SAAT
PERTAMA KALI kali mendengar siaran RRI 1 Oktober, Soeharto dalam buku: “Pikiran,
ucapan, dan tidakan saya” berkata: “Deg, saya segera mendapatkan firasat.
Lagipula saya tahu siapa itu Letkol Untung. Saya ingat, dia dekat dengan PKI,
malahan pernah jadi anak didik tokoh PKI, Alimin.” Ia hendak menyatakan: telah
menduga bahwa PKI lah yang mengorganisir G/30/S bahkan saat para jenderal yang
masih hidup belum dieksekusi mati. Waw! Betapa maha-hebatnya firasat sang
Jenderal yang satu ini!
Saat berkumpul di markas Kostrad, pagi hari 1
Oktober, beberapa perwira masih ragu dengan pernyataan Soeharto tadi. Namun,
Yoga Sugama mendukung pernyataan Soeharto dan bersiap untuk mencari
bukti-buktinya. Betapa kompaknya kedua orang ini. Kelak, dalam memoarnya, Yoga
Sugama menyombongkan diri sebagai orang pertama yang meyakinkan Soeharto bahwa
PKI bersalah sehingga merubah firasat Soeharto menjadi keyakinan yang tak
tergoyahkan. Penuturan Sugama itu memberi kesan bahwa ia dan Soeharto sudah
menengarai sang dalang G/30/S bahkan sebelum mendapatkan satu pun bukti yang
pasti.
Besoknya, Brigjend Sucipto membentuk
organisasi sipil dengan nama Kesatuan Aksi Pengganyangan G/30/S (KAP-Gestapu)
yang dipimpin oleh Subchan Z.E. dari NU. Lelaki yang terakhir dikenal sangat
dekat dengan militer anti-PKI bahkan sebelum G/30/S meletus. Pada tanggal 5 oktober (HUT ABRI) Angkatan Darat menerbitkan buku setebal 130 halaman yang disusun cepat, berisi catatan rangkaian kejadian dan dengan sangat percaya diri menuduh PKI sebagai dalang. Padahal sampai saat itu, tak ada satu pun bukti yang bisa menguatkan. Tuduhan-tuduhan di dalam buku hanya semata-mata analisis tanpa bukti yang bisa dikategorikan sebagai fitnah.
Melalui corong radio, Mayjend Soeharto
mengerahkan atau menganjurkan massa sipil sambil menyebarkan propaganda
anti-PKI melalui pers (yang seluruhnya sudah di bawah kendali Angkatan Darat
sejak akhir pekan pertama Oktober). Sebuah kisah sensasional melukiskan
bagaimana Pemuda Rakjat dan Gerwani menyiksa, menyayat-nyayat, sampai memotong
kemaluan para jenderal. Dua hari kemudian, massa seperti merespon berita ‘pesta lubang buaya’ dengan kemarahan
yang membludak: membakar habis gedung CC-PKI di Jalan Kramat Raya Jakarta.
Bahkan setelah pembantaian kaum komunis mulai
dilaksanakan (akhir 1965 dan awal 1966), masyarakat belum memperoleh bukti yang
shahih bahwa PKI mendalangi G/30/S.
PKI memang mendukung G/30/S, sebagaimana
terlihat dalam editorial Harian Rakjat pada 2 Oktober 1965, yang memuji
G/30/S sebagai aksi patriotik dan revolusioner. Tapi bagaimanapun, koran
itu tidak memberikan bukti apa pun bahwa PKI lah yang mengorganisir G/30/S,
terutama karena harian itu menyatakan bahwa: “G/30/S adalah masalah intern
dalam Angkatan Darat.”
Pusat Penerangan angkatan Darat menerbitkan
tiga jilid seri buku dari Oktober sampai Desember 1965, dengan maksud hendak
membuktikan bahwa PKI adalah dalang G/30/S. bukti-bukti dalam buku ini tidak
substansial dan handal. Bukti utama adalah pengakuan Letkol Untung (yang
tertangkap di Jawa Tengah, 13 Oktober) dan Kolonel Latief (tertangkap 11
Oktober di Jakarta), bahwa mereka adalah antek-antek PKI. Namun, pada sidang
pembelaannya dua tahun kemudian, Latief mengatakan waktu itu ia berada
dalam kondisi setengah sadar akibat luka di kaki yang membusuk karena tusukan
bayonet. Dalam mahkam pengadilan di belahan dunia mana pun, kesakisan yang
diperoleh di bawah tekanan dan dengan siksaan tidak dapat diterima. Dalam
sidang Mahmilub kemudian, Untung dan Latief menyangkal hasil interogasi pada
Oktober 1965, dan bersikeras bahwa merekalah yang memimpin G/30/S. PKI, mereka
menegaskan, diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan.
Kita harus curiga ketika tuduhan sebagian
didasarkan atas propaganda palsu (penyiksaan para jenderal) dan sebagian
lagi atas kesaksian yang diperoleh melalui siksaan. Pengakuan dua tokoh PKI
(Njono dan Aidit) yang diterbitkan oleh pers Angkatan Darat pada akhir 1965
merupakan pemalsuan yang bersifat pemaksaan untuk mendukung propaganda mereka
(itu sebabnya pengakuan Aidit tersebut tak pernah lagi menjadi acuan dalam
penulisan sejarah G/30/S).
Mungkin, satu-satunya bukti dari Angkatan
Darat yang layak diperdebatkan adalah pengakuan seorang agen Biro Chusus PKI
yang bernama Sjam atau Kamaruzaman atau Tjugito. Namun lagi-lagi di sini Angkatan
Darat menjadi hiperbola dengan melebih-lebihkan pernyataan Sjam. Sjam
menyatakan bahwa hanya Aidit melalui Biro Chusus memerintahkannya untuk
mengorganisasi G/30/S, namun Angkatan Darat menyiarkan bahwa Commite Central
PKI lah yang mengorganisir gerakan. Sjam melukiskan bahwa G/30/S adalah
pembersihan jenderal-jenderal sayap kanan yang bekerja untuk kekuatan pihak
asing, sementara Angkatan Darat meyakinkan hal itu adalah suatu kudeta, awal
dari niat PKI untuk melaksanakan revolusi sosial. AD harus menunjuk CC-PKI
sebagai otak untuk membenarkan kehebatan penindasan mereka terhadap massa
komunis di seluruh negeri.
Satu cacat kasat mata dalam narasi rezim
Soeharto pasca-1967 tentang Biro-Chusus adalah satu-satunya bukti mereka yang
handal adalah kesaksian seseorang yang mengakui bahwa: menipu adalah
pekerjaanya. Sjam, seorang tokoh tak dikenal, tak pernah muncul sebagai
pemimpin PKI. Ia mengaku bahwa dirinya sangat dipercaya oleh Aidit sehingga
ditugasi untuk masuk ke dalam tubuh Angkatan Darat. Seorang agen intelligen
yang harus menipu dalam pekerjaannya menjadi satu-satunya bukti handal!
Jika rezim Soeharto bersungguh-sungguh dalam
pengumpulan bukti tentang keterlibatan PKI, ia tak akan bergegas-gegas
mengeksekusi empat pimpinan pucak PKI. DN Aidit , justru tokoh yang rezim
Soeharto dinyatakan sebagai dalang, ditembak mati di sebuah tempat rahasian di
Jawa Tengah pada 22 November 1965. Hal ini membuat kita tergelitik untuk
bertanya: apakah pengadilan pura-pura yang di selenggarakan Soeharto begitu
takutnya bila Aidit ‘mengamuk’ di dalam persidangan seperti yang pernah ia
lakukan dahulu saat diajukan ke pengadilan oleh Muhammad Hatta karena kasus
Madiun affair? (di situ Aidit dinyatakan tidak bersalah dan Hatta terpaksa
mencabut tuntutannya)
Jadi
apa buktinya PKI sebagai instansi adalah otak dalam G/30/S? Seperti yang
dinyatakan oleh John Roosa:
”Pada
akhirnya, satu-satunya bukti bahwa PKI memimpin G/30/S adalah karena Angkatan
Darat menyatakan demikian.“
Sumber:
Suharto,
Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Sugama,
Memori Jenderal Yoga.
Pusat
Penerangan Angkatan Darat, Fakta-fakta Persoalan Sekitar “Gerakan 30
September.” Penerbitan chusus no. 1, 5 Oktober 1965.
CIA
Report No,22 from U.S Embassy in Jakarta to White House, 8 Oktober 1965.
“Berita Atjara Pemeriksaan,” Laporan interogasi Latief, 25 Oktober 1965.
Interogator Kapten Hasan.
Anderson,
Ben, “How Did the Generals Die?“
“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmilub, Perkara
Untung.
Hughes,
“End of Sukarno”
Brackman,
“Communist Collapse in Indonesia: The Gestapu Affair”
Aidit,
“Menggugat Peristiwa Madiun”
Roosa,
John, “Pretect for Mass Murder”
Sejarah Manipulasi yang masif dan tersistem dengan cantik...
BalasHapusBung Karno pun dibikin "Mati Kutu" saking bijaksana dan demi bangsanya... negarawan dan pemimpin yg belum tentu sesama tokoh pada masa nya seperti Bung Karno...
Dan Amerika, Inggris, tersenyum bangga akan "briliant" mindset anak bangsa yg diperbudaknya demi ambisi, nafsu, dan kekuasaan...
Dan orang2 yg dulu ikut mensucces kan "coup de tat" pun tak lepas disingkirkan pula oleh "si smilling general"...
Politik adalah seni, tapi seni menjadi kotor oleh bukan orang seni politik itu sendiri.
Hidup Bung Karno !!!