3 Mar 2015

Bukti-bukti PKI Adalah Otak G/30/S

SAAT PERTAMA KALI kali mendengar siaran RRI 1 Oktober, Soeharto dalam buku: “Pikiran, ucapan, dan tidakan saya” berkata: “Deg, saya segera mendapatkan firasat. Lagipula saya tahu siapa itu Letkol Untung. Saya ingat, dia dekat dengan PKI, malahan pernah jadi anak didik tokoh PKI, Alimin.” Ia hendak menyatakan: telah menduga bahwa PKI lah yang mengorganisir G/30/S bahkan saat para jenderal yang masih hidup belum dieksekusi mati. Waw! Betapa maha-hebatnya firasat sang Jenderal yang satu ini!
Saat berkumpul di markas Kostrad, pagi hari 1 Oktober, beberapa perwira masih ragu dengan pernyataan Soeharto tadi. Namun, Yoga Sugama mendukung pernyataan Soeharto dan bersiap untuk mencari bukti-buktinya. Betapa kompaknya kedua orang ini. Kelak, dalam memoarnya, Yoga Sugama menyombongkan diri sebagai orang pertama yang meyakinkan Soeharto bahwa PKI bersalah sehingga merubah firasat Soeharto menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan. Penuturan Sugama itu memberi kesan bahwa ia dan Soeharto sudah menengarai sang dalang G/30/S bahkan sebelum mendapatkan satu pun bukti yang pasti.
Besoknya, Brigjend Sucipto membentuk organisasi sipil dengan nama Kesatuan Aksi Pengganyangan G/30/S (KAP-Gestapu) yang dipimpin oleh Subchan Z.E. dari NU. Lelaki yang terakhir dikenal sangat dekat dengan militer anti-PKI bahkan sebelum G/30/S meletus. 
Pada tanggal 5 oktober (HUT ABRI) Angkatan Darat menerbitkan buku setebal 130 halaman yang disusun cepat, berisi catatan rangkaian kejadian dan dengan sangat percaya diri menuduh PKI sebagai dalang. Padahal sampai saat itu, tak ada satu pun bukti yang bisa menguatkan. Tuduhan-tuduhan di dalam buku hanya semata-mata analisis tanpa bukti yang bisa dikategorikan sebagai fitnah.
Melalui corong radio, Mayjend Soeharto mengerahkan atau menganjurkan massa sipil sambil menyebarkan propaganda anti-PKI melalui pers (yang seluruhnya sudah di bawah kendali Angkatan Darat sejak akhir pekan pertama Oktober). Sebuah kisah sensasional melukiskan bagaimana Pemuda Rakjat dan Gerwani menyiksa, menyayat-nyayat, sampai memotong kemaluan para jenderal. Dua hari kemudian, massa seperti merespon berita ‘pesta lubang buaya’ dengan kemarahan yang membludak: membakar habis gedung CC-PKI di Jalan Kramat Raya Jakarta.
Bahkan setelah pembantaian kaum komunis mulai dilaksanakan (akhir 1965 dan awal 1966), masyarakat belum memperoleh bukti yang shahih bahwa PKI mendalangi G/30/S.
PKI memang mendukung G/30/S, sebagaimana terlihat dalam editorial Harian Rakjat pada 2 Oktober 1965, yang memuji G/30/S sebagai aksi patriotik dan revolusioner.  Tapi bagaimanapun, koran itu tidak memberikan bukti apa pun bahwa PKI lah yang mengorganisir G/30/S, terutama karena harian itu menyatakan bahwa: “G/30/S adalah masalah intern dalam Angkatan Darat.”
Pusat Penerangan angkatan Darat menerbitkan tiga jilid seri buku dari Oktober sampai Desember 1965, dengan maksud hendak membuktikan bahwa PKI adalah dalang G/30/S. bukti-bukti dalam buku ini tidak substansial dan handal. Bukti utama adalah pengakuan Letkol Untung (yang tertangkap di Jawa Tengah, 13 Oktober) dan Kolonel Latief (tertangkap 11 Oktober di Jakarta), bahwa mereka adalah antek-antek PKI. Namun, pada sidang pembelaannya dua tahun kemudian,  Latief mengatakan waktu itu ia berada dalam kondisi setengah sadar akibat luka di kaki yang membusuk karena tusukan bayonet. Dalam mahkam pengadilan di belahan dunia mana pun, kesakisan yang diperoleh di bawah tekanan dan dengan siksaan tidak dapat diterima. Dalam sidang Mahmilub kemudian, Untung dan Latief menyangkal hasil interogasi pada Oktober 1965, dan bersikeras bahwa merekalah yang memimpin G/30/S. PKI, mereka menegaskan, diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan.
Kita harus curiga ketika tuduhan sebagian didasarkan atas propaganda palsu (penyiksaan para jenderal)  dan sebagian lagi atas kesaksian yang diperoleh melalui siksaan. Pengakuan dua tokoh PKI (Njono dan Aidit) yang diterbitkan oleh pers Angkatan Darat pada akhir 1965 merupakan pemalsuan yang bersifat pemaksaan untuk mendukung propaganda mereka (itu sebabnya pengakuan Aidit tersebut tak pernah lagi menjadi acuan dalam penulisan sejarah G/30/S).
Mungkin, satu-satunya bukti dari Angkatan Darat yang layak diperdebatkan adalah pengakuan seorang agen Biro Chusus PKI yang bernama Sjam atau Kamaruzaman atau Tjugito. Namun lagi-lagi di sini Angkatan Darat menjadi hiperbola dengan melebih-lebihkan pernyataan Sjam. Sjam menyatakan bahwa hanya Aidit melalui Biro Chusus memerintahkannya untuk mengorganisasi G/30/S, namun Angkatan Darat menyiarkan bahwa Commite Central PKI lah yang mengorganisir gerakan. Sjam melukiskan bahwa G/30/S adalah pembersihan jenderal-jenderal sayap kanan yang bekerja untuk kekuatan pihak asing, sementara Angkatan Darat meyakinkan hal itu adalah suatu kudeta, awal dari niat PKI untuk melaksanakan revolusi sosial. AD harus menunjuk CC-PKI sebagai otak untuk membenarkan kehebatan penindasan mereka terhadap massa komunis di seluruh negeri. 
Satu cacat kasat mata dalam narasi rezim Soeharto pasca-1967 tentang Biro-Chusus adalah satu-satunya bukti mereka yang handal adalah kesaksian seseorang yang mengakui bahwa: menipu adalah pekerjaanya. Sjam, seorang tokoh tak dikenal, tak pernah muncul sebagai pemimpin PKI. Ia mengaku bahwa dirinya sangat dipercaya oleh Aidit sehingga ditugasi untuk masuk ke dalam tubuh Angkatan Darat. Seorang agen intelligen yang harus menipu dalam pekerjaannya menjadi satu-satunya bukti handal!
Jika rezim Soeharto bersungguh-sungguh dalam pengumpulan bukti tentang keterlibatan PKI, ia tak akan bergegas-gegas mengeksekusi empat pimpinan pucak PKI. DN Aidit , justru tokoh yang rezim Soeharto dinyatakan sebagai dalang, ditembak mati di sebuah tempat rahasian di Jawa Tengah pada 22 November 1965. Hal ini membuat kita tergelitik untuk bertanya: apakah pengadilan pura-pura yang di selenggarakan Soeharto begitu takutnya bila Aidit ‘mengamuk’ di dalam persidangan seperti yang pernah ia lakukan dahulu saat diajukan ke pengadilan oleh Muhammad Hatta karena kasus Madiun affair? (di situ Aidit dinyatakan tidak bersalah dan Hatta terpaksa mencabut tuntutannya)
Jadi apa buktinya PKI sebagai instansi adalah otak dalam G/30/S? Seperti yang dinyatakan oleh John Roosa:  
Pada akhirnya, satu-satunya bukti bahwa PKI memimpin G/30/S adalah karena Angkatan Darat menyatakan demikian.

Sumber:
Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Sugama, Memori Jenderal Yoga.
Pusat Penerangan Angkatan Darat, Fakta-fakta Persoalan Sekitar “Gerakan 30 September.” Penerbitan chusus no. 1, 5 Oktober 1965.
CIA Report No,22 from U.S Embassy in Jakarta to White House, 8 Oktober 1965.
“Berita Atjara Pemeriksaan,” Laporan interogasi Latief, 25 Oktober 1965. Interogator Kapten Hasan.
Anderson, Ben, “How Did the Generals Die?
“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmilub, Perkara Untung.
Hughes, “End of Sukarno”
Brackman, “Communist Collapse in Indonesia: The Gestapu Affair”
Aidit, “Menggugat Peristiwa Madiun”
Roosa, John, “Pretect for Mass Murder”

1 komentar:

  1. Sejarah Manipulasi yang masif dan tersistem dengan cantik...
    Bung Karno pun dibikin "Mati Kutu" saking bijaksana dan demi bangsanya... negarawan dan pemimpin yg belum tentu sesama tokoh pada masa nya seperti Bung Karno...

    Dan Amerika, Inggris, tersenyum bangga akan "briliant" mindset anak bangsa yg diperbudaknya demi ambisi, nafsu, dan kekuasaan...
    Dan orang2 yg dulu ikut mensucces kan "coup de tat" pun tak lepas disingkirkan pula oleh "si smilling general"...

    Politik adalah seni, tapi seni menjadi kotor oleh bukan orang seni politik itu sendiri.

    Hidup Bung Karno !!!

    BalasHapus

3 Mar 2015

Bukti-bukti PKI Adalah Otak G/30/S

SAAT PERTAMA KALI kali mendengar siaran RRI 1 Oktober, Soeharto dalam buku: “Pikiran, ucapan, dan tidakan saya” berkata: “Deg, saya segera mendapatkan firasat. Lagipula saya tahu siapa itu Letkol Untung. Saya ingat, dia dekat dengan PKI, malahan pernah jadi anak didik tokoh PKI, Alimin.” Ia hendak menyatakan: telah menduga bahwa PKI lah yang mengorganisir G/30/S bahkan saat para jenderal yang masih hidup belum dieksekusi mati. Waw! Betapa maha-hebatnya firasat sang Jenderal yang satu ini!
Saat berkumpul di markas Kostrad, pagi hari 1 Oktober, beberapa perwira masih ragu dengan pernyataan Soeharto tadi. Namun, Yoga Sugama mendukung pernyataan Soeharto dan bersiap untuk mencari bukti-buktinya. Betapa kompaknya kedua orang ini. Kelak, dalam memoarnya, Yoga Sugama menyombongkan diri sebagai orang pertama yang meyakinkan Soeharto bahwa PKI bersalah sehingga merubah firasat Soeharto menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan. Penuturan Sugama itu memberi kesan bahwa ia dan Soeharto sudah menengarai sang dalang G/30/S bahkan sebelum mendapatkan satu pun bukti yang pasti.
Besoknya, Brigjend Sucipto membentuk organisasi sipil dengan nama Kesatuan Aksi Pengganyangan G/30/S (KAP-Gestapu) yang dipimpin oleh Subchan Z.E. dari NU. Lelaki yang terakhir dikenal sangat dekat dengan militer anti-PKI bahkan sebelum G/30/S meletus. 
Pada tanggal 5 oktober (HUT ABRI) Angkatan Darat menerbitkan buku setebal 130 halaman yang disusun cepat, berisi catatan rangkaian kejadian dan dengan sangat percaya diri menuduh PKI sebagai dalang. Padahal sampai saat itu, tak ada satu pun bukti yang bisa menguatkan. Tuduhan-tuduhan di dalam buku hanya semata-mata analisis tanpa bukti yang bisa dikategorikan sebagai fitnah.
Melalui corong radio, Mayjend Soeharto mengerahkan atau menganjurkan massa sipil sambil menyebarkan propaganda anti-PKI melalui pers (yang seluruhnya sudah di bawah kendali Angkatan Darat sejak akhir pekan pertama Oktober). Sebuah kisah sensasional melukiskan bagaimana Pemuda Rakjat dan Gerwani menyiksa, menyayat-nyayat, sampai memotong kemaluan para jenderal. Dua hari kemudian, massa seperti merespon berita ‘pesta lubang buaya’ dengan kemarahan yang membludak: membakar habis gedung CC-PKI di Jalan Kramat Raya Jakarta.
Bahkan setelah pembantaian kaum komunis mulai dilaksanakan (akhir 1965 dan awal 1966), masyarakat belum memperoleh bukti yang shahih bahwa PKI mendalangi G/30/S.
PKI memang mendukung G/30/S, sebagaimana terlihat dalam editorial Harian Rakjat pada 2 Oktober 1965, yang memuji G/30/S sebagai aksi patriotik dan revolusioner.  Tapi bagaimanapun, koran itu tidak memberikan bukti apa pun bahwa PKI lah yang mengorganisir G/30/S, terutama karena harian itu menyatakan bahwa: “G/30/S adalah masalah intern dalam Angkatan Darat.”
Pusat Penerangan angkatan Darat menerbitkan tiga jilid seri buku dari Oktober sampai Desember 1965, dengan maksud hendak membuktikan bahwa PKI adalah dalang G/30/S. bukti-bukti dalam buku ini tidak substansial dan handal. Bukti utama adalah pengakuan Letkol Untung (yang tertangkap di Jawa Tengah, 13 Oktober) dan Kolonel Latief (tertangkap 11 Oktober di Jakarta), bahwa mereka adalah antek-antek PKI. Namun, pada sidang pembelaannya dua tahun kemudian,  Latief mengatakan waktu itu ia berada dalam kondisi setengah sadar akibat luka di kaki yang membusuk karena tusukan bayonet. Dalam mahkam pengadilan di belahan dunia mana pun, kesakisan yang diperoleh di bawah tekanan dan dengan siksaan tidak dapat diterima. Dalam sidang Mahmilub kemudian, Untung dan Latief menyangkal hasil interogasi pada Oktober 1965, dan bersikeras bahwa merekalah yang memimpin G/30/S. PKI, mereka menegaskan, diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan.
Kita harus curiga ketika tuduhan sebagian didasarkan atas propaganda palsu (penyiksaan para jenderal)  dan sebagian lagi atas kesaksian yang diperoleh melalui siksaan. Pengakuan dua tokoh PKI (Njono dan Aidit) yang diterbitkan oleh pers Angkatan Darat pada akhir 1965 merupakan pemalsuan yang bersifat pemaksaan untuk mendukung propaganda mereka (itu sebabnya pengakuan Aidit tersebut tak pernah lagi menjadi acuan dalam penulisan sejarah G/30/S).
Mungkin, satu-satunya bukti dari Angkatan Darat yang layak diperdebatkan adalah pengakuan seorang agen Biro Chusus PKI yang bernama Sjam atau Kamaruzaman atau Tjugito. Namun lagi-lagi di sini Angkatan Darat menjadi hiperbola dengan melebih-lebihkan pernyataan Sjam. Sjam menyatakan bahwa hanya Aidit melalui Biro Chusus memerintahkannya untuk mengorganisasi G/30/S, namun Angkatan Darat menyiarkan bahwa Commite Central PKI lah yang mengorganisir gerakan. Sjam melukiskan bahwa G/30/S adalah pembersihan jenderal-jenderal sayap kanan yang bekerja untuk kekuatan pihak asing, sementara Angkatan Darat meyakinkan hal itu adalah suatu kudeta, awal dari niat PKI untuk melaksanakan revolusi sosial. AD harus menunjuk CC-PKI sebagai otak untuk membenarkan kehebatan penindasan mereka terhadap massa komunis di seluruh negeri. 
Satu cacat kasat mata dalam narasi rezim Soeharto pasca-1967 tentang Biro-Chusus adalah satu-satunya bukti mereka yang handal adalah kesaksian seseorang yang mengakui bahwa: menipu adalah pekerjaanya. Sjam, seorang tokoh tak dikenal, tak pernah muncul sebagai pemimpin PKI. Ia mengaku bahwa dirinya sangat dipercaya oleh Aidit sehingga ditugasi untuk masuk ke dalam tubuh Angkatan Darat. Seorang agen intelligen yang harus menipu dalam pekerjaannya menjadi satu-satunya bukti handal!
Jika rezim Soeharto bersungguh-sungguh dalam pengumpulan bukti tentang keterlibatan PKI, ia tak akan bergegas-gegas mengeksekusi empat pimpinan pucak PKI. DN Aidit , justru tokoh yang rezim Soeharto dinyatakan sebagai dalang, ditembak mati di sebuah tempat rahasian di Jawa Tengah pada 22 November 1965. Hal ini membuat kita tergelitik untuk bertanya: apakah pengadilan pura-pura yang di selenggarakan Soeharto begitu takutnya bila Aidit ‘mengamuk’ di dalam persidangan seperti yang pernah ia lakukan dahulu saat diajukan ke pengadilan oleh Muhammad Hatta karena kasus Madiun affair? (di situ Aidit dinyatakan tidak bersalah dan Hatta terpaksa mencabut tuntutannya)
Jadi apa buktinya PKI sebagai instansi adalah otak dalam G/30/S? Seperti yang dinyatakan oleh John Roosa:  
Pada akhirnya, satu-satunya bukti bahwa PKI memimpin G/30/S adalah karena Angkatan Darat menyatakan demikian.

Sumber:
Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Sugama, Memori Jenderal Yoga.
Pusat Penerangan Angkatan Darat, Fakta-fakta Persoalan Sekitar “Gerakan 30 September.” Penerbitan chusus no. 1, 5 Oktober 1965.
CIA Report No,22 from U.S Embassy in Jakarta to White House, 8 Oktober 1965.
“Berita Atjara Pemeriksaan,” Laporan interogasi Latief, 25 Oktober 1965. Interogator Kapten Hasan.
Anderson, Ben, “How Did the Generals Die?
“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmilub, Perkara Untung.
Hughes, “End of Sukarno”
Brackman, “Communist Collapse in Indonesia: The Gestapu Affair”
Aidit, “Menggugat Peristiwa Madiun”
Roosa, John, “Pretect for Mass Murder”

1 komentar:

  1. Sejarah Manipulasi yang masif dan tersistem dengan cantik...
    Bung Karno pun dibikin "Mati Kutu" saking bijaksana dan demi bangsanya... negarawan dan pemimpin yg belum tentu sesama tokoh pada masa nya seperti Bung Karno...

    Dan Amerika, Inggris, tersenyum bangga akan "briliant" mindset anak bangsa yg diperbudaknya demi ambisi, nafsu, dan kekuasaan...
    Dan orang2 yg dulu ikut mensucces kan "coup de tat" pun tak lepas disingkirkan pula oleh "si smilling general"...

    Politik adalah seni, tapi seni menjadi kotor oleh bukan orang seni politik itu sendiri.

    Hidup Bung Karno !!!

    BalasHapus