10 Apr 2015

Lu Xun: Sang Cerpenis Pengobat Bangsa



1881 di desa Shaoxing, lahirlah Zhou Shuren yang kelak akan dikenal dengan nama Lu Xun.  Kakeknya seorang pegawai negeri di Peking, sementara ayahnya adalah guru. Lu Xun kecil tumbuh bersama kondisi Cina yang morat-marit akibat perang Tiongkok-Jepang yang tak berkesudahan. Perang membuat keluarganya menjadi teramat miskin. Pada usia 13 tahun, Lu Xun melihat kakeknya digelandang ke penjara dengan tuduhan penyogokan.
            Segala penderitaan tak membuat Lu Xun pupus; sebaliknya, itulah yang membuat ia bangkit. Sebagai pemuda dengan cita-cita tinggi, ia memutuskan untuk belajar ilmu kedokteran di Jepang, tepatnya di Universitas Sendai. Keinginan itu dipaksa oleh kondisi masyarakat Cina yang banyak mengidap penyakit, sedang tenaga dokter sangat sedikit. Namun kuliahnya tak pernah selesai. Pasalnya peristiwa sepele. Ketika itu, secara kebetulan ia menyaksikan sebuah pertunjukan slide tentang perang Jepang-Rusia. Dalam salah satu adegan diperlihatkan bagaimana seorang Cina dihukum mati oleh serdadu Jepang. Pemandangan itu menggoncang hatinya. Tapi yang lebih mengaduk-aduk jantungnya adalah ketika orang Cina lainnya hanya menonton hukuman mati itu dengan diam.
            Maka lahirlah sebuah konsepsi baru dalam dirinya. Menurutnya, yang dibutuhkan Cina bukan cara mengobati penyakit fisik (phsycallil), tapi pengobat (r) semangat (medicine spiritual).
            Lewat pertunjukan itu aku diyakinkan bahwa ilmu kedokteran tak punya arti penting sama sekali (bagi perubahan). Orang yang lemah dan terbelakang, sekalipun badannya sehat-sehat, hanya mampu menjadi saksi atas pemandangan yang sia-sia … Menurutku, yang terpenting adalah mengubah semangat mereka. Sejak saat itu aku memilih sastra sebagai sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu.”-Panggilan Berjuang.
            Pada 1990, Lu Xun kembali ke Cina; persis sebelum peristiwa-peristiwa penting melanda tanah airnya. Ia menyaksikan Revolusi Xinghai (1911) yang sukses merobohkan dinasti Qing yang jompo; Sun Yat Sen menjadi presiden pertama Cina (1912); gerakan Empat Mei (1919) yang menolak kebudayaan tradisional konfusian; aliansi Partai Nasionalis dan Partai Komunis (1925); kemenangan Chiang Kai Sek di sebagian besar wilayah Cina (1926); pembantaian kaum komunis di Shanghai (1927). Ia melihat bagaimana kota-kota besar di Cina dijarah dan dibagi-bagi seenaknya oleh kaum imperialis Jepang maupun Eropa. Lu Xun, mau tak mau dipaksa menyaksikan penganiayaan, pembunuhan, pembakaran, perampokan, yang terjadi di sekitarnya, baik di Shaoxing, Beijing, Xianmen, Canton, maupun Shanghai. Sudah pasti ia juga mendengar, bahkan terlibat dalam perdebatan di kalan intelektual masa itu tentang sosialisme, liberalisme, pragmatisme, dan tentu saja; marxisme yang kelak bakal ia puji setinggi langit.
            Semua tumpukan kelaliman peradaban itu tak hanya dipendam Lu-Xun di hatinya dan setelah itu menguap; tapi justru kenyataan kronis itu mendrongnya untuk berpikir lebih keras. Karena ia sebagai manusia yang telah memilih jalan menulis sebagai jalan perjuangan, maka ia menancapkan taring-taring kritiknya lewat pelbagai esai, dan tentu saja cerpen-cerpennya yang kini melegenda (sepanjang hidupnya, Lu Xun tak pernah melahirkan novel).  Beberapa cerpen perlawanan yang pernah lahir dari tangannya yang dingin adalah;
-Catatan Harian Orang Gila (1918)
-Sebuah Insiden (1920)
-Manusia Dalam Kesunyian (1925)
Tak syak lagi. Cerpen-cerpen inilah yang meengangkat namanya, tidak hanya di Cina, melaikan tersiar ke segala penjuru bumi. Cerpenlah yang mengantarnya menyandang gelar sebagai; “Penulis Terbesar Cina di Abad ke 20!”
            Sebagai komandan tertinggi Revolusi Kebudayaan Tiongkok, dia tak hanya seorang sastrawan besar, tapi juga seorang pemikir dan revolusioner yang terbesar … Pada medan kebudayaan, ia adalah pahlawan nasional yang paling berani, teguh, setia, paling bersemangat, pantang menyerah. Lu Xun adalah pahlawan tanpa tandingan dalam sejarah kita.” –Mao Ze Dong (1940)
            Tersebutlah pada warsa 30-an. Dua sosok yang menjadi kunci di sebuah Himpunan Pengarang Kiri bersitegang.  Di satu sis, Zhou Yang, yang mendapatkan kepercayaan dari Partai karena ketangkasan dan kejeniusannya dalam soal kritik sastra Marxis, dan di sisi lain adalah; Lu Xun.
            Setelah berjalan sekian tahun, himpunan yang berisi sastrawan-sastrawan kunci Cina di era itu, oleh Partai harus diubah haluan ideologinya seturut dengan adanya rencana mengadakan aliansi dengan Partai Nasionalis untuk melawan imperialisme Jepang dan Eropa. Mula-mula yang dilakukan Zhou adalah mengubah slogan lama himpunan menjadi slogan baru, yakni; “Sastra Pertahanan Nasional.” Perubahan ini barangkali bisa ditoleransi. Tapi ujungnya itu yang tidak mengenakkan kuping, termasuk Lu Xun. Yakni; siapa yang tidak turut menjalankan kebijakan ini adalah pengkhianat.
            Tak pelak lagi, polemik paling panas pun terkuak. Lu Xun tak menerima bahwa untuk kepentingan partai, idealisme harus di-pasar-loak-kan. Yang paling tidak diterima oleh Lu Xun adalah sloganisme “Yang tidak patuh adalah Pengkhianat.” Dan Lu Xun mengambil sikap berdiri di seberang.
            Kiri, bagi Lu Xun tidak harus menjadi anggota partai tertentu atau bergabung dengan “kamerad-kamerad” yang berjiwa revolusioner. “Menjadi kiri” dipahami dalam artinya yang fundamental; anti kemapanan dan membela yang tertindas. Tak peduli bahwa sikapnya itu harus membawanya ke liang kubur. Dalam konfliknya itu, ia memainkan dua peran sekaligus: sebagai intelektual yang membela kebenaran dan keadilan sekaligus sebagai bagian dari masa tertindas, (istilah Lu Xun: Manusia Kesunyian) yang berusaha mati-matian melawan penindasan idealisme.
            Seperti halnya Pramoedya Ananta Toer yang kita banggakan, Lu Xun juga adalah manusia yang hatinya tak mudah disilaukan oleh godaan kekuasaan yang profan. Baginya, untuk pengukuhan dirinya sebagai tokoh dalam kesustraan Cina, ia tak perlu menjadi penjilat pantat penguasa. Ia adalah kiri sebagaimana yang ia takwilkan sendiri.
            Setelah terlibat dalam aksi protes atas pembunuhan mahasiswi dalam sebuah demonstrasi, ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain: dari Amoy, lalu ke Canton, lalu ke Shanghai.  Dalam rentang waktu ini hingga tutup usianya pada 19 Oktober 1936 karena TBC, Lu Xun banyak membantu aktivis muda dalam perlbagai hal. Yang pasti ia sangat antusias mengobarkan semangat sastrawan-sastrawan muda,  penerjemah, maupun para seniman; untuk terus aktif melepaskan rakyat Cina dari penindasan bangsa asing. Karena menurutnya, itulah tugas sejati bagi seorang sastrawan, selama ia masih menginjakkan kaki di Bumi Manusia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

10 Apr 2015

Lu Xun: Sang Cerpenis Pengobat Bangsa



1881 di desa Shaoxing, lahirlah Zhou Shuren yang kelak akan dikenal dengan nama Lu Xun.  Kakeknya seorang pegawai negeri di Peking, sementara ayahnya adalah guru. Lu Xun kecil tumbuh bersama kondisi Cina yang morat-marit akibat perang Tiongkok-Jepang yang tak berkesudahan. Perang membuat keluarganya menjadi teramat miskin. Pada usia 13 tahun, Lu Xun melihat kakeknya digelandang ke penjara dengan tuduhan penyogokan.
            Segala penderitaan tak membuat Lu Xun pupus; sebaliknya, itulah yang membuat ia bangkit. Sebagai pemuda dengan cita-cita tinggi, ia memutuskan untuk belajar ilmu kedokteran di Jepang, tepatnya di Universitas Sendai. Keinginan itu dipaksa oleh kondisi masyarakat Cina yang banyak mengidap penyakit, sedang tenaga dokter sangat sedikit. Namun kuliahnya tak pernah selesai. Pasalnya peristiwa sepele. Ketika itu, secara kebetulan ia menyaksikan sebuah pertunjukan slide tentang perang Jepang-Rusia. Dalam salah satu adegan diperlihatkan bagaimana seorang Cina dihukum mati oleh serdadu Jepang. Pemandangan itu menggoncang hatinya. Tapi yang lebih mengaduk-aduk jantungnya adalah ketika orang Cina lainnya hanya menonton hukuman mati itu dengan diam.
            Maka lahirlah sebuah konsepsi baru dalam dirinya. Menurutnya, yang dibutuhkan Cina bukan cara mengobati penyakit fisik (phsycallil), tapi pengobat (r) semangat (medicine spiritual).
            Lewat pertunjukan itu aku diyakinkan bahwa ilmu kedokteran tak punya arti penting sama sekali (bagi perubahan). Orang yang lemah dan terbelakang, sekalipun badannya sehat-sehat, hanya mampu menjadi saksi atas pemandangan yang sia-sia … Menurutku, yang terpenting adalah mengubah semangat mereka. Sejak saat itu aku memilih sastra sebagai sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu.”-Panggilan Berjuang.
            Pada 1990, Lu Xun kembali ke Cina; persis sebelum peristiwa-peristiwa penting melanda tanah airnya. Ia menyaksikan Revolusi Xinghai (1911) yang sukses merobohkan dinasti Qing yang jompo; Sun Yat Sen menjadi presiden pertama Cina (1912); gerakan Empat Mei (1919) yang menolak kebudayaan tradisional konfusian; aliansi Partai Nasionalis dan Partai Komunis (1925); kemenangan Chiang Kai Sek di sebagian besar wilayah Cina (1926); pembantaian kaum komunis di Shanghai (1927). Ia melihat bagaimana kota-kota besar di Cina dijarah dan dibagi-bagi seenaknya oleh kaum imperialis Jepang maupun Eropa. Lu Xun, mau tak mau dipaksa menyaksikan penganiayaan, pembunuhan, pembakaran, perampokan, yang terjadi di sekitarnya, baik di Shaoxing, Beijing, Xianmen, Canton, maupun Shanghai. Sudah pasti ia juga mendengar, bahkan terlibat dalam perdebatan di kalan intelektual masa itu tentang sosialisme, liberalisme, pragmatisme, dan tentu saja; marxisme yang kelak bakal ia puji setinggi langit.
            Semua tumpukan kelaliman peradaban itu tak hanya dipendam Lu-Xun di hatinya dan setelah itu menguap; tapi justru kenyataan kronis itu mendrongnya untuk berpikir lebih keras. Karena ia sebagai manusia yang telah memilih jalan menulis sebagai jalan perjuangan, maka ia menancapkan taring-taring kritiknya lewat pelbagai esai, dan tentu saja cerpen-cerpennya yang kini melegenda (sepanjang hidupnya, Lu Xun tak pernah melahirkan novel).  Beberapa cerpen perlawanan yang pernah lahir dari tangannya yang dingin adalah;
-Catatan Harian Orang Gila (1918)
-Sebuah Insiden (1920)
-Manusia Dalam Kesunyian (1925)
Tak syak lagi. Cerpen-cerpen inilah yang meengangkat namanya, tidak hanya di Cina, melaikan tersiar ke segala penjuru bumi. Cerpenlah yang mengantarnya menyandang gelar sebagai; “Penulis Terbesar Cina di Abad ke 20!”
            Sebagai komandan tertinggi Revolusi Kebudayaan Tiongkok, dia tak hanya seorang sastrawan besar, tapi juga seorang pemikir dan revolusioner yang terbesar … Pada medan kebudayaan, ia adalah pahlawan nasional yang paling berani, teguh, setia, paling bersemangat, pantang menyerah. Lu Xun adalah pahlawan tanpa tandingan dalam sejarah kita.” –Mao Ze Dong (1940)
            Tersebutlah pada warsa 30-an. Dua sosok yang menjadi kunci di sebuah Himpunan Pengarang Kiri bersitegang.  Di satu sis, Zhou Yang, yang mendapatkan kepercayaan dari Partai karena ketangkasan dan kejeniusannya dalam soal kritik sastra Marxis, dan di sisi lain adalah; Lu Xun.
            Setelah berjalan sekian tahun, himpunan yang berisi sastrawan-sastrawan kunci Cina di era itu, oleh Partai harus diubah haluan ideologinya seturut dengan adanya rencana mengadakan aliansi dengan Partai Nasionalis untuk melawan imperialisme Jepang dan Eropa. Mula-mula yang dilakukan Zhou adalah mengubah slogan lama himpunan menjadi slogan baru, yakni; “Sastra Pertahanan Nasional.” Perubahan ini barangkali bisa ditoleransi. Tapi ujungnya itu yang tidak mengenakkan kuping, termasuk Lu Xun. Yakni; siapa yang tidak turut menjalankan kebijakan ini adalah pengkhianat.
            Tak pelak lagi, polemik paling panas pun terkuak. Lu Xun tak menerima bahwa untuk kepentingan partai, idealisme harus di-pasar-loak-kan. Yang paling tidak diterima oleh Lu Xun adalah sloganisme “Yang tidak patuh adalah Pengkhianat.” Dan Lu Xun mengambil sikap berdiri di seberang.
            Kiri, bagi Lu Xun tidak harus menjadi anggota partai tertentu atau bergabung dengan “kamerad-kamerad” yang berjiwa revolusioner. “Menjadi kiri” dipahami dalam artinya yang fundamental; anti kemapanan dan membela yang tertindas. Tak peduli bahwa sikapnya itu harus membawanya ke liang kubur. Dalam konfliknya itu, ia memainkan dua peran sekaligus: sebagai intelektual yang membela kebenaran dan keadilan sekaligus sebagai bagian dari masa tertindas, (istilah Lu Xun: Manusia Kesunyian) yang berusaha mati-matian melawan penindasan idealisme.
            Seperti halnya Pramoedya Ananta Toer yang kita banggakan, Lu Xun juga adalah manusia yang hatinya tak mudah disilaukan oleh godaan kekuasaan yang profan. Baginya, untuk pengukuhan dirinya sebagai tokoh dalam kesustraan Cina, ia tak perlu menjadi penjilat pantat penguasa. Ia adalah kiri sebagaimana yang ia takwilkan sendiri.
            Setelah terlibat dalam aksi protes atas pembunuhan mahasiswi dalam sebuah demonstrasi, ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain: dari Amoy, lalu ke Canton, lalu ke Shanghai.  Dalam rentang waktu ini hingga tutup usianya pada 19 Oktober 1936 karena TBC, Lu Xun banyak membantu aktivis muda dalam perlbagai hal. Yang pasti ia sangat antusias mengobarkan semangat sastrawan-sastrawan muda,  penerjemah, maupun para seniman; untuk terus aktif melepaskan rakyat Cina dari penindasan bangsa asing. Karena menurutnya, itulah tugas sejati bagi seorang sastrawan, selama ia masih menginjakkan kaki di Bumi Manusia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar