang catatan seorang penyandang skizofrenia? Apakah sewaktu Lu Xun menulis CHOG, skizofrenia sudah menjadi fenomena yang umum seperti sekarang? Banyak kritikus yang menafsirkan CHOG dengan kondisi sosio-kultural Cina pada masa itu. Cina pada waktu itu sedang mengalami masa gejolak yang sangat besar. Lu Xun sendiri terlibat dalam gerakan penggulingan Dinasti Qing yang disebut Guang Fu Hui. Gerakan ini timbul oleh rasa frustrasi karena penolakan Dinasti Qing untuk melakukan reformasi serta karena kelemahan Cina terhadap negara-negara lain, membuat timbulnya revolusi yang terinspirasi oleh ide-ide Sun Yat-sen untuk menghapuskan sistem kerajaan dan menerapkan sistem republik di Cina.
Praktis ia pun menjadi saksi dan pelaku sejarah. Ia melihat bagaimana kota-kota besar di Tiongkok dijarah dan dibagi-bagi seenaknya oleh kaum imperialis Jepang dan Eropa. Keputusannya banting stir dari dunia medis dan kedokteran ke dunia seni dan pergerakan adalah sebuah pilihan yang niscaya baginya.
Dalam “Panggilan Berjuang” Lu Xun menegaskan bahwa selain dengan keyakinannya sendiri, ia tidak bisa menghilangkan harapan yang dijanjikan masa depan. “Aku tak bisa mengelak akan keniscayaan harapan itu”, tulisnya. Ia menganggap sastra-lah yang paling baik untuk mewujudkan tujuan dan harapannya dalam pergerakan.
Parahnya, sedari awal perjuangan Lu Xun adalah perjuangan yang bertolak dari mimpi dan kesepian. Walau karya sastranya condong ke arah “kiri” ia sama sekali bukan komunis. Keterasingan Lu Xun kentara sekali dalam setiap karyanya. Keterasingan ini timbul entah dari kehidupannya yang penuh kegetiran atau kekecewaan masa lalu yang mendalam.
Latar belakang inilah yang memicu lahirnya CHOG. Orang gila—atau skizofrenia dalam cerita ini—adalah representasi dari kehidupan bangsa Cina itu sendiri. Sang adik secara tidak sadar ternyata hidup dalam wilayah para kanibal, yang bisa diasosiasikan dengan Cina yang selalu dilanda perang saudara dan secara tidak sadar mulai dijajah oleh para imperialis asing.
Ada sisi satir dalam cerpen ini. Sang adik yang menderita skizofrenia, ternyata adalah satu-satunya orang yang sadar dengan kondisi “kanibalisme” yang terjadi di desanya, yaitu Desa Anak Serigala. Bahkan setelah sadar pun, sang adik tetap mempunyai pengharapan walau terlambat, sebagaimana kutipan berikut:
Bagaimana mungkin seorang manusia seperti diriku, setelah empat ribu tahun tersekap dalam sejarah kawanan kanibal—meskipun pada mulanya aku tidak mengetahui apa-apa mengenainya—pernah berharap untuk menghadapi manusia yang sebenarnya?” (CHOG: 20-21).
Angka empat ribu tahun di sini bisa berarti banyak. Mungkin untuk memberi kesan saking lamanya sang adik terjebak dalam wilayah kanibal itu. Atau itu hanya coretan seorang penderita skizofrenia yang tidak paham tentang konsep ruang dan waktu.
Empat ribu tahun juga sebuah rentang waktu yang mengisi sejarah bangsa China. Dinasti pertama China yang tercatat dalam sejarah adalah Dinasti Xia yang kekuasaannya berlangsung antara tahun 2100 SM – 1600 SM. Jika dihitung hingga CHOG ditulis maka muncullah angka + 4000 tahun. Apakah ini kebetulan? Saya rasa tidak. Lu Xun telah membuat sebuah sindiran tentang bangsanya sendiri dengan cukup cerdas. Selama rentang waktu 4000 tahun, China selalu diwarnai politik kekuasaan, perang saudara, dan perebutan wilayah.
Sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan. Begitu pula dengan karya-karya Lu Xun. Tidak hanya berkutat pada kritik pada penguasa, borjuisme, dan para intelektual yang ternyata juga merupakan makhluk serakah. Pengaruh sosial ini tentu saja mempunyai hubungan kausalitas dengan karya sastra. Hubungan kausal ini dapat dianggap sedemikian kuatnya, sehingga sebuah narasi sastra dipandang tidak lain dari refleksi struktur sosial di mana seorang pengarang menghasilkan karyanya.
Meskipun berpandangan revolusioner, Lu Xun tetap seorang pengarang yang terkenal dan tangguh, yang selalu mempertahankan ekspresi sastra dan kebebasan yang dibutuhkan. Ungkapannya yang sangat terkenal adalah:
Walaupun semua sastra adalah propaganda, tidak semua propaganda adalah sastra; seperti semua bunga punya warna (saya anggap putih sebagai warna), tidak semua benda berwarna adalah bunga. Di samping semboyan, slogan, pengumuman, telegram dan textbook, revolusi membutuhkan sastra—hanya karena sastra adalah sastra” (Fokkema, 1998)


Oleh karena itu, karyanya berhasil menukik lebih dalam. Masuk ke dalam setiap sendi kehidupan. Seperti karya Maxim Gorkhi yang melayangkan kritik lewat kehidupan pribadi pelajar, buruh, gelandangan dan orang-orang desa di Rusia pada masa sebelum dan setelah revolusi.
Dengan membaca CHOG, kita semua dipaksa untuk merenung. Di tempat apakah kita hidup selama ini? Apa yang akan kita wariskan pada generasi setelah kita? Benarkah kita masih menjadi “manusia”? Ada baiknya kita kutip kembali paragraf terakhir dalam CHOG:
Pertanyaannya kemudian, masih adakah anak semua bangsa dari generasi paling baru yang belum dirasuki hawa jahat kanibalisme itu? Barangkali ada. Maka selamatkanlah mereka….” (CHOG: 21)

10 Apr 2015

Lu Xun: Sang Cerpenis Pengobat Bangsa



1881 di desa Shaoxing, lahirlah Zhou Shuren yang kelak akan dikenal dengan nama Lu Xun.  Kakeknya seorang pegawai negeri di Peking, sementara ayahnya adalah guru. Lu Xun kecil tumbuh bersama kondisi Cina yang morat-marit akibat perang Tiongkok-Jepang yang tak berkesudahan. Perang membuat keluarganya menjadi teramat miskin. Pada usia 13 tahun, Lu Xun melihat kakeknya digelandang ke penjara dengan tuduhan penyogokan.
            Segala penderitaan tak membuat Lu Xun pupus; sebaliknya, itulah yang membuat ia bangkit. Sebagai pemuda dengan cita-cita tinggi, ia memutuskan untuk belajar ilmu kedokteran di Jepang, tepatnya di Universitas Sendai. Keinginan itu dipaksa oleh kondisi masyarakat Cina yang banyak mengidap penyakit, sedang tenaga dokter sangat sedikit. Namun kuliahnya tak pernah selesai. Pasalnya peristiwa sepele. Ketika itu, secara kebetulan ia menyaksikan sebuah pertunjukan slide tentang perang Jepang-Rusia. Dalam salah satu adegan diperlihatkan bagaimana seorang Cina dihukum mati oleh serdadu Jepang. Pemandangan itu menggoncang hatinya. Tapi yang lebih mengaduk-aduk jantungnya adalah ketika orang Cina lainnya hanya menonton hukuman mati itu dengan diam.
            Maka lahirlah sebuah konsepsi baru dalam dirinya. Menurutnya, yang dibutuhkan Cina bukan cara mengobati penyakit fisik (phsycallil), tapi pengobat (r) semangat (medicine spiritual).
            Lewat pertunjukan itu aku diyakinkan bahwa ilmu kedokteran tak punya arti penting sama sekali (bagi perubahan). Orang yang lemah dan terbelakang, sekalipun badannya sehat-sehat, hanya mampu menjadi saksi atas pemandangan yang sia-sia … Menurutku, yang terpenting adalah mengubah semangat mereka. Sejak saat itu aku memilih sastra sebagai sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu.”-Panggilan Berjuang.
            Pada 1990, Lu Xun kembali ke Cina; persis sebelum peristiwa-peristiwa penting melanda tanah airnya. Ia menyaksikan Revolusi Xinghai (1911) yang sukses merobohkan dinasti Qing yang jompo; Sun Yat Sen menjadi presiden pertama Cina (1912); gerakan Empat Mei (1919) yang menolak kebudayaan tradisional konfusian; aliansi Partai Nasionalis dan Partai Komunis (1925); kemenangan Chiang Kai Sek di sebagian besar wilayah Cina (1926); pembantaian kaum komunis di Shanghai (1927). Ia melihat bagaimana kota-kota besar di Cina dijarah dan dibagi-bagi seenaknya oleh kaum imperialis Jepang maupun Eropa. Lu Xun, mau tak mau dipaksa menyaksikan penganiayaan, pembunuhan, pembakaran, perampokan, yang terjadi di sekitarnya, baik di Shaoxing, Beijing, Xianmen, Canton, maupun Shanghai. Sudah pasti ia juga mendengar, bahkan terlibat dalam perdebatan di kalan intelektual masa itu tentang sosialisme, liberalisme, pragmatisme, dan tentu saja; marxisme yang kelak bakal ia puji setinggi langit.
            Semua tumpukan kelaliman peradaban itu tak hanya dipendam Lu-Xun di hatinya dan setelah itu menguap; tapi justru kenyataan kronis itu mendrongnya untuk berpikir lebih keras. Karena ia sebagai manusia yang telah memilih jalan menulis sebagai jalan perjuangan, maka ia menancapkan taring-taring kritiknya lewat pelbagai esai, dan tentu saja cerpen-cerpennya yang kini melegenda (sepanjang hidupnya, Lu Xun tak pernah melahirkan novel).  Beberapa cerpen perlawanan yang pernah lahir dari tangannya yang dingin adalah;
-Catatan Harian Orang Gila (1918)
-Sebuah Insiden (1920)
-Manusia Dalam Kesunyian (1925)
Tak syak lagi. Cerpen-cerpen inilah yang meengangkat namanya, tidak hanya di Cina, melaikan tersiar ke segala penjuru bumi. Cerpenlah yang mengantarnya menyandang gelar sebagai; “Penulis Terbesar Cina di Abad ke 20!”
            Sebagai komandan tertinggi Revolusi Kebudayaan Tiongkok, dia tak hanya seorang sastrawan besar, tapi juga seorang pemikir dan revolusioner yang terbesar … Pada medan kebudayaan, ia adalah pahlawan nasional yang paling berani, teguh, setia, paling bersemangat, pantang menyerah. Lu Xun adalah pahlawan tanpa tandingan dalam sejarah kita.” –Mao Ze Dong (1940)
            Tersebutlah pada warsa 30-an. Dua sosok yang menjadi kunci di sebuah Himpunan Pengarang Kiri bersitegang.  Di satu sis, Zhou Yang, yang mendapatkan kepercayaan dari Partai karena ketangkasan dan kejeniusannya dalam soal kritik sastra Marxis, dan di sisi lain adalah; Lu Xun.
            Setelah berjalan sekian tahun, himpunan yang berisi sastrawan-sastrawan kunci Cina di era itu, oleh Partai harus diubah haluan ideologinya seturut dengan adanya rencana mengadakan aliansi dengan Partai Nasionalis untuk melawan imperialisme Jepang dan Eropa. Mula-mula yang dilakukan Zhou adalah mengubah slogan lama himpunan menjadi slogan baru, yakni; “Sastra Pertahanan Nasional.” Perubahan ini barangkali bisa ditoleransi. Tapi ujungnya itu yang tidak mengenakkan kuping, termasuk Lu Xun. Yakni; siapa yang tidak turut menjalankan kebijakan ini adalah pengkhianat.
            Tak pelak lagi, polemik paling panas pun terkuak. Lu Xun tak menerima bahwa untuk kepentingan partai, idealisme harus di-pasar-loak-kan. Yang paling tidak diterima oleh Lu Xun adalah sloganisme “Yang tidak patuh adalah Pengkhianat.” Dan Lu Xun mengambil sikap berdiri di seberang.
            Kiri, bagi Lu Xun tidak harus menjadi anggota partai tertentu atau bergabung dengan “kamerad-kamerad” yang berjiwa revolusioner. “Menjadi kiri” dipahami dalam artinya yang fundamental; anti kemapanan dan membela yang tertindas. Tak peduli bahwa sikapnya itu harus membawanya ke liang kubur. Dalam konfliknya itu, ia memainkan dua peran sekaligus: sebagai intelektual yang membela kebenaran dan keadilan sekaligus sebagai bagian dari masa tertindas, (istilah Lu Xun: Manusia Kesunyian) yang berusaha mati-matian melawan penindasan idealisme.
            Seperti halnya Pramoedya Ananta Toer yang kita banggakan, Lu Xun juga adalah manusia yang hatinya tak mudah disilaukan oleh godaan kekuasaan yang profan. Baginya, untuk pengukuhan dirinya sebagai tokoh dalam kesustraan Cina, ia tak perlu menjadi penjilat pantat penguasa. Ia adalah kiri sebagaimana yang ia takwilkan sendiri.
            Setelah terlibat dalam aksi protes atas pembunuhan mahasiswi dalam sebuah demonstrasi, ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain: dari Amoy, lalu ke Canton, lalu ke Shanghai.  Dalam rentang waktu ini hingga tutup usianya pada 19 Oktober 1936 karena TBC, Lu Xun banyak membantu aktivis muda dalam perlbagai hal. Yang pasti ia sangat antusias mengobarkan semangat sastrawan-sastrawan muda,  penerjemah, maupun para seniman; untuk terus aktif melepaskan rakyat Cina dari penindasan bangsa asing. Karena menurutnya, itulah tugas sejati bagi seorang sastrawan, selama ia masih menginjakkan kaki di Bumi Manusia.




Sang Tumbal

“Man, kau tahu cerita tentang Pak Joyo yang memerahkan bata dengan menumbalkan empat pekerjanya itu? Dia menyuruh Aceng memenggal kepala mereka dan mencipratkan darah ke atas tumpukan bata, bahkan kabarnya, salah satu kepala itu dipanggang! Semuanya pak Joyo lakukan sebagai tumbal agar batanya menjadi merah, Man. Ya, segala sesuatu itu memang perlu tumbal, seperti sekarang, Man. Anggap saja keluargamu itu sebagai tumbal, demi negara yang lebih baik, demi ibu pertiwi yang sedang hamil tua, tumbal demi anak cucu kita di masa depan.”

***
 
NAMANYA Sardiman, lebih lengkapnya, Lettu Sardiman. Kemarin ia genap berusia tiga puluh empat tahun. Memiliki istri yang muda dan soleha, sepasang anak yang gemuk dan sehat, dan kabarnya sebentar lagi ia akan naik pangkat menjadi kapten.
Tapi itu kemarin; kemarin jelas berbeda dengan hari ini. Siapa pula yang mau tetap hidup di hari kemarin? Namun tunggu dulu, tak ada yang bisa dipastikan begitu saja di bumi manusia ini. Coba tanyakan kepada Sardiman pertanyaan tadi, pasti dengan lantang ia bakal menjawab: “Ya! Aku mau!”
Segalanya berputar 160 derajat dari apa yang selama ini Sardiman idamkan. Di perayaan ulang tahunnya yang ke tiga puluh empat, satu truk berisi orang-orang berwajah minyak dengan seragam serba hijau merangsek masuk dengan cara yang mereka anggap cukup beradab: menabrak pagar yang terbentuk alami dari rerumputan sampai lebur.
Sardiman langsung melompat dari sofa dan bergegas masuk ke dalam kamar. Seperdetik kemudian ia terlihat menenteng sebuah senapan tjung di lengan kirinya.
“Bawa anak-anak ngungsi ke rumah Mbah, lewat dapur keluarnya! Segera, Nduk!” perintahnya cepat kepada istrinya. Nafasnya masih kepayahan; baru saja ia menelan sepiring besar kue tart yang sedari pagi dibeli istrinya di simpang Majestik. “Pasti ini militan Pemuda Rakyat! Tak salah lagi, kominis sudah bergerak!” batinnya sambil mengendap-endap di lantai rumah
“Lettu Sardiman! Menyerahlah! Keluar dengan tangan di atas pundak!” sebuah suara dari toa menggema di telinganya.
Kapten! Itu kan suara kapten!” Sardiman menelan ludah. Wajahnya yang penuh bopeng menjadi pucat seperti mayit. Ia kenal betul dengan suara Kapten Waskito, atasannya di Kodim. Perlahan Sardiman mulai mengumpulkan keberaniannya untuk segera keluar rumah—sambil meyakinkan diri, ada sebuah kekeliruan yang dilakukan atasannya. Namun ternyata ketakutan itu masih menggelayut manja di ulu hatinya. Ia mengintip untuk memastikan bahwa suara tadi adalah benar suara sang kapten.
‘Dooor! Dooor! Door!’
Tiga kali suara pistol menyalak tak jauh dari samping rumahnya. Tubuh Sardiman bergetar hebat. Keberaniannya menciut ke batas terendah. Perlahan ia bangkit dan segera berlari ke arah dapur.
“Tin…. Tin….” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Ia memanggil dengan suara yang lebih keras, semakin keras, hingga akhirnya ia menangis dan mulai meraung-raung.
Di luar rumahnya kini telah ramai bagai di Pasar Malam. Selain sekompi pasukan tadi, ada pula sekitar delapan puluh penduduk sipil—bersarung, berkopiah, bercelana kolor, bahkan ada yang hanya mengenakan celana dalam—sedang berjongkok seperti barisan sapi yang hendak disembelih.
Dua orang prajurit mengapit tubuh Sardiman yang berjalan sambil terpincang-pincang menuju ke halaman. Lima prajurit lain mulai mengamuk dan membongkar semua laci, kotak kardus, bawah meja, tempat tidur hingga ke lubang tikus yang ada di dalam rumah.
“Dapat, Kep! Senjata buatan Tiongkok! Tergeletak di dapur! Jelas Lettu Sadirman adalah Prajurit Merah!” lapor seorang prajurit sambil menunjukkan senapan tjung yang tadi ditimang-timang oleh Sardiman. Kapten itu terbelalak, bola matanya seakan hendak loncat dari sangkarnya. Namun ia paksakan untuk tetap tersenyum; senyuman yang… kaku. Ragu-ragu ia hendak bicara. Lagaknya malah terlihat seperti kucing yang ketahuan mengambil makanan yang sebenarnya memang jatahnya. Sementara itu sepasang mata merah mengawasi tingkah laku ganjil sang kapten. Mata itu tak mau melepaskan tatapan marahnya. Mata yang marah-merah itu.
*
NAMANYA Sardiman, lebih lengkapnya, Lettu Sardiman. Kemarin siang pahanya ditembus peluru panas dan sekarang ia mengendap-endap di lantai dingin RTM Jalan Gandhi.
Pikirannya kalut, segala macam pertanyaan menggempur relung otaknya. Dengan susah payah ia menggoreskan sebuah nama di dinding sel dengan sendok penyok, ‘WASKITO KE…’. Ia hendak melanjutkan sebelum kukunya patah karena emosi yang merambat dahsyat.
Bajingan itu! akan tiba saatnya senapan tjung pemberiannya itu kembali kepadanya bersama peluru-pelurunya!”
Sardiman terus merutuk di hadapan seekor tikus dan beberapa ekor kecoa yang melenggang tak peduli di sekitarnya. Hantu-hantu yang berkeliaran di dalam sel sampai tak tega untuk menertawainya.
Tiba-tiba ia terisak, wajah istri dan anak-anaknya datang dan meratap di hadapannya.
Kalau saja mereka tak aku suruh lari, tak perlu mereka ditembak mati, aku yang bodoh! Aku yang bajingan! Kalau saja aku tak ulang tahun, tak perlu mereka pulang ke rumah! Kalau saja… kalau saja…” dan segala macam “kalau” yang lain mengantri untuk ikut meramaikan ruangan di dalam kepalanya.
Tubuhnya melesak tak bertenaga ke lantai yang semakin dingin. Ia mulai menciumi lantai seakan-akan ada wajah istrinya terukir di sana.
Sementara itu pintu sel berderit tanda baru saja terbuka. Seorang pria buntal bermata sipit berjalan pelan menembus kegelapan menuju ke arah Sardiman. Lantas ia berlutut tepat di samping kepala Sardiman: kepala yang sedang sibuk menjamu tamu-tamu celaka.
“Man, tidur kau?”
Sardiman tak menjawab dengan kata, ia menjawab dengan menggerakkan kepalanya ke arah berlawanan.
“Jangan kau dendam padaku, Man. Bukan hanya karena senapan itu kau ditangkap. Aku juga punya senapan itu di rumah, Pak Mulyo juga punya di rumahnya. Itu kan oleh-oleh dari Pak Kolonel waktu beliau berkunjung ke Cina.”
Suara itu merayu-rayu di kuping Sardiman. Suara yang sama dengan suara yang ia dengar tadi pagi, namun dengan bobot yang berbeda.
“Aku janji akan menghukum prajurit yang menembak istri dan anak-anakmu. Aku janji, Man!” lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sardiman.
“Man! Bangun kau! Ini perintah!” Si pemilik suara meninggikan intonasinya karena mulai merasa bosan mendengar bujukannya sendiri.
“Ingat-ingatlah saat kau dengan bangga bercerita pada bawahanmu bagaimana kau menghadiri ulang tahun PKI di Jakarta, Mei kemarin. Ingat kau? Pak Mulyo juga mendengarnya. Aku tahu kau hanya datang karena kebetulan kau sedang di Jakarta, aku tahu, Man! Tapi itu pula masalahnya. Siapapun yang turut hadir di sana telah dimasukkan ke dalam daftar Prajurit Merah oleh intel Kostrad. Aku tak bisa menolongmu …” Waskito cepat-cepat menyambung kata-katanya, “tapi paling tidak aku bisa membuatmu mati secara patriotik, bukan sebagai komunis pemberontak. Ingat kau sumpah prajurit, Man?”
Melihat tak juga ada respon, si buntal berdiri dan berjalan keluar meninggalkan Sardiman bersama kejengkelannya yang hampir meletup.
Sardiman tak mau peduli. Dengan pikiran yang diaduk-aduk begini rupa, ia tak sanggup menghubungkan apa yang dikatakan suara itu dengan apa yang menimpanya sekarang. Sardiman mengintip dari balik bahunya. Ia menangis kembali, terisak kembali. Sungguh benar-benar memalukan kondisinya saat ini. Terlintas di kepalanya bagaimana kiranya keadaannya saat ini dipertontonkan kepada masyarakat di sekitar rumah yang dulu sering ia takut-takuti dengan pistolnya, yang sering ia suruh-suruh sekehendak hatinya, ia klakson bila menutupi jalan mobilnya, ia hardik hanya untuk menunjukkan kepangkatannya, dan segala macam kebatilan lainnya. Kembali ia menangis, kembali ia terisak menyadari dirinya yang sudah tak beda jauh dengan seekor macan ompong, tua pula.
*
NAMANYA Sardiman, namun kini tanpa embel-embel lettu lagi. Hanya Sardiman. Kemarin ia genap berusia tiga puluh empat tahun, namun kini tanpa istri, tanpa anak-anak, dan tanpa tanda kepangkatan. Di tengah malam buta, mendekati perayaan tahun baru 1966, ia berjalan melewati serombongan regu tembak dengan kegagahan terakhirnya; kegagahan yang ia dapatkan dari Kapten Waskito. Ia berdiri dengan tegap, khas militer, lalu berbisik pelan:
Aku mati dan menjadi tumbal demi lahirnya negeri yang baru, orde yang baru, orde yang lebih baik. Semoga!"

*Tengku Ariy Dipantara, lahir di Malaka 25 Maret. Tulisan di atas dimuat di Pikiran Rakyat 5 April 2015.

11 Apr 2015

Catatan Harian Orang Gila (Cerpen) - Lu Xun



DALAM Catatan Harian Orang Gila, Lu Xun bercerita tentang tokoh “aku” yang secara tidak sengaja mendengar kabar, bahwa salah satu dari dua bersaudara yang menjadi sahabat karibnya ketika sekolah menengah atas, tengah menderita sakit yang serius. Ketika tokoh “aku” menyempatkan diri singgah ke tempat mereka untuk menengok, ia hanya bertemu dengan salah satu dari mereka, yang kemudian memberitahu bahwa yang sakit itu adalah adiknya.
Dari sini cerita pun mengalir. Tokoh “aku” diperlihatkan oleh sang kakak catatan harian yang ditulis oleh adiknya. Menurut sang kakak, dengan membaca catatan harian sang adik, karakter penyakit masa lalu adiknya dapat diketahui.
Setelah membaca sampai khatam, tokoh “aku” menyimpulkan jikalau penyakit yang diderita sang adik adalah skizofrenia. Tokoh aku—yang sepertinya berprofesi sebagai tenaga medis—telah menyalin sebagian untuk memanfaatkannya sebagai subyek penelitian medis. Cerita selanjutnya pun berkisah tentang catatan harian yang ditulis oleh sang adik yang terdiri dari 13 bagian.
Awal mula gejala skizofrenia sang adik tampak pada bagian kedua. Dalam catatan hariannya, sang adik teringat akan kejadian “dua puluh tahun yang silam”.
Bertambah-tambahlah keherananku. Salah apa aku dengan Tuan Chao dan orang-orang di jalanan itu. Aku tak dapat memikirkan apa pun kecuali bahwa dua puluh tahun yang silam aku telah menginjak-injak kertas catatan Tuan Ku Chiu dan tampaknya ia tak senang” (CHOG: 4)
Ku Chiu sendiri berarti “Zaman Kuno”. Adegan penginjakan “Zaman Kuno” dalam cerpen ini tampaknya menjadi biang keladi dari penyakit sang adik. Sang adik seperti mendapat sebuah kutukan yang terus memburunya. Sejak saat itu, sang adik mengidap skizofrenia paranoid tertentu terhadap sekitarnya. Ia merasa Tuan Chao melihatnya dengan tatapan aneh seolah-olah ingin membunuhnya. Orang-orang di sekitarnya pun membicarakannya dengan berbisik-bisik.
Pada penderita skizofrenia paranoid, waham mereka sering kali mencakup tema-tema kebesaran, persekusi atau kecemburuan. Mereka meyakini, contohnya, bahwa pasangan atau kekasih mereka tidak setia, tanpa peduli akan tiadanya bukti. Mereka juga sangat gelisah, bingung dan ketakutan.
Setelah kejadian penginjakan kertas catatan Tuan Ku Chiu, serentetan gangguan psikotik pun mendera sang adik. Dimulai dari gangguan pikiran saat sang adik berpapasan dengan Tuan Chao.
Ia menatapku dengan tatapan aneh dan was-was, seolah-olah dia ingin membunuhku. Tujuh atau delapan orang yang lain membicarakanku dengan setengah berbisik” (CHOG: 3)
Gangguan pikiran tersebut langsung menimbulkan pengaruh pada perilaku sang adik. Sang adik merasa sekujur tubuhnya kedinginan karena salah seorang dari yang membicarakannya menyeringai ke arahnya. Perilaku “kedinginan” ini sangat tidak wajar, mengingat dalam cerita tidak diceritakan sedang tidak ada hujan dan tidak ada angin.
Karena perasaan tertekan terus menerus, persepsi sang adik terhadap lingkungan sekitar pun turut terganggu. Ia melihat “semua orang yang berwajah hijau dan bergigi panjang itu mulai tertawa mengejek” (CHOG: 5). “Gigi mereka putih dan berkilau; mereka semua adalah kanibal” (CHOG: 6). Hingga akhirnya, ketika sang adik dibawakan makan siang oleh Chen Tua berupa sayuran dan semangkuk ikan kukus, ia “tidak dapat lagi membedakan apakah potongan-potongan tipis ini adalah ikan atau daging manusia” (CHOG: 8).
Semua bayangan tentang kanibalisme—yang menurut sang adik terjadi di Desa Anak Serigala—telah membuat emosinya menjadi terganggu. Emosinya menjadi datar dalam menganggapi suatu hal. Hal ini tampak dalam percakapan sang adik dengan “seseorang” pada bagian delapan. Sang adik bertanya: “apakah boleh memakan daging manusia?” (CHOG: 13). Jawaban tokoh seseorang tidak dapat memuaskannya sama sekali. Sehingga sang adik menarik kesimpulan:
Dia pasti telah diajari oleh kedua orangtuanya. Dan aku takut kalau dia sudah mengajari putranya. Itulah sebabnya bahkan anak-anak pun melihat ke arahku dengan buasnya” (CHOG: 15).
Selain waham persekusi, sang adik juga mendapat gangguan isi pikiran berupa waham dikendalikan. Hal ini tampak pada bagian tujuh dalam catatan harian tersebut:
Aku memahami cara-cara mereka; mereka tidak berkeinginan untuk membunuh seseorang di luar hukum, sekaligus tidak benar-benar berani, karena takut akan akibat-akibatnya. Malah sebaliknya, mereka bersekutu dan membuat jebakan di mana-mana, untuk memaksaku agar bunuh diri” (CHOG: 12).
Akhirnya, semua paranoid sang adik bertumpu pada satu orang, sang kakak. Menurutnya, sang kakak lah yang mengakibatkan semua masalah dalam hidupnya. Sang kakak yang terlalu superior membuat sang adik lambat laun tersiksa dalam suasana inferior. Bahkan, sang adik pun menyangka kakaknya lah yang telah membunuh adik perempuan mereka, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut:
Kupungut sumpitku. Pikiranku hanya tertuju pada satu titik: kakakku; aku tahu kini bagaimana adik perempuanku meninggal. Tidak salah lagi, dialah pembunuhnya. Saat itu, adikku baru berumur lima tahun. Masih segar dalam ingatanku betapa memikat dan memelas wajah kakakku setelah peristiwa itu. Ibu menangis dan menangis, tapi dia mengiba agar ibu jangan menanmgis, mungkin karena dia sendiri yang telah memakan adik, dan tangisan ibu membuatnya malu. Seandainya dia memiliki secuil rasa malu….” (CHOG: 19).
Paranoid terhadap kakaknya berujung pada suatu kesimpulan. Sang adik menyadari telah lama hidup dalam teritori kanibal. Dan menurutnya, hal tersebut sudah berlangsung selama ribuan tahun.

Lahir di Zamannya

APA kira-kira yang membuat Lu Xun menulis tentang catatan seorang penyandang skizofrenia? Apakah sewaktu Lu Xun menulis CHOG, skizofrenia sudah menjadi fenomena yang umum seperti sekarang? Banyak kritikus yang menafsirkan CHOG dengan kondisi sosio-kultural Cina pada masa itu. Cina pada waktu itu sedang mengalami masa gejolak yang sangat besar. Lu Xun sendiri terlibat dalam gerakan penggulingan Dinasti Qing yang disebut Guang Fu Hui. Gerakan ini timbul oleh rasa frustrasi karena penolakan Dinasti Qing untuk melakukan reformasi serta karena kelemahan Cina terhadap negara-negara lain, membuat timbulnya revolusi yang terinspirasi oleh ide-ide Sun Yat-sen untuk menghapuskan sistem kerajaan dan menerapkan sistem republik di Cina.
Praktis ia pun menjadi saksi dan pelaku sejarah. Ia melihat bagaimana kota-kota besar di Tiongkok dijarah dan dibagi-bagi seenaknya oleh kaum imperialis Jepang dan Eropa. Keputusannya banting stir dari dunia medis dan kedokteran ke dunia seni dan pergerakan adalah sebuah pilihan yang niscaya baginya.
Dalam “Panggilan Berjuang” Lu Xun menegaskan bahwa selain dengan keyakinannya sendiri, ia tidak bisa menghilangkan harapan yang dijanjikan masa depan. “Aku tak bisa mengelak akan keniscayaan harapan itu”, tulisnya. Ia menganggap sastra-lah yang paling baik untuk mewujudkan tujuan dan harapannya dalam pergerakan.
Parahnya, sedari awal perjuangan Lu Xun adalah perjuangan yang bertolak dari mimpi dan kesepian. Walau karya sastranya condong ke arah “kiri” ia sama sekali bukan komunis. Keterasingan Lu Xun kentara sekali dalam setiap karyanya. Keterasingan ini timbul entah dari kehidupannya yang penuh kegetiran atau kekecewaan masa lalu yang mendalam.
Latar belakang inilah yang memicu lahirnya CHOG. Orang gila—atau skizofrenia dalam cerita ini—adalah representasi dari kehidupan bangsa Cina itu sendiri. Sang adik secara tidak sadar ternyata hidup dalam wilayah para kanibal, yang bisa diasosiasikan dengan Cina yang selalu dilanda perang saudara dan secara tidak sadar mulai dijajah oleh para imperialis asing.
Ada sisi satir dalam cerpen ini. Sang adik yang menderita skizofrenia, ternyata adalah satu-satunya orang yang sadar dengan kondisi “kanibalisme” yang terjadi di desanya, yaitu Desa Anak Serigala. Bahkan setelah sadar pun, sang adik tetap mempunyai pengharapan walau terlambat, sebagaimana kutipan berikut:
Bagaimana mungkin seorang manusia seperti diriku, setelah empat ribu tahun tersekap dalam sejarah kawanan kanibal—meskipun pada mulanya aku tidak mengetahui apa-apa mengenainya—pernah berharap untuk menghadapi manusia yang sebenarnya?” (CHOG: 20-21).
Angka empat ribu tahun di sini bisa berarti banyak. Mungkin untuk memberi kesan saking lamanya sang adik terjebak dalam wilayah kanibal itu. Atau itu hanya coretan seorang penderita skizofrenia yang tidak paham tentang konsep ruang dan waktu.
Empat ribu tahun juga sebuah rentang waktu yang mengisi sejarah bangsa China. Dinasti pertama China yang tercatat dalam sejarah adalah Dinasti Xia yang kekuasaannya berlangsung antara tahun 2100 SM – 1600 SM. Jika dihitung hingga CHOG ditulis maka muncullah angka + 4000 tahun. Apakah ini kebetulan? Saya rasa tidak. Lu Xun telah membuat sebuah sindiran tentang bangsanya sendiri dengan cukup cerdas. Selama rentang waktu 4000 tahun, China selalu diwarnai politik kekuasaan, perang saudara, dan perebutan wilayah.
Sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan. Begitu pula dengan karya-karya Lu Xun. Tidak hanya berkutat pada kritik pada penguasa, borjuisme, dan para intelektual yang ternyata juga merupakan makhluk serakah. Pengaruh sosial ini tentu saja mempunyai hubungan kausalitas dengan karya sastra. Hubungan kausal ini dapat dianggap sedemikian kuatnya, sehingga sebuah narasi sastra dipandang tidak lain dari refleksi struktur sosial di mana seorang pengarang menghasilkan karyanya.
Meskipun berpandangan revolusioner, Lu Xun tetap seorang pengarang yang terkenal dan tangguh, yang selalu mempertahankan ekspresi sastra dan kebebasan yang dibutuhkan. Ungkapannya yang sangat terkenal adalah:
Walaupun semua sastra adalah propaganda, tidak semua propaganda adalah sastra; seperti semua bunga punya warna (saya anggap putih sebagai warna), tidak semua benda berwarna adalah bunga. Di samping semboyan, slogan, pengumuman, telegram dan textbook, revolusi membutuhkan sastra—hanya karena sastra adalah sastra” (Fokkema, 1998)


Oleh karena itu, karyanya berhasil menukik lebih dalam. Masuk ke dalam setiap sendi kehidupan. Seperti karya Maxim Gorkhi yang melayangkan kritik lewat kehidupan pribadi pelajar, buruh, gelandangan dan orang-orang desa di Rusia pada masa sebelum dan setelah revolusi.
Dengan membaca CHOG, kita semua dipaksa untuk merenung. Di tempat apakah kita hidup selama ini? Apa yang akan kita wariskan pada generasi setelah kita? Benarkah kita masih menjadi “manusia”? Ada baiknya kita kutip kembali paragraf terakhir dalam CHOG:
Pertanyaannya kemudian, masih adakah anak semua bangsa dari generasi paling baru yang belum dirasuki hawa jahat kanibalisme itu? Barangkali ada. Maka selamatkanlah mereka….” (CHOG: 21)

10 Apr 2015

Lu Xun: Sang Cerpenis Pengobat Bangsa



1881 di desa Shaoxing, lahirlah Zhou Shuren yang kelak akan dikenal dengan nama Lu Xun.  Kakeknya seorang pegawai negeri di Peking, sementara ayahnya adalah guru. Lu Xun kecil tumbuh bersama kondisi Cina yang morat-marit akibat perang Tiongkok-Jepang yang tak berkesudahan. Perang membuat keluarganya menjadi teramat miskin. Pada usia 13 tahun, Lu Xun melihat kakeknya digelandang ke penjara dengan tuduhan penyogokan.
            Segala penderitaan tak membuat Lu Xun pupus; sebaliknya, itulah yang membuat ia bangkit. Sebagai pemuda dengan cita-cita tinggi, ia memutuskan untuk belajar ilmu kedokteran di Jepang, tepatnya di Universitas Sendai. Keinginan itu dipaksa oleh kondisi masyarakat Cina yang banyak mengidap penyakit, sedang tenaga dokter sangat sedikit. Namun kuliahnya tak pernah selesai. Pasalnya peristiwa sepele. Ketika itu, secara kebetulan ia menyaksikan sebuah pertunjukan slide tentang perang Jepang-Rusia. Dalam salah satu adegan diperlihatkan bagaimana seorang Cina dihukum mati oleh serdadu Jepang. Pemandangan itu menggoncang hatinya. Tapi yang lebih mengaduk-aduk jantungnya adalah ketika orang Cina lainnya hanya menonton hukuman mati itu dengan diam.
            Maka lahirlah sebuah konsepsi baru dalam dirinya. Menurutnya, yang dibutuhkan Cina bukan cara mengobati penyakit fisik (phsycallil), tapi pengobat (r) semangat (medicine spiritual).
            Lewat pertunjukan itu aku diyakinkan bahwa ilmu kedokteran tak punya arti penting sama sekali (bagi perubahan). Orang yang lemah dan terbelakang, sekalipun badannya sehat-sehat, hanya mampu menjadi saksi atas pemandangan yang sia-sia … Menurutku, yang terpenting adalah mengubah semangat mereka. Sejak saat itu aku memilih sastra sebagai sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu.”-Panggilan Berjuang.
            Pada 1990, Lu Xun kembali ke Cina; persis sebelum peristiwa-peristiwa penting melanda tanah airnya. Ia menyaksikan Revolusi Xinghai (1911) yang sukses merobohkan dinasti Qing yang jompo; Sun Yat Sen menjadi presiden pertama Cina (1912); gerakan Empat Mei (1919) yang menolak kebudayaan tradisional konfusian; aliansi Partai Nasionalis dan Partai Komunis (1925); kemenangan Chiang Kai Sek di sebagian besar wilayah Cina (1926); pembantaian kaum komunis di Shanghai (1927). Ia melihat bagaimana kota-kota besar di Cina dijarah dan dibagi-bagi seenaknya oleh kaum imperialis Jepang maupun Eropa. Lu Xun, mau tak mau dipaksa menyaksikan penganiayaan, pembunuhan, pembakaran, perampokan, yang terjadi di sekitarnya, baik di Shaoxing, Beijing, Xianmen, Canton, maupun Shanghai. Sudah pasti ia juga mendengar, bahkan terlibat dalam perdebatan di kalan intelektual masa itu tentang sosialisme, liberalisme, pragmatisme, dan tentu saja; marxisme yang kelak bakal ia puji setinggi langit.
            Semua tumpukan kelaliman peradaban itu tak hanya dipendam Lu-Xun di hatinya dan setelah itu menguap; tapi justru kenyataan kronis itu mendrongnya untuk berpikir lebih keras. Karena ia sebagai manusia yang telah memilih jalan menulis sebagai jalan perjuangan, maka ia menancapkan taring-taring kritiknya lewat pelbagai esai, dan tentu saja cerpen-cerpennya yang kini melegenda (sepanjang hidupnya, Lu Xun tak pernah melahirkan novel).  Beberapa cerpen perlawanan yang pernah lahir dari tangannya yang dingin adalah;
-Catatan Harian Orang Gila (1918)
-Sebuah Insiden (1920)
-Manusia Dalam Kesunyian (1925)
Tak syak lagi. Cerpen-cerpen inilah yang meengangkat namanya, tidak hanya di Cina, melaikan tersiar ke segala penjuru bumi. Cerpenlah yang mengantarnya menyandang gelar sebagai; “Penulis Terbesar Cina di Abad ke 20!”
            Sebagai komandan tertinggi Revolusi Kebudayaan Tiongkok, dia tak hanya seorang sastrawan besar, tapi juga seorang pemikir dan revolusioner yang terbesar … Pada medan kebudayaan, ia adalah pahlawan nasional yang paling berani, teguh, setia, paling bersemangat, pantang menyerah. Lu Xun adalah pahlawan tanpa tandingan dalam sejarah kita.” –Mao Ze Dong (1940)
            Tersebutlah pada warsa 30-an. Dua sosok yang menjadi kunci di sebuah Himpunan Pengarang Kiri bersitegang.  Di satu sis, Zhou Yang, yang mendapatkan kepercayaan dari Partai karena ketangkasan dan kejeniusannya dalam soal kritik sastra Marxis, dan di sisi lain adalah; Lu Xun.
            Setelah berjalan sekian tahun, himpunan yang berisi sastrawan-sastrawan kunci Cina di era itu, oleh Partai harus diubah haluan ideologinya seturut dengan adanya rencana mengadakan aliansi dengan Partai Nasionalis untuk melawan imperialisme Jepang dan Eropa. Mula-mula yang dilakukan Zhou adalah mengubah slogan lama himpunan menjadi slogan baru, yakni; “Sastra Pertahanan Nasional.” Perubahan ini barangkali bisa ditoleransi. Tapi ujungnya itu yang tidak mengenakkan kuping, termasuk Lu Xun. Yakni; siapa yang tidak turut menjalankan kebijakan ini adalah pengkhianat.
            Tak pelak lagi, polemik paling panas pun terkuak. Lu Xun tak menerima bahwa untuk kepentingan partai, idealisme harus di-pasar-loak-kan. Yang paling tidak diterima oleh Lu Xun adalah sloganisme “Yang tidak patuh adalah Pengkhianat.” Dan Lu Xun mengambil sikap berdiri di seberang.
            Kiri, bagi Lu Xun tidak harus menjadi anggota partai tertentu atau bergabung dengan “kamerad-kamerad” yang berjiwa revolusioner. “Menjadi kiri” dipahami dalam artinya yang fundamental; anti kemapanan dan membela yang tertindas. Tak peduli bahwa sikapnya itu harus membawanya ke liang kubur. Dalam konfliknya itu, ia memainkan dua peran sekaligus: sebagai intelektual yang membela kebenaran dan keadilan sekaligus sebagai bagian dari masa tertindas, (istilah Lu Xun: Manusia Kesunyian) yang berusaha mati-matian melawan penindasan idealisme.
            Seperti halnya Pramoedya Ananta Toer yang kita banggakan, Lu Xun juga adalah manusia yang hatinya tak mudah disilaukan oleh godaan kekuasaan yang profan. Baginya, untuk pengukuhan dirinya sebagai tokoh dalam kesustraan Cina, ia tak perlu menjadi penjilat pantat penguasa. Ia adalah kiri sebagaimana yang ia takwilkan sendiri.
            Setelah terlibat dalam aksi protes atas pembunuhan mahasiswi dalam sebuah demonstrasi, ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain: dari Amoy, lalu ke Canton, lalu ke Shanghai.  Dalam rentang waktu ini hingga tutup usianya pada 19 Oktober 1936 karena TBC, Lu Xun banyak membantu aktivis muda dalam perlbagai hal. Yang pasti ia sangat antusias mengobarkan semangat sastrawan-sastrawan muda,  penerjemah, maupun para seniman; untuk terus aktif melepaskan rakyat Cina dari penindasan bangsa asing. Karena menurutnya, itulah tugas sejati bagi seorang sastrawan, selama ia masih menginjakkan kaki di Bumi Manusia.




Sang Tumbal

“Man, kau tahu cerita tentang Pak Joyo yang memerahkan bata dengan menumbalkan empat pekerjanya itu? Dia menyuruh Aceng memenggal kepala mereka dan mencipratkan darah ke atas tumpukan bata, bahkan kabarnya, salah satu kepala itu dipanggang! Semuanya pak Joyo lakukan sebagai tumbal agar batanya menjadi merah, Man. Ya, segala sesuatu itu memang perlu tumbal, seperti sekarang, Man. Anggap saja keluargamu itu sebagai tumbal, demi negara yang lebih baik, demi ibu pertiwi yang sedang hamil tua, tumbal demi anak cucu kita di masa depan.”

***
 
NAMANYA Sardiman, lebih lengkapnya, Lettu Sardiman. Kemarin ia genap berusia tiga puluh empat tahun. Memiliki istri yang muda dan soleha, sepasang anak yang gemuk dan sehat, dan kabarnya sebentar lagi ia akan naik pangkat menjadi kapten.
Tapi itu kemarin; kemarin jelas berbeda dengan hari ini. Siapa pula yang mau tetap hidup di hari kemarin? Namun tunggu dulu, tak ada yang bisa dipastikan begitu saja di bumi manusia ini. Coba tanyakan kepada Sardiman pertanyaan tadi, pasti dengan lantang ia bakal menjawab: “Ya! Aku mau!”
Segalanya berputar 160 derajat dari apa yang selama ini Sardiman idamkan. Di perayaan ulang tahunnya yang ke tiga puluh empat, satu truk berisi orang-orang berwajah minyak dengan seragam serba hijau merangsek masuk dengan cara yang mereka anggap cukup beradab: menabrak pagar yang terbentuk alami dari rerumputan sampai lebur.
Sardiman langsung melompat dari sofa dan bergegas masuk ke dalam kamar. Seperdetik kemudian ia terlihat menenteng sebuah senapan tjung di lengan kirinya.
“Bawa anak-anak ngungsi ke rumah Mbah, lewat dapur keluarnya! Segera, Nduk!” perintahnya cepat kepada istrinya. Nafasnya masih kepayahan; baru saja ia menelan sepiring besar kue tart yang sedari pagi dibeli istrinya di simpang Majestik. “Pasti ini militan Pemuda Rakyat! Tak salah lagi, kominis sudah bergerak!” batinnya sambil mengendap-endap di lantai rumah
“Lettu Sardiman! Menyerahlah! Keluar dengan tangan di atas pundak!” sebuah suara dari toa menggema di telinganya.
Kapten! Itu kan suara kapten!” Sardiman menelan ludah. Wajahnya yang penuh bopeng menjadi pucat seperti mayit. Ia kenal betul dengan suara Kapten Waskito, atasannya di Kodim. Perlahan Sardiman mulai mengumpulkan keberaniannya untuk segera keluar rumah—sambil meyakinkan diri, ada sebuah kekeliruan yang dilakukan atasannya. Namun ternyata ketakutan itu masih menggelayut manja di ulu hatinya. Ia mengintip untuk memastikan bahwa suara tadi adalah benar suara sang kapten.
‘Dooor! Dooor! Door!’
Tiga kali suara pistol menyalak tak jauh dari samping rumahnya. Tubuh Sardiman bergetar hebat. Keberaniannya menciut ke batas terendah. Perlahan ia bangkit dan segera berlari ke arah dapur.
“Tin…. Tin….” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Ia memanggil dengan suara yang lebih keras, semakin keras, hingga akhirnya ia menangis dan mulai meraung-raung.
Di luar rumahnya kini telah ramai bagai di Pasar Malam. Selain sekompi pasukan tadi, ada pula sekitar delapan puluh penduduk sipil—bersarung, berkopiah, bercelana kolor, bahkan ada yang hanya mengenakan celana dalam—sedang berjongkok seperti barisan sapi yang hendak disembelih.
Dua orang prajurit mengapit tubuh Sardiman yang berjalan sambil terpincang-pincang menuju ke halaman. Lima prajurit lain mulai mengamuk dan membongkar semua laci, kotak kardus, bawah meja, tempat tidur hingga ke lubang tikus yang ada di dalam rumah.
“Dapat, Kep! Senjata buatan Tiongkok! Tergeletak di dapur! Jelas Lettu Sadirman adalah Prajurit Merah!” lapor seorang prajurit sambil menunjukkan senapan tjung yang tadi ditimang-timang oleh Sardiman. Kapten itu terbelalak, bola matanya seakan hendak loncat dari sangkarnya. Namun ia paksakan untuk tetap tersenyum; senyuman yang… kaku. Ragu-ragu ia hendak bicara. Lagaknya malah terlihat seperti kucing yang ketahuan mengambil makanan yang sebenarnya memang jatahnya. Sementara itu sepasang mata merah mengawasi tingkah laku ganjil sang kapten. Mata itu tak mau melepaskan tatapan marahnya. Mata yang marah-merah itu.
*
NAMANYA Sardiman, lebih lengkapnya, Lettu Sardiman. Kemarin siang pahanya ditembus peluru panas dan sekarang ia mengendap-endap di lantai dingin RTM Jalan Gandhi.
Pikirannya kalut, segala macam pertanyaan menggempur relung otaknya. Dengan susah payah ia menggoreskan sebuah nama di dinding sel dengan sendok penyok, ‘WASKITO KE…’. Ia hendak melanjutkan sebelum kukunya patah karena emosi yang merambat dahsyat.
Bajingan itu! akan tiba saatnya senapan tjung pemberiannya itu kembali kepadanya bersama peluru-pelurunya!”
Sardiman terus merutuk di hadapan seekor tikus dan beberapa ekor kecoa yang melenggang tak peduli di sekitarnya. Hantu-hantu yang berkeliaran di dalam sel sampai tak tega untuk menertawainya.
Tiba-tiba ia terisak, wajah istri dan anak-anaknya datang dan meratap di hadapannya.
Kalau saja mereka tak aku suruh lari, tak perlu mereka ditembak mati, aku yang bodoh! Aku yang bajingan! Kalau saja aku tak ulang tahun, tak perlu mereka pulang ke rumah! Kalau saja… kalau saja…” dan segala macam “kalau” yang lain mengantri untuk ikut meramaikan ruangan di dalam kepalanya.
Tubuhnya melesak tak bertenaga ke lantai yang semakin dingin. Ia mulai menciumi lantai seakan-akan ada wajah istrinya terukir di sana.
Sementara itu pintu sel berderit tanda baru saja terbuka. Seorang pria buntal bermata sipit berjalan pelan menembus kegelapan menuju ke arah Sardiman. Lantas ia berlutut tepat di samping kepala Sardiman: kepala yang sedang sibuk menjamu tamu-tamu celaka.
“Man, tidur kau?”
Sardiman tak menjawab dengan kata, ia menjawab dengan menggerakkan kepalanya ke arah berlawanan.
“Jangan kau dendam padaku, Man. Bukan hanya karena senapan itu kau ditangkap. Aku juga punya senapan itu di rumah, Pak Mulyo juga punya di rumahnya. Itu kan oleh-oleh dari Pak Kolonel waktu beliau berkunjung ke Cina.”
Suara itu merayu-rayu di kuping Sardiman. Suara yang sama dengan suara yang ia dengar tadi pagi, namun dengan bobot yang berbeda.
“Aku janji akan menghukum prajurit yang menembak istri dan anak-anakmu. Aku janji, Man!” lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sardiman.
“Man! Bangun kau! Ini perintah!” Si pemilik suara meninggikan intonasinya karena mulai merasa bosan mendengar bujukannya sendiri.
“Ingat-ingatlah saat kau dengan bangga bercerita pada bawahanmu bagaimana kau menghadiri ulang tahun PKI di Jakarta, Mei kemarin. Ingat kau? Pak Mulyo juga mendengarnya. Aku tahu kau hanya datang karena kebetulan kau sedang di Jakarta, aku tahu, Man! Tapi itu pula masalahnya. Siapapun yang turut hadir di sana telah dimasukkan ke dalam daftar Prajurit Merah oleh intel Kostrad. Aku tak bisa menolongmu …” Waskito cepat-cepat menyambung kata-katanya, “tapi paling tidak aku bisa membuatmu mati secara patriotik, bukan sebagai komunis pemberontak. Ingat kau sumpah prajurit, Man?”
Melihat tak juga ada respon, si buntal berdiri dan berjalan keluar meninggalkan Sardiman bersama kejengkelannya yang hampir meletup.
Sardiman tak mau peduli. Dengan pikiran yang diaduk-aduk begini rupa, ia tak sanggup menghubungkan apa yang dikatakan suara itu dengan apa yang menimpanya sekarang. Sardiman mengintip dari balik bahunya. Ia menangis kembali, terisak kembali. Sungguh benar-benar memalukan kondisinya saat ini. Terlintas di kepalanya bagaimana kiranya keadaannya saat ini dipertontonkan kepada masyarakat di sekitar rumah yang dulu sering ia takut-takuti dengan pistolnya, yang sering ia suruh-suruh sekehendak hatinya, ia klakson bila menutupi jalan mobilnya, ia hardik hanya untuk menunjukkan kepangkatannya, dan segala macam kebatilan lainnya. Kembali ia menangis, kembali ia terisak menyadari dirinya yang sudah tak beda jauh dengan seekor macan ompong, tua pula.
*
NAMANYA Sardiman, namun kini tanpa embel-embel lettu lagi. Hanya Sardiman. Kemarin ia genap berusia tiga puluh empat tahun, namun kini tanpa istri, tanpa anak-anak, dan tanpa tanda kepangkatan. Di tengah malam buta, mendekati perayaan tahun baru 1966, ia berjalan melewati serombongan regu tembak dengan kegagahan terakhirnya; kegagahan yang ia dapatkan dari Kapten Waskito. Ia berdiri dengan tegap, khas militer, lalu berbisik pelan:
Aku mati dan menjadi tumbal demi lahirnya negeri yang baru, orde yang baru, orde yang lebih baik. Semoga!"

*Tengku Ariy Dipantara, lahir di Malaka 25 Maret. Tulisan di atas dimuat di Pikiran Rakyat 5 April 2015.