29 Des 2015

PESAN DARI D.N AIDIT UNTUK PARA SASTRAWAN DAN SENIMAN INDONESIA


D.N Aidit tidak mati-mati. Begitupun dengan segala wejangan beliau. Saya sajikan salah satunya untuk kita, terutama yang bergerak di dalam bidang kesusastraan. Dikutip dari pidatonya di pembukaan Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner, 27 Agustus 1964.
"Mungkin masih ada “kerikil” yang menyebabkan para sastrawan dan seniman kita belum keranjingan untuk menggarap tema-tema besar seperti pemberontakan 1926, tanah pembuangan Digul, pemberontakan “Zeven Provincien”, Revolusi Agustus 1945, pembasmian “PRRI-Permesta”, penghancuran DI-TII, pembebasan Irian Barat dan tema-tema lain yang dapat membangkitkan kebanggaan nasional, misalnya karena melihat adanya kelemahan-kelemahan pada tiap-tiap perjuangan itu. Pemberontakan 1926 adalah pemberontakan yang gagal, di antara orang-orang yang dibuang ke Digul ada yang menyerah kepada Belanda. Pemberontakan “Zeven Provincien” juga gagal. Revolusi Agustus berlangsung tanpa pimpinan yang sadar dari proletariat. “PRRI-Permesta” dan DI-TII diselesaikan dengan kompromi, dan Irian Barat bebas dengan campur tangan Bunker dari Amerika Serikat. Inilah yang mungkin menjadi “kerikil” sehingga tidak menimbulkan rangsang untuk menulis. Jika benar ini yang menjadi sebab, maka sama sekali tidak beralasan. Kegagalan sesuatu pemberontakan revolusioner tidaklah berarti bahwa pemberontakan itu salah, dan sekalipun ia gagal, ia tetap melahirkan pahlawan-pahlawan. Kelemahan beberapa gelintir orang dalam pembuangan tidaklah berarti semua orang buangan revolusioner menjadi pengkhianat dan lemah jiwa seperti coba digambarkan oleh Sutan Sjahrir dalam bukunya “Indonesische Overpeinzingen” (Renungan Indonesia). Biarlah Sutan Sjahrir merenung-renung, tapi sastrawan dan seniman revolusioner harus menuliskan kepahlawanan orang-orang revolusioner tanah pembuangan Digul itu. Jika sesuatu perjuangan “diselesaikan” dengan kompromi, sudah pasti yang berkompromi bukanlah rakyat, dan korban sudah banyak berjatuhan, pahlawan sudah banyak dilahirkan. Jika sesuatu pemberontakan, sesuatu revolusi atau sesuatu aksi gagal atau tidak mencapai tujuan yang sepenuhnya karena tanpa pimpinan yang sadar, ini tidaklah berarti bahwa pemberontakan, revolusi atau aksi itu salah, tidaklah berarti bahwa tidak ada perbuatan kepahlawanan yang harus ditulis. Tentang ketiadaan pimpinan yang sadar dari PKI, justru itu yang juga harus diungkapkan agar lain kali pimpinan dilakukan sesadar-sadarnya oleh PKI. Saya mengetok hati kawan-kawan dengan harapan supaya dalam waktu yang tidak terlalu lama pahlawan-pahlawan yang sudah berjatuhan dan yang masih hidup itu menambah semaraknya perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia lewat karya kawan-kawan.
Siapakah yang bersalah jika ada orang yang mengira bahwa nama “Aliarcham” ada hubungannya dengan “Al Azhar”? Bahwa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” di Jakarta dikira berafiliasi dengan Universitas Al Azhar di Kairo? Tentu bukan salah ayah dan ibu Aliarcham yang memberi nama Arab kepada anaknya, tetapi karena pahlawan rakyat tidak diperkenalkan kepada rakyat yang memiliki pahlawan itu oleh mereka yang harus memperkenalkannya. Sekarang banyak universitas dan akademi memakai nama pahlawan. Ini baik sekali, menandakan bahwa kita generasi sekarang tidak menyia-nyiakan pahlawan-pahlawan kita. Tetapi berapa banyak orang yang mengetahui perbuatan kepahlawanan mereka? Dalam perjuangan yang bagaimana mereka tampil sebagai pahlawan?
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu pernah gambar penulis Soviet Ilya Ehrenburg diarak dalam suatu demonstrasi 1 Mei. Kalau kita mau berterus-terang, berapalah jumlah buku Ehrenburg di negeri kita ini, berapa orang yang sudah membacanya, berapa pula yang membacanya tamat, dan di antara yang membacanya tamat itu berapa orang yang berhasil menarik pelajaran untuk revolusi Indonesia, khususnya untuk perkembangan sastra dan seni revolusioner Indonesia. Jumlah bukunya yang beredar hanya sedikit sekali, yang tamat membacanya bisa dihitung dengan jari dan yang membaca dengan berhasil menarik pelajaran untuk kepentingan revolusi Indonesia mungkin tidak ada. Tapi gambar Ehrenburg diarak. Gejala apa ini, kalau bukan gejala dogmatisme dan formalisme. Karena Ehrenburg seorang penulis Soviet, sedangkan Soviet itu adalah baik, karya-karyanya dikira juga baik, dan oleh karena itu gambarnya diarak sekalipun yang mengarak dan yang menyuruh mengarak tidak tahu apa-apa tentang karya Ehrenburg.
Masih ada lagi sastrawan dan seniman luar negeri yang pernah dipuja-puja oleh sementara orang revolusioner negeri kita dengan tidak memikirkan betapa hubungannya dengan revolusi kita dan dengan perkembangan sastra dan seni revolusioner kita. Saya tidak berbicara tentang apa yang terjadi di kalangan mereka yang tidak revolusioner, karena memuja segala yang datang dari luar negeri, termasuk juga memuja penyebar-penyebar segala yang bertentangan dengan kepentingan revolusi Indonesia, adalah biasa dan akan terus menjadi kebiasaan mereka.
Kita kaum Komunis bisa dan harus pandai menilai dan menghargai karya-karya sastra dan seni progresif dari luar negeri. Tetapi penilaian dan penghargaan kita pertama-tama harus dilihat dari segi hubungannya dengan kepentingan revolusi Indonesia dan tidak boleh berakibat menganggap rendah sastrawan dan seniman kita sendiri serta karya-karyanya. Perkenalan kita dengan karya-karya sastrawan dan seniman progresif luar negeri harus menjadi perangsang bagi kita guna mengenal lebih baik sastrawan dan seniman kita sendiri, guna meningkatkan kesadaran kita tentang keharusan memberi tempat dan penghargaan yang wajar kepada sastrawan dan seniman kita yang sudah tidak ada lagi, serta mendorong maju ke pekerjaan sastrawan dan seniman kita sekarang."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

29 Des 2015

PESAN DARI D.N AIDIT UNTUK PARA SASTRAWAN DAN SENIMAN INDONESIA


D.N Aidit tidak mati-mati. Begitupun dengan segala wejangan beliau. Saya sajikan salah satunya untuk kita, terutama yang bergerak di dalam bidang kesusastraan. Dikutip dari pidatonya di pembukaan Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner, 27 Agustus 1964.
"Mungkin masih ada “kerikil” yang menyebabkan para sastrawan dan seniman kita belum keranjingan untuk menggarap tema-tema besar seperti pemberontakan 1926, tanah pembuangan Digul, pemberontakan “Zeven Provincien”, Revolusi Agustus 1945, pembasmian “PRRI-Permesta”, penghancuran DI-TII, pembebasan Irian Barat dan tema-tema lain yang dapat membangkitkan kebanggaan nasional, misalnya karena melihat adanya kelemahan-kelemahan pada tiap-tiap perjuangan itu. Pemberontakan 1926 adalah pemberontakan yang gagal, di antara orang-orang yang dibuang ke Digul ada yang menyerah kepada Belanda. Pemberontakan “Zeven Provincien” juga gagal. Revolusi Agustus berlangsung tanpa pimpinan yang sadar dari proletariat. “PRRI-Permesta” dan DI-TII diselesaikan dengan kompromi, dan Irian Barat bebas dengan campur tangan Bunker dari Amerika Serikat. Inilah yang mungkin menjadi “kerikil” sehingga tidak menimbulkan rangsang untuk menulis. Jika benar ini yang menjadi sebab, maka sama sekali tidak beralasan. Kegagalan sesuatu pemberontakan revolusioner tidaklah berarti bahwa pemberontakan itu salah, dan sekalipun ia gagal, ia tetap melahirkan pahlawan-pahlawan. Kelemahan beberapa gelintir orang dalam pembuangan tidaklah berarti semua orang buangan revolusioner menjadi pengkhianat dan lemah jiwa seperti coba digambarkan oleh Sutan Sjahrir dalam bukunya “Indonesische Overpeinzingen” (Renungan Indonesia). Biarlah Sutan Sjahrir merenung-renung, tapi sastrawan dan seniman revolusioner harus menuliskan kepahlawanan orang-orang revolusioner tanah pembuangan Digul itu. Jika sesuatu perjuangan “diselesaikan” dengan kompromi, sudah pasti yang berkompromi bukanlah rakyat, dan korban sudah banyak berjatuhan, pahlawan sudah banyak dilahirkan. Jika sesuatu pemberontakan, sesuatu revolusi atau sesuatu aksi gagal atau tidak mencapai tujuan yang sepenuhnya karena tanpa pimpinan yang sadar, ini tidaklah berarti bahwa pemberontakan, revolusi atau aksi itu salah, tidaklah berarti bahwa tidak ada perbuatan kepahlawanan yang harus ditulis. Tentang ketiadaan pimpinan yang sadar dari PKI, justru itu yang juga harus diungkapkan agar lain kali pimpinan dilakukan sesadar-sadarnya oleh PKI. Saya mengetok hati kawan-kawan dengan harapan supaya dalam waktu yang tidak terlalu lama pahlawan-pahlawan yang sudah berjatuhan dan yang masih hidup itu menambah semaraknya perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia lewat karya kawan-kawan.
Siapakah yang bersalah jika ada orang yang mengira bahwa nama “Aliarcham” ada hubungannya dengan “Al Azhar”? Bahwa Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” di Jakarta dikira berafiliasi dengan Universitas Al Azhar di Kairo? Tentu bukan salah ayah dan ibu Aliarcham yang memberi nama Arab kepada anaknya, tetapi karena pahlawan rakyat tidak diperkenalkan kepada rakyat yang memiliki pahlawan itu oleh mereka yang harus memperkenalkannya. Sekarang banyak universitas dan akademi memakai nama pahlawan. Ini baik sekali, menandakan bahwa kita generasi sekarang tidak menyia-nyiakan pahlawan-pahlawan kita. Tetapi berapa banyak orang yang mengetahui perbuatan kepahlawanan mereka? Dalam perjuangan yang bagaimana mereka tampil sebagai pahlawan?
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu pernah gambar penulis Soviet Ilya Ehrenburg diarak dalam suatu demonstrasi 1 Mei. Kalau kita mau berterus-terang, berapalah jumlah buku Ehrenburg di negeri kita ini, berapa orang yang sudah membacanya, berapa pula yang membacanya tamat, dan di antara yang membacanya tamat itu berapa orang yang berhasil menarik pelajaran untuk revolusi Indonesia, khususnya untuk perkembangan sastra dan seni revolusioner Indonesia. Jumlah bukunya yang beredar hanya sedikit sekali, yang tamat membacanya bisa dihitung dengan jari dan yang membaca dengan berhasil menarik pelajaran untuk kepentingan revolusi Indonesia mungkin tidak ada. Tapi gambar Ehrenburg diarak. Gejala apa ini, kalau bukan gejala dogmatisme dan formalisme. Karena Ehrenburg seorang penulis Soviet, sedangkan Soviet itu adalah baik, karya-karyanya dikira juga baik, dan oleh karena itu gambarnya diarak sekalipun yang mengarak dan yang menyuruh mengarak tidak tahu apa-apa tentang karya Ehrenburg.
Masih ada lagi sastrawan dan seniman luar negeri yang pernah dipuja-puja oleh sementara orang revolusioner negeri kita dengan tidak memikirkan betapa hubungannya dengan revolusi kita dan dengan perkembangan sastra dan seni revolusioner kita. Saya tidak berbicara tentang apa yang terjadi di kalangan mereka yang tidak revolusioner, karena memuja segala yang datang dari luar negeri, termasuk juga memuja penyebar-penyebar segala yang bertentangan dengan kepentingan revolusi Indonesia, adalah biasa dan akan terus menjadi kebiasaan mereka.
Kita kaum Komunis bisa dan harus pandai menilai dan menghargai karya-karya sastra dan seni progresif dari luar negeri. Tetapi penilaian dan penghargaan kita pertama-tama harus dilihat dari segi hubungannya dengan kepentingan revolusi Indonesia dan tidak boleh berakibat menganggap rendah sastrawan dan seniman kita sendiri serta karya-karyanya. Perkenalan kita dengan karya-karya sastrawan dan seniman progresif luar negeri harus menjadi perangsang bagi kita guna mengenal lebih baik sastrawan dan seniman kita sendiri, guna meningkatkan kesadaran kita tentang keharusan memberi tempat dan penghargaan yang wajar kepada sastrawan dan seniman kita yang sudah tidak ada lagi, serta mendorong maju ke pekerjaan sastrawan dan seniman kita sekarang."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar