1881 di desa
Shaoxing, lahirlah Zhou Shuren yang
kelak akan dikenal dengan nama Lu Xun. Kakeknya seorang pegawai negeri di Peking,
sementara ayahnya adalah guru. Lu Xun
kecil tumbuh bersama kondisi Cina yang morat-marit akibat perang
Tiongkok-Jepang yang tak berkesudahan. Perang membuat keluarganya menjadi
teramat miskin. Pada usia 13 tahun, Lu
Xun melihat kakeknya digelandang ke penjara dengan tuduhan penyogokan.
Segala penderitaan tak membuat Lu Xun pupus; sebaliknya, itulah yang
membuat ia bangkit. Sebagai pemuda dengan cita-cita tinggi, ia memutuskan untuk
belajar ilmu kedokteran di Jepang, tepatnya di Universitas Sendai. Keinginan
itu dipaksa oleh kondisi masyarakat Cina yang banyak mengidap penyakit, sedang
tenaga dokter sangat sedikit. Namun kuliahnya tak pernah selesai. Pasalnya
peristiwa sepele. Ketika itu, secara kebetulan ia menyaksikan sebuah
pertunjukan slide tentang perang
Jepang-Rusia. Dalam salah satu adegan diperlihatkan bagaimana seorang Cina
dihukum mati oleh serdadu Jepang. Pemandangan itu menggoncang hatinya. Tapi yang
lebih mengaduk-aduk jantungnya adalah ketika orang Cina lainnya hanya menonton
hukuman mati itu dengan diam.
Maka
lahirlah sebuah konsepsi baru dalam dirinya. Menurutnya, yang dibutuhkan Cina
bukan cara mengobati penyakit fisik (phsycallil),
tapi pengobat (r) semangat (medicine
spiritual).
“Lewat pertunjukan itu aku diyakinkan bahwa
ilmu kedokteran tak punya arti penting sama sekali (bagi perubahan). Orang yang
lemah dan terbelakang, sekalipun badannya sehat-sehat, hanya mampu menjadi
saksi atas pemandangan yang sia-sia … Menurutku, yang terpenting adalah
mengubah semangat mereka. Sejak saat itu aku memilih sastra sebagai sarana
terbaik untuk mencapai tujuan itu.”-Panggilan Berjuang.
Pada
1990, Lu Xun kembali ke Cina; persis
sebelum peristiwa-peristiwa penting melanda tanah airnya. Ia menyaksikan
Revolusi Xinghai (1911) yang sukses merobohkan dinasti Qing yang jompo; Sun Yat
Sen menjadi presiden pertama Cina (1912); gerakan Empat Mei (1919) yang menolak
kebudayaan tradisional konfusian; aliansi Partai Nasionalis dan Partai Komunis
(1925); kemenangan Chiang Kai Sek di sebagian besar wilayah Cina (1926);
pembantaian kaum komunis di Shanghai (1927). Ia melihat bagaimana kota-kota
besar di Cina dijarah dan dibagi-bagi seenaknya oleh kaum imperialis Jepang
maupun Eropa. Lu Xun, mau tak mau
dipaksa menyaksikan penganiayaan, pembunuhan, pembakaran, perampokan, yang
terjadi di sekitarnya, baik di Shaoxing, Beijing, Xianmen, Canton, maupun
Shanghai. Sudah pasti ia juga mendengar, bahkan terlibat dalam perdebatan di
kalan intelektual masa itu tentang sosialisme, liberalisme, pragmatisme, dan
tentu saja; marxisme yang kelak bakal ia puji setinggi langit.
Semua
tumpukan kelaliman peradaban itu tak hanya dipendam Lu-Xun di hatinya dan setelah itu menguap; tapi justru kenyataan
kronis itu mendrongnya untuk berpikir lebih keras. Karena ia sebagai manusia
yang telah memilih jalan menulis sebagai jalan perjuangan, maka ia menancapkan taring-taring
kritiknya lewat pelbagai esai, dan tentu saja cerpen-cerpennya yang kini
melegenda (sepanjang hidupnya, Lu Xun
tak pernah melahirkan novel). Beberapa cerpen
perlawanan yang pernah lahir dari tangannya yang dingin adalah;
-Catatan
Harian Orang Gila (1918)
-Sebuah
Insiden (1920)
-Manusia
Dalam Kesunyian (1925)
Tak syak lagi. Cerpen-cerpen inilah yang
meengangkat namanya, tidak hanya di Cina, melaikan tersiar ke segala penjuru
bumi. Cerpenlah yang mengantarnya menyandang gelar sebagai; “Penulis
Terbesar Cina di Abad ke 20!”
“Sebagai komandan tertinggi Revolusi
Kebudayaan Tiongkok, dia tak hanya seorang sastrawan besar, tapi juga seorang
pemikir dan revolusioner yang terbesar … Pada medan kebudayaan, ia adalah
pahlawan nasional yang paling berani, teguh, setia, paling bersemangat, pantang
menyerah. Lu Xun adalah pahlawan
tanpa tandingan dalam sejarah kita.” –Mao
Ze Dong (1940)
Tersebutlah
pada warsa 30-an. Dua sosok yang menjadi kunci di sebuah Himpunan Pengarang
Kiri bersitegang. Di satu sis, Zhou
Yang, yang mendapatkan kepercayaan dari Partai karena ketangkasan dan
kejeniusannya dalam soal kritik sastra Marxis, dan di sisi lain adalah; Lu Xun.
Setelah
berjalan sekian tahun, himpunan yang berisi sastrawan-sastrawan kunci Cina di
era itu, oleh Partai harus diubah haluan ideologinya seturut dengan adanya
rencana mengadakan aliansi dengan Partai Nasionalis untuk melawan imperialisme
Jepang dan Eropa. Mula-mula yang dilakukan Zhou adalah mengubah slogan lama
himpunan menjadi slogan baru, yakni; “Sastra Pertahanan Nasional.” Perubahan
ini barangkali bisa ditoleransi. Tapi ujungnya itu yang tidak mengenakkan
kuping, termasuk Lu Xun. Yakni;
siapa yang tidak turut menjalankan kebijakan ini adalah pengkhianat.
Tak
pelak lagi, polemik paling panas pun terkuak. Lu Xun tak menerima bahwa untuk kepentingan partai, idealisme harus
di-pasar-loak-kan. Yang paling tidak diterima oleh Lu Xun adalah sloganisme “Yang tidak patuh adalah Pengkhianat.” Dan
Lu Xun mengambil sikap berdiri di
seberang.
Kiri,
bagi Lu Xun tidak harus menjadi anggota
partai tertentu atau bergabung dengan “kamerad-kamerad” yang berjiwa
revolusioner. “Menjadi kiri” dipahami dalam artinya yang fundamental; anti
kemapanan dan membela yang tertindas. Tak peduli bahwa sikapnya itu harus
membawanya ke liang kubur. Dalam konfliknya itu, ia memainkan dua peran
sekaligus: sebagai intelektual yang membela kebenaran dan keadilan sekaligus
sebagai bagian dari masa tertindas, (istilah Lu Xun: Manusia Kesunyian) yang berusaha mati-matian melawan
penindasan idealisme.
Seperti
halnya Pramoedya Ananta Toer yang
kita banggakan, Lu Xun juga adalah
manusia yang hatinya tak mudah disilaukan oleh godaan kekuasaan yang profan.
Baginya, untuk pengukuhan dirinya sebagai tokoh dalam kesustraan Cina, ia tak
perlu menjadi penjilat pantat penguasa. Ia adalah kiri sebagaimana yang ia
takwilkan sendiri.
Setelah
terlibat dalam aksi protes atas pembunuhan mahasiswi dalam sebuah demonstrasi,
ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain: dari Amoy, lalu ke Canton,
lalu ke Shanghai. Dalam rentang waktu
ini hingga tutup usianya pada 19 Oktober 1936 karena TBC, Lu Xun banyak membantu aktivis muda dalam perlbagai hal. Yang pasti
ia sangat antusias mengobarkan semangat sastrawan-sastrawan muda, penerjemah, maupun para seniman; untuk terus
aktif melepaskan rakyat Cina dari penindasan bangsa asing. Karena menurutnya,
itulah tugas sejati bagi seorang sastrawan, selama ia masih menginjakkan kaki
di Bumi Manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar