29 Des 2015

PESAN NJOTO UNTUK PERS INDONESIA



Sesungguhnya, tak ada ilmu yang tak berguna, dan tak ada sejarah yang kadaluarsa.
Belakangan ini saya (mungkin juga Anda) merasa agak muak melihat gaya "berbicara" pers kita yang terkesan bombastis, cenderung memfitnah, yang kesemuanya demi keuntungan profit jual-menjual lidah. Kesannya mereka-mereka itu telah ber-evolusi dari sang "pembawa kebenaran" (meminjam istilah Mas Marco) menjadi tak lebih dari sang penyebar kerecokan. Sebab, bukankah hanya yang recok-recok sajalah yang laku dijual. Puluhan tahun yang lalu, Njoto, Wakil Ketua II PKI, sudah mendeteksi gejala-gejala penyakit yang menyerang pers masa kini, yang diwariskan dari pers kanan pembebek Amerika. Untuk itulah saya hendak mengajak sdr semua untuk berkaca pada pesan-pesan yang pernah beliau ucapkan. Sedikit tulisan dibawah ini saya kumpulkan dari buku "Pers dan Massa" Njoto, N.V. Rakjat, 1960.


" ...Galib dikatakan, bahwa setengah kebenaran masih lebih berbahaya daripada kebohongan seratus prosen. Tetapi akan saya coba untuk membuktikan, bahwa pers kanan bukannya menghidangkan setengah kebenaran kepada pembaca-pembacanya, melainkan seperlima, dan tidak jarang sepersepuluh saja dari kebenaran.
Dalam keadaan yang demikian, tugas dari pers yang mempunyai harga diri, pers yang menyadari arti suci kejujuran, sungguh tidak ringan. Dewan Redaksi Harian Rakjat selalu mengingat kata-kata pengarang demokrat Belanda yang besar, Multatuli, kata-kata yang kami anggap ditujukan kepada setiap orang yang jujur. Kata Multatuli:
Padamu terletak tugas kemanusiaan!
Tugas itu mengharuskan: berusaha ke arah kebenaran
Dan di mana-mana terdapat kebohongan.
Maju! Berjuang terhadap kebohongan! Ayo berjuang! Maju, ke arah kemenangan!
Kata-kata Multatuli yang tajam ini berharga benar bagi setiap surat kabar, setiap redaktur dan setiap koresponden, yang mengabdi atau ingin mengabdi kepada Rakyat. Membohongi pembaca tidaklah sukar, tetapi membohongi pembaca berarti juga membohongi diri sendiri. Di sini orang tertumbuk pada hati nurani. Karena menyadari hal ini, maka kata-kata Multatuli itu kami simpan dalam hati sebagai intan daripada intan.
....
Jika kita ikuti koran “Pedoman”, “Keng Po”, “Indonesia Raya” dan juga “Abadi”, maka seolah-olah orang Jawa jahat semua, atau orang Minangkabau luar biasa semua, atau PNI korup semua, atau NU “kyai-kyai juga bodoh” semua. Sudah tentu – Rakyat “bodoh semua” dan PSI “pintar semua”! Penyakit main UMUM-UMUMAN ini oleh Multatuli pernah dicanangkan sebagai penyakit yang paling berbahaya.
Atau kita ambil-lah segi yang lain: kalau pers kanan tidak melebih-lebihkan sesuatu, dia mengecilkan sesuatu, begitu rupa, sehingga yang tampak hanya karikatur belaka. Sebetulnya, mengecilkan itu adalah juga sifat melebih-lebihkan. Begitulah, jika kita hanya membaca koran-koran kanan, maka Konferensi Asia-Afrika itu hanya apa yang dinamakan “Hospitality Committee”; kabinet Ali-Arifin itu hanya apa yang terkenal sebagai “lisensi istimewa”; dan Presiden Soekarno itu hanya “yang mengawini Hartini”.
....kita selalu menandaskan, bahwa kemerdekaan pers itu sama sekali bukan anarki pers. KEMERDEKAAN ITU SANGAT LUAS, TETAPI KEMERDEKAAN ITU MENGENAL BATAS. Jika tidak ada batas, jika mau mutlak, ia bukan kemerdekaan lagi. Tetapi justru mutlak-mutlakan ini pulalah penyakit kaum reaksioner. Ambillah Hatta. Bagi kaum reaksioner, Hatta ini seperti juga Syahrir, dan lain-lain adalah “dewa” –dia mutlak, dia tidak bisa salah, dia tidak boleh diganggugugat. Sepuluh-dua puluh ribu rupiah pada orang PNI atau NU, itu sudah pasti korupsi. Tetapi 200 juta rupiah Teluknibung Simbolon, itu “bukan korupsi”. Satu rumah Roeslan Abdulgani di Bogor, itu sudah pasti korupsi. Tetapi rumah Hatta yang mewah di Jalan Diponegoro Jakarta itu “bukan korupsi”.
...Saya ingin meminta perhatian saudara-saudara dan kawan-kawan sekalian, agar jangan pengaruh pers reaksioner itu kita remehkan. Sudah sejak sebelum perang dunia kedua, pembaca di Indonesia banyak yang mempercayai saja apa-apa yang ditulis surat kabar. Mereka mengira: jika sesuatu itu sudah ditulis di suratkabar, tentulah ia benar. Lagipula, ada semacam sifat konservatif pada pembaca-pembaca Indonesia, yaitu: sekali berlanggangan suratkabar A, selama-lamanya berlangganan suratkabar A dan tidak mau ganti. Sekarang, keadaan sudah maju. Tetapi keadaan yang saya gambarkan ini, yaitu kecenderungan untuk memercayai segala apa yang ditulis oleh suratkabar manapun, dan sifat konservatif dalam membaca suratkabar, masih saja ada, dan masih agak luas. Inilah keterangannya mengapa perjuangan pers revolusioner itu tidaklah ringan.
Kaum revolusioner, apa pun tugasnya dan dimana pun tempatnya, wajib menyadari bahwa pers revolusioner adalah sebagian dari mesin perjuangan revolusioner yang besar. Oleh sebab itu, maju mundurnya pers revolusioner, baik dalam isi, dalam tipografi, dalam penyebaran maupun dalam keuangan, bukanlah semata-mata soal Dewan Redaksi, Direksi dan Administrasi, melainkan soal seluruh gerakan revolusioner..."



PESAN DARI D.N AIDIT UNTUK PARA SASTRAWAN DAN SENIMAN INDONESIA


D.N Aidit tidak mati-mati. Begitupun dengan segala wejangan beliau. Saya sajikan salah satunya untuk kita, terutama yang bergerak di dalam bidang kesusastraan. Dikutip dari pidatonya di pembukaan Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner, 27 Agustus 1964.
"Mungkin masih ada “kerikil” yang menyebabkan para sastrawan dan seniman kita belum keranjingan untuk menggarap tema-tema besar seperti pemberontakan 1926, tanah pembuangan Digul, pemberontakan “Zeven Provincien”, Revolusi Agustus 1945, pembasmian “PRRI-Permesta”, penghancuran DI-TII, pembebasan Irian Barat dan tema-tema lain yang dapat membangkitkan kebanggaan nasional, misalnya karena melihat adanya kelemahan-kelemahan pada tiap-tiap perjuangan itu. Pemberontakan 1926 adalah pemberontakan yang gagal, di antara orang-orang yang dibuang ke Digul ada yang menyerah kepada Belanda. Pemberontakan “Zeven Provincien” juga gagal. Revolusi Agustus berlangsung tanpa pimpinan yang sadar dari proletariat. “PRRI-Permesta” dan DI-TII diselesaikan dengan kompromi, dan Irian Barat bebas dengan campur tangan Bunker dari Amerika Serikat. Inilah yang mungkin menjadi “kerikil” sehingga tidak menimbulkan rangsang untuk menulis. Jika benar ini yang menjadi sebab, maka sama sekali tidak beralasan. Kegagalan sesuatu pemberontakan revolusioner tidaklah berarti bahwa pemberontakan itu salah, dan sekalipun ia gagal, ia tetap melahirkan pahlawan-pahlawan. Kelemahan beberapa gelintir orang dalam pembuangan tidaklah berarti semua orang buangan revolusioner menjadi pengkhianat dan lemah jiwa seperti coba digambarkan oleh Sutan Sjahrir dalam bukunya “Indonesische Overpeinzingen” (Renungan Indonesia). Biarlah Sutan Sjahrir merenung-renung, tapi sastrawan dan seniman revolusioner harus menuliskan kepahlawanan orang-orang revolusioner tanah pembuangan Digul itu. Jika sesuatu perjuangan “diselesaikan” dengan kompromi, sudah pasti yang berkompromi bukanlah rakyat, dan korban sudah banyak berjatuhan, pahlawan sudah banyak dilahirkan. Jika sesuatu pemberontakan, sesuatu revolusi atau sesuatu aksi gagal atau tidak mencapai tujuan yang sepenuhnya karena tanpa pimpinan yang sadar, ini tidaklah berarti bahwa pemberontakan, revolusi atau aksi itu salah, tidaklah berarti bahwa tidak ada perbuatan kepahlawanan yang harus ditulis. Tentang ketiadaan pimpinan yang sadar dari PKI, justru itu yang juga harus diungkapkan agar lain kali pimpinan dilakukan sesadar-sadarnya oleh PKI. Saya mengetok hati kawan-kawan dengan harapan supaya dalam waktu yang tidak terlalu lama pahlawan-pahlawan yang sudah berjatuhan dan yang masih hidup itu menambah semaraknya perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia lewat karya kawan-kawan.
Siapakah yang bersalah jika ada orang yang mengira bahwa nama “Aliarcham” ada hubungannya dengan “Al Azhar”? Bahwa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” di Jakarta dikira berafiliasi dengan Universitas Al Azhar di Kairo? Tentu bukan salah ayah dan ibu Aliarcham yang memberi nama Arab kepada anaknya, tetapi karena pahlawan rakyat tidak diperkenalkan kepada rakyat yang memiliki pahlawan itu oleh mereka yang harus memperkenalkannya. Sekarang banyak universitas dan akademi memakai nama pahlawan. Ini baik sekali, menandakan bahwa kita generasi sekarang tidak menyia-nyiakan pahlawan-pahlawan kita. Tetapi berapa banyak orang yang mengetahui perbuatan kepahlawanan mereka? Dalam perjuangan yang bagaimana mereka tampil sebagai pahlawan?
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu pernah gambar penulis Soviet Ilya Ehrenburg diarak dalam suatu demonstrasi 1 Mei. Kalau kita mau berterus-terang, berapalah jumlah buku Ehrenburg di negeri kita ini, berapa orang yang sudah membacanya, berapa pula yang membacanya tamat, dan di antara yang membacanya tamat itu berapa orang yang berhasil menarik pelajaran untuk revolusi Indonesia, khususnya untuk perkembangan sastra dan seni revolusioner Indonesia. Jumlah bukunya yang beredar hanya sedikit sekali, yang tamat membacanya bisa dihitung dengan jari dan yang membaca dengan berhasil menarik pelajaran untuk kepentingan revolusi Indonesia mungkin tidak ada. Tapi gambar Ehrenburg diarak. Gejala apa ini, kalau bukan gejala dogmatisme dan formalisme. Karena Ehrenburg seorang penulis Soviet, sedangkan Soviet itu adalah baik, karya-karyanya dikira juga baik, dan oleh karena itu gambarnya diarak sekalipun yang mengarak dan yang menyuruh mengarak tidak tahu apa-apa tentang karya Ehrenburg.
Masih ada lagi sastrawan dan seniman luar negeri yang pernah dipuja-puja oleh sementara orang revolusioner negeri kita dengan tidak memikirkan betapa hubungannya dengan revolusi kita dan dengan perkembangan sastra dan seni revolusioner kita. Saya tidak berbicara tentang apa yang terjadi di kalangan mereka yang tidak revolusioner, karena memuja segala yang datang dari luar negeri, termasuk juga memuja penyebar-penyebar segala yang bertentangan dengan kepentingan revolusi Indonesia, adalah biasa dan akan terus menjadi kebiasaan mereka.
Kita kaum Komunis bisa dan harus pandai menilai dan menghargai karya-karya sastra dan seni progresif dari luar negeri. Tetapi penilaian dan penghargaan kita pertama-tama harus dilihat dari segi hubungannya dengan kepentingan revolusi Indonesia dan tidak boleh berakibat menganggap rendah sastrawan dan seniman kita sendiri serta karya-karyanya. Perkenalan kita dengan karya-karya sastrawan dan seniman progresif luar negeri harus menjadi perangsang bagi kita guna mengenal lebih baik sastrawan dan seniman kita sendiri, guna meningkatkan kesadaran kita tentang keharusan memberi tempat dan penghargaan yang wajar kepada sastrawan dan seniman kita yang sudah tidak ada lagi, serta mendorong maju ke pekerjaan sastrawan dan seniman kita sekarang."

29 Des 2015

PESAN NJOTO UNTUK PERS INDONESIA



Sesungguhnya, tak ada ilmu yang tak berguna, dan tak ada sejarah yang kadaluarsa.
Belakangan ini saya (mungkin juga Anda) merasa agak muak melihat gaya "berbicara" pers kita yang terkesan bombastis, cenderung memfitnah, yang kesemuanya demi keuntungan profit jual-menjual lidah. Kesannya mereka-mereka itu telah ber-evolusi dari sang "pembawa kebenaran" (meminjam istilah Mas Marco) menjadi tak lebih dari sang penyebar kerecokan. Sebab, bukankah hanya yang recok-recok sajalah yang laku dijual. Puluhan tahun yang lalu, Njoto, Wakil Ketua II PKI, sudah mendeteksi gejala-gejala penyakit yang menyerang pers masa kini, yang diwariskan dari pers kanan pembebek Amerika. Untuk itulah saya hendak mengajak sdr semua untuk berkaca pada pesan-pesan yang pernah beliau ucapkan. Sedikit tulisan dibawah ini saya kumpulkan dari buku "Pers dan Massa" Njoto, N.V. Rakjat, 1960.


" ...Galib dikatakan, bahwa setengah kebenaran masih lebih berbahaya daripada kebohongan seratus prosen. Tetapi akan saya coba untuk membuktikan, bahwa pers kanan bukannya menghidangkan setengah kebenaran kepada pembaca-pembacanya, melainkan seperlima, dan tidak jarang sepersepuluh saja dari kebenaran.
Dalam keadaan yang demikian, tugas dari pers yang mempunyai harga diri, pers yang menyadari arti suci kejujuran, sungguh tidak ringan. Dewan Redaksi Harian Rakjat selalu mengingat kata-kata pengarang demokrat Belanda yang besar, Multatuli, kata-kata yang kami anggap ditujukan kepada setiap orang yang jujur. Kata Multatuli:
Padamu terletak tugas kemanusiaan!
Tugas itu mengharuskan: berusaha ke arah kebenaran
Dan di mana-mana terdapat kebohongan.
Maju! Berjuang terhadap kebohongan! Ayo berjuang! Maju, ke arah kemenangan!
Kata-kata Multatuli yang tajam ini berharga benar bagi setiap surat kabar, setiap redaktur dan setiap koresponden, yang mengabdi atau ingin mengabdi kepada Rakyat. Membohongi pembaca tidaklah sukar, tetapi membohongi pembaca berarti juga membohongi diri sendiri. Di sini orang tertumbuk pada hati nurani. Karena menyadari hal ini, maka kata-kata Multatuli itu kami simpan dalam hati sebagai intan daripada intan.
....
Jika kita ikuti koran “Pedoman”, “Keng Po”, “Indonesia Raya” dan juga “Abadi”, maka seolah-olah orang Jawa jahat semua, atau orang Minangkabau luar biasa semua, atau PNI korup semua, atau NU “kyai-kyai juga bodoh” semua. Sudah tentu – Rakyat “bodoh semua” dan PSI “pintar semua”! Penyakit main UMUM-UMUMAN ini oleh Multatuli pernah dicanangkan sebagai penyakit yang paling berbahaya.
Atau kita ambil-lah segi yang lain: kalau pers kanan tidak melebih-lebihkan sesuatu, dia mengecilkan sesuatu, begitu rupa, sehingga yang tampak hanya karikatur belaka. Sebetulnya, mengecilkan itu adalah juga sifat melebih-lebihkan. Begitulah, jika kita hanya membaca koran-koran kanan, maka Konferensi Asia-Afrika itu hanya apa yang dinamakan “Hospitality Committee”; kabinet Ali-Arifin itu hanya apa yang terkenal sebagai “lisensi istimewa”; dan Presiden Soekarno itu hanya “yang mengawini Hartini”.
....kita selalu menandaskan, bahwa kemerdekaan pers itu sama sekali bukan anarki pers. KEMERDEKAAN ITU SANGAT LUAS, TETAPI KEMERDEKAAN ITU MENGENAL BATAS. Jika tidak ada batas, jika mau mutlak, ia bukan kemerdekaan lagi. Tetapi justru mutlak-mutlakan ini pulalah penyakit kaum reaksioner. Ambillah Hatta. Bagi kaum reaksioner, Hatta ini seperti juga Syahrir, dan lain-lain adalah “dewa” –dia mutlak, dia tidak bisa salah, dia tidak boleh diganggugugat. Sepuluh-dua puluh ribu rupiah pada orang PNI atau NU, itu sudah pasti korupsi. Tetapi 200 juta rupiah Teluknibung Simbolon, itu “bukan korupsi”. Satu rumah Roeslan Abdulgani di Bogor, itu sudah pasti korupsi. Tetapi rumah Hatta yang mewah di Jalan Diponegoro Jakarta itu “bukan korupsi”.
...Saya ingin meminta perhatian saudara-saudara dan kawan-kawan sekalian, agar jangan pengaruh pers reaksioner itu kita remehkan. Sudah sejak sebelum perang dunia kedua, pembaca di Indonesia banyak yang mempercayai saja apa-apa yang ditulis surat kabar. Mereka mengira: jika sesuatu itu sudah ditulis di suratkabar, tentulah ia benar. Lagipula, ada semacam sifat konservatif pada pembaca-pembaca Indonesia, yaitu: sekali berlanggangan suratkabar A, selama-lamanya berlangganan suratkabar A dan tidak mau ganti. Sekarang, keadaan sudah maju. Tetapi keadaan yang saya gambarkan ini, yaitu kecenderungan untuk memercayai segala apa yang ditulis oleh suratkabar manapun, dan sifat konservatif dalam membaca suratkabar, masih saja ada, dan masih agak luas. Inilah keterangannya mengapa perjuangan pers revolusioner itu tidaklah ringan.
Kaum revolusioner, apa pun tugasnya dan dimana pun tempatnya, wajib menyadari bahwa pers revolusioner adalah sebagian dari mesin perjuangan revolusioner yang besar. Oleh sebab itu, maju mundurnya pers revolusioner, baik dalam isi, dalam tipografi, dalam penyebaran maupun dalam keuangan, bukanlah semata-mata soal Dewan Redaksi, Direksi dan Administrasi, melainkan soal seluruh gerakan revolusioner..."



PESAN DARI D.N AIDIT UNTUK PARA SASTRAWAN DAN SENIMAN INDONESIA


D.N Aidit tidak mati-mati. Begitupun dengan segala wejangan beliau. Saya sajikan salah satunya untuk kita, terutama yang bergerak di dalam bidang kesusastraan. Dikutip dari pidatonya di pembukaan Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner, 27 Agustus 1964.
"Mungkin masih ada “kerikil” yang menyebabkan para sastrawan dan seniman kita belum keranjingan untuk menggarap tema-tema besar seperti pemberontakan 1926, tanah pembuangan Digul, pemberontakan “Zeven Provincien”, Revolusi Agustus 1945, pembasmian “PRRI-Permesta”, penghancuran DI-TII, pembebasan Irian Barat dan tema-tema lain yang dapat membangkitkan kebanggaan nasional, misalnya karena melihat adanya kelemahan-kelemahan pada tiap-tiap perjuangan itu. Pemberontakan 1926 adalah pemberontakan yang gagal, di antara orang-orang yang dibuang ke Digul ada yang menyerah kepada Belanda. Pemberontakan “Zeven Provincien” juga gagal. Revolusi Agustus berlangsung tanpa pimpinan yang sadar dari proletariat. “PRRI-Permesta” dan DI-TII diselesaikan dengan kompromi, dan Irian Barat bebas dengan campur tangan Bunker dari Amerika Serikat. Inilah yang mungkin menjadi “kerikil” sehingga tidak menimbulkan rangsang untuk menulis. Jika benar ini yang menjadi sebab, maka sama sekali tidak beralasan. Kegagalan sesuatu pemberontakan revolusioner tidaklah berarti bahwa pemberontakan itu salah, dan sekalipun ia gagal, ia tetap melahirkan pahlawan-pahlawan. Kelemahan beberapa gelintir orang dalam pembuangan tidaklah berarti semua orang buangan revolusioner menjadi pengkhianat dan lemah jiwa seperti coba digambarkan oleh Sutan Sjahrir dalam bukunya “Indonesische Overpeinzingen” (Renungan Indonesia). Biarlah Sutan Sjahrir merenung-renung, tapi sastrawan dan seniman revolusioner harus menuliskan kepahlawanan orang-orang revolusioner tanah pembuangan Digul itu. Jika sesuatu perjuangan “diselesaikan” dengan kompromi, sudah pasti yang berkompromi bukanlah rakyat, dan korban sudah banyak berjatuhan, pahlawan sudah banyak dilahirkan. Jika sesuatu pemberontakan, sesuatu revolusi atau sesuatu aksi gagal atau tidak mencapai tujuan yang sepenuhnya karena tanpa pimpinan yang sadar, ini tidaklah berarti bahwa pemberontakan, revolusi atau aksi itu salah, tidaklah berarti bahwa tidak ada perbuatan kepahlawanan yang harus ditulis. Tentang ketiadaan pimpinan yang sadar dari PKI, justru itu yang juga harus diungkapkan agar lain kali pimpinan dilakukan sesadar-sadarnya oleh PKI. Saya mengetok hati kawan-kawan dengan harapan supaya dalam waktu yang tidak terlalu lama pahlawan-pahlawan yang sudah berjatuhan dan yang masih hidup itu menambah semaraknya perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia lewat karya kawan-kawan.
Siapakah yang bersalah jika ada orang yang mengira bahwa nama “Aliarcham” ada hubungannya dengan “Al Azhar”? Bahwa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” di Jakarta dikira berafiliasi dengan Universitas Al Azhar di Kairo? Tentu bukan salah ayah dan ibu Aliarcham yang memberi nama Arab kepada anaknya, tetapi karena pahlawan rakyat tidak diperkenalkan kepada rakyat yang memiliki pahlawan itu oleh mereka yang harus memperkenalkannya. Sekarang banyak universitas dan akademi memakai nama pahlawan. Ini baik sekali, menandakan bahwa kita generasi sekarang tidak menyia-nyiakan pahlawan-pahlawan kita. Tetapi berapa banyak orang yang mengetahui perbuatan kepahlawanan mereka? Dalam perjuangan yang bagaimana mereka tampil sebagai pahlawan?
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu pernah gambar penulis Soviet Ilya Ehrenburg diarak dalam suatu demonstrasi 1 Mei. Kalau kita mau berterus-terang, berapalah jumlah buku Ehrenburg di negeri kita ini, berapa orang yang sudah membacanya, berapa pula yang membacanya tamat, dan di antara yang membacanya tamat itu berapa orang yang berhasil menarik pelajaran untuk revolusi Indonesia, khususnya untuk perkembangan sastra dan seni revolusioner Indonesia. Jumlah bukunya yang beredar hanya sedikit sekali, yang tamat membacanya bisa dihitung dengan jari dan yang membaca dengan berhasil menarik pelajaran untuk kepentingan revolusi Indonesia mungkin tidak ada. Tapi gambar Ehrenburg diarak. Gejala apa ini, kalau bukan gejala dogmatisme dan formalisme. Karena Ehrenburg seorang penulis Soviet, sedangkan Soviet itu adalah baik, karya-karyanya dikira juga baik, dan oleh karena itu gambarnya diarak sekalipun yang mengarak dan yang menyuruh mengarak tidak tahu apa-apa tentang karya Ehrenburg.
Masih ada lagi sastrawan dan seniman luar negeri yang pernah dipuja-puja oleh sementara orang revolusioner negeri kita dengan tidak memikirkan betapa hubungannya dengan revolusi kita dan dengan perkembangan sastra dan seni revolusioner kita. Saya tidak berbicara tentang apa yang terjadi di kalangan mereka yang tidak revolusioner, karena memuja segala yang datang dari luar negeri, termasuk juga memuja penyebar-penyebar segala yang bertentangan dengan kepentingan revolusi Indonesia, adalah biasa dan akan terus menjadi kebiasaan mereka.
Kita kaum Komunis bisa dan harus pandai menilai dan menghargai karya-karya sastra dan seni progresif dari luar negeri. Tetapi penilaian dan penghargaan kita pertama-tama harus dilihat dari segi hubungannya dengan kepentingan revolusi Indonesia dan tidak boleh berakibat menganggap rendah sastrawan dan seniman kita sendiri serta karya-karyanya. Perkenalan kita dengan karya-karya sastrawan dan seniman progresif luar negeri harus menjadi perangsang bagi kita guna mengenal lebih baik sastrawan dan seniman kita sendiri, guna meningkatkan kesadaran kita tentang keharusan memberi tempat dan penghargaan yang wajar kepada sastrawan dan seniman kita yang sudah tidak ada lagi, serta mendorong maju ke pekerjaan sastrawan dan seniman kita sekarang."