11 Apr 2015

Catatan Harian Orang Gila (Cerpen) - Lu Xun



DALAM Catatan Harian Orang Gila, Lu Xun bercerita tentang tokoh “aku” yang secara tidak sengaja mendengar kabar, bahwa salah satu dari dua bersaudara yang menjadi sahabat karibnya ketika sekolah menengah atas, tengah menderita sakit yang serius. Ketika tokoh “aku” menyempatkan diri singgah ke tempat mereka untuk menengok, ia hanya bertemu dengan salah satu dari mereka, yang kemudian memberitahu bahwa yang sakit itu adalah adiknya.
Dari sini cerita pun mengalir. Tokoh “aku” diperlihatkan oleh sang kakak catatan harian yang ditulis oleh adiknya. Menurut sang kakak, dengan membaca catatan harian sang adik, karakter penyakit masa lalu adiknya dapat diketahui.
Setelah membaca sampai khatam, tokoh “aku” menyimpulkan jikalau penyakit yang diderita sang adik adalah skizofrenia. Tokoh aku—yang sepertinya berprofesi sebagai tenaga medis—telah menyalin sebagian untuk memanfaatkannya sebagai subyek penelitian medis. Cerita selanjutnya pun berkisah tentang catatan harian yang ditulis oleh sang adik yang terdiri dari 13 bagian.
Awal mula gejala skizofrenia sang adik tampak pada bagian kedua. Dalam catatan hariannya, sang adik teringat akan kejadian “dua puluh tahun yang silam”.
Bertambah-tambahlah keherananku. Salah apa aku dengan Tuan Chao dan orang-orang di jalanan itu. Aku tak dapat memikirkan apa pun kecuali bahwa dua puluh tahun yang silam aku telah menginjak-injak kertas catatan Tuan Ku Chiu dan tampaknya ia tak senang” (CHOG: 4)
Ku Chiu sendiri berarti “Zaman Kuno”. Adegan penginjakan “Zaman Kuno” dalam cerpen ini tampaknya menjadi biang keladi dari penyakit sang adik. Sang adik seperti mendapat sebuah kutukan yang terus memburunya. Sejak saat itu, sang adik mengidap skizofrenia paranoid tertentu terhadap sekitarnya. Ia merasa Tuan Chao melihatnya dengan tatapan aneh seolah-olah ingin membunuhnya. Orang-orang di sekitarnya pun membicarakannya dengan berbisik-bisik.
Pada penderita skizofrenia paranoid, waham mereka sering kali mencakup tema-tema kebesaran, persekusi atau kecemburuan. Mereka meyakini, contohnya, bahwa pasangan atau kekasih mereka tidak setia, tanpa peduli akan tiadanya bukti. Mereka juga sangat gelisah, bingung dan ketakutan.
Setelah kejadian penginjakan kertas catatan Tuan Ku Chiu, serentetan gangguan psikotik pun mendera sang adik. Dimulai dari gangguan pikiran saat sang adik berpapasan dengan Tuan Chao.
Ia menatapku dengan tatapan aneh dan was-was, seolah-olah dia ingin membunuhku. Tujuh atau delapan orang yang lain membicarakanku dengan setengah berbisik” (CHOG: 3)
Gangguan pikiran tersebut langsung menimbulkan pengaruh pada perilaku sang adik. Sang adik merasa sekujur tubuhnya kedinginan karena salah seorang dari yang membicarakannya menyeringai ke arahnya. Perilaku “kedinginan” ini sangat tidak wajar, mengingat dalam cerita tidak diceritakan sedang tidak ada hujan dan tidak ada angin.
Karena perasaan tertekan terus menerus, persepsi sang adik terhadap lingkungan sekitar pun turut terganggu. Ia melihat “semua orang yang berwajah hijau dan bergigi panjang itu mulai tertawa mengejek” (CHOG: 5). “Gigi mereka putih dan berkilau; mereka semua adalah kanibal” (CHOG: 6). Hingga akhirnya, ketika sang adik dibawakan makan siang oleh Chen Tua berupa sayuran dan semangkuk ikan kukus, ia “tidak dapat lagi membedakan apakah potongan-potongan tipis ini adalah ikan atau daging manusia” (CHOG: 8).
Semua bayangan tentang kanibalisme—yang menurut sang adik terjadi di Desa Anak Serigala—telah membuat emosinya menjadi terganggu. Emosinya menjadi datar dalam menganggapi suatu hal. Hal ini tampak dalam percakapan sang adik dengan “seseorang” pada bagian delapan. Sang adik bertanya: “apakah boleh memakan daging manusia?” (CHOG: 13). Jawaban tokoh seseorang tidak dapat memuaskannya sama sekali. Sehingga sang adik menarik kesimpulan:
Dia pasti telah diajari oleh kedua orangtuanya. Dan aku takut kalau dia sudah mengajari putranya. Itulah sebabnya bahkan anak-anak pun melihat ke arahku dengan buasnya” (CHOG: 15).
Selain waham persekusi, sang adik juga mendapat gangguan isi pikiran berupa waham dikendalikan. Hal ini tampak pada bagian tujuh dalam catatan harian tersebut:
Aku memahami cara-cara mereka; mereka tidak berkeinginan untuk membunuh seseorang di luar hukum, sekaligus tidak benar-benar berani, karena takut akan akibat-akibatnya. Malah sebaliknya, mereka bersekutu dan membuat jebakan di mana-mana, untuk memaksaku agar bunuh diri” (CHOG: 12).
Akhirnya, semua paranoid sang adik bertumpu pada satu orang, sang kakak. Menurutnya, sang kakak lah yang mengakibatkan semua masalah dalam hidupnya. Sang kakak yang terlalu superior membuat sang adik lambat laun tersiksa dalam suasana inferior. Bahkan, sang adik pun menyangka kakaknya lah yang telah membunuh adik perempuan mereka, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut:
Kupungut sumpitku. Pikiranku hanya tertuju pada satu titik: kakakku; aku tahu kini bagaimana adik perempuanku meninggal. Tidak salah lagi, dialah pembunuhnya. Saat itu, adikku baru berumur lima tahun. Masih segar dalam ingatanku betapa memikat dan memelas wajah kakakku setelah peristiwa itu. Ibu menangis dan menangis, tapi dia mengiba agar ibu jangan menanmgis, mungkin karena dia sendiri yang telah memakan adik, dan tangisan ibu membuatnya malu. Seandainya dia memiliki secuil rasa malu….” (CHOG: 19).
Paranoid terhadap kakaknya berujung pada suatu kesimpulan. Sang adik menyadari telah lama hidup dalam teritori kanibal. Dan menurutnya, hal tersebut sudah berlangsung selama ribuan tahun.

Lahir di Zamannya

APA kira-kira yang membuat Lu Xun menulis tentang catatan seorang penyandang skizofrenia? Apakah sewaktu Lu Xun menulis CHOG, skizofrenia sudah menjadi fenomena yang umum seperti sekarang? Banyak kritikus yang menafsirkan CHOG dengan kondisi sosio-kultural Cina pada masa itu. Cina pada waktu itu sedang mengalami masa gejolak yang sangat besar. Lu Xun sendiri terlibat dalam gerakan penggulingan Dinasti Qing yang disebut Guang Fu Hui. Gerakan ini timbul oleh rasa frustrasi karena penolakan Dinasti Qing untuk melakukan reformasi serta karena kelemahan Cina terhadap negara-negara lain, membuat timbulnya revolusi yang terinspirasi oleh ide-ide Sun Yat-sen untuk menghapuskan sistem kerajaan dan menerapkan sistem republik di Cina.
Praktis ia pun menjadi saksi dan pelaku sejarah. Ia melihat bagaimana kota-kota besar di Tiongkok dijarah dan dibagi-bagi seenaknya oleh kaum imperialis Jepang dan Eropa. Keputusannya banting stir dari dunia medis dan kedokteran ke dunia seni dan pergerakan adalah sebuah pilihan yang niscaya baginya.
Dalam “Panggilan Berjuang” Lu Xun menegaskan bahwa selain dengan keyakinannya sendiri, ia tidak bisa menghilangkan harapan yang dijanjikan masa depan. “Aku tak bisa mengelak akan keniscayaan harapan itu”, tulisnya. Ia menganggap sastra-lah yang paling baik untuk mewujudkan tujuan dan harapannya dalam pergerakan.
Parahnya, sedari awal perjuangan Lu Xun adalah perjuangan yang bertolak dari mimpi dan kesepian. Walau karya sastranya condong ke arah “kiri” ia sama sekali bukan komunis. Keterasingan Lu Xun kentara sekali dalam setiap karyanya. Keterasingan ini timbul entah dari kehidupannya yang penuh kegetiran atau kekecewaan masa lalu yang mendalam.
Latar belakang inilah yang memicu lahirnya CHOG. Orang gila—atau skizofrenia dalam cerita ini—adalah representasi dari kehidupan bangsa Cina itu sendiri. Sang adik secara tidak sadar ternyata hidup dalam wilayah para kanibal, yang bisa diasosiasikan dengan Cina yang selalu dilanda perang saudara dan secara tidak sadar mulai dijajah oleh para imperialis asing.
Ada sisi satir dalam cerpen ini. Sang adik yang menderita skizofrenia, ternyata adalah satu-satunya orang yang sadar dengan kondisi “kanibalisme” yang terjadi di desanya, yaitu Desa Anak Serigala. Bahkan setelah sadar pun, sang adik tetap mempunyai pengharapan walau terlambat, sebagaimana kutipan berikut:
Bagaimana mungkin seorang manusia seperti diriku, setelah empat ribu tahun tersekap dalam sejarah kawanan kanibal—meskipun pada mulanya aku tidak mengetahui apa-apa mengenainya—pernah berharap untuk menghadapi manusia yang sebenarnya?” (CHOG: 20-21).
Angka empat ribu tahun di sini bisa berarti banyak. Mungkin untuk memberi kesan saking lamanya sang adik terjebak dalam wilayah kanibal itu. Atau itu hanya coretan seorang penderita skizofrenia yang tidak paham tentang konsep ruang dan waktu.
Empat ribu tahun juga sebuah rentang waktu yang mengisi sejarah bangsa China. Dinasti pertama China yang tercatat dalam sejarah adalah Dinasti Xia yang kekuasaannya berlangsung antara tahun 2100 SM – 1600 SM. Jika dihitung hingga CHOG ditulis maka muncullah angka + 4000 tahun. Apakah ini kebetulan? Saya rasa tidak. Lu Xun telah membuat sebuah sindiran tentang bangsanya sendiri dengan cukup cerdas. Selama rentang waktu 4000 tahun, China selalu diwarnai politik kekuasaan, perang saudara, dan perebutan wilayah.
Sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan. Begitu pula dengan karya-karya Lu Xun. Tidak hanya berkutat pada kritik pada penguasa, borjuisme, dan para intelektual yang ternyata juga merupakan makhluk serakah. Pengaruh sosial ini tentu saja mempunyai hubungan kausalitas dengan karya sastra. Hubungan kausal ini dapat dianggap sedemikian kuatnya, sehingga sebuah narasi sastra dipandang tidak lain dari refleksi struktur sosial di mana seorang pengarang menghasilkan karyanya.
Meskipun berpandangan revolusioner, Lu Xun tetap seorang pengarang yang terkenal dan tangguh, yang selalu mempertahankan ekspresi sastra dan kebebasan yang dibutuhkan. Ungkapannya yang sangat terkenal adalah:
Walaupun semua sastra adalah propaganda, tidak semua propaganda adalah sastra; seperti semua bunga punya warna (saya anggap putih sebagai warna), tidak semua benda berwarna adalah bunga. Di samping semboyan, slogan, pengumuman, telegram dan textbook, revolusi membutuhkan sastra—hanya karena sastra adalah sastra” (Fokkema, 1998)


Oleh karena itu, karyanya berhasil menukik lebih dalam. Masuk ke dalam setiap sendi kehidupan. Seperti karya Maxim Gorkhi yang melayangkan kritik lewat kehidupan pribadi pelajar, buruh, gelandangan dan orang-orang desa di Rusia pada masa sebelum dan setelah revolusi.
Dengan membaca CHOG, kita semua dipaksa untuk merenung. Di tempat apakah kita hidup selama ini? Apa yang akan kita wariskan pada generasi setelah kita? Benarkah kita masih menjadi “manusia”? Ada baiknya kita kutip kembali paragraf terakhir dalam CHOG:
Pertanyaannya kemudian, masih adakah anak semua bangsa dari generasi paling baru yang belum dirasuki hawa jahat kanibalisme itu? Barangkali ada. Maka selamatkanlah mereka….” (CHOG: 21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

11 Apr 2015

Catatan Harian Orang Gila (Cerpen) - Lu Xun



DALAM Catatan Harian Orang Gila, Lu Xun bercerita tentang tokoh “aku” yang secara tidak sengaja mendengar kabar, bahwa salah satu dari dua bersaudara yang menjadi sahabat karibnya ketika sekolah menengah atas, tengah menderita sakit yang serius. Ketika tokoh “aku” menyempatkan diri singgah ke tempat mereka untuk menengok, ia hanya bertemu dengan salah satu dari mereka, yang kemudian memberitahu bahwa yang sakit itu adalah adiknya.
Dari sini cerita pun mengalir. Tokoh “aku” diperlihatkan oleh sang kakak catatan harian yang ditulis oleh adiknya. Menurut sang kakak, dengan membaca catatan harian sang adik, karakter penyakit masa lalu adiknya dapat diketahui.
Setelah membaca sampai khatam, tokoh “aku” menyimpulkan jikalau penyakit yang diderita sang adik adalah skizofrenia. Tokoh aku—yang sepertinya berprofesi sebagai tenaga medis—telah menyalin sebagian untuk memanfaatkannya sebagai subyek penelitian medis. Cerita selanjutnya pun berkisah tentang catatan harian yang ditulis oleh sang adik yang terdiri dari 13 bagian.
Awal mula gejala skizofrenia sang adik tampak pada bagian kedua. Dalam catatan hariannya, sang adik teringat akan kejadian “dua puluh tahun yang silam”.
Bertambah-tambahlah keherananku. Salah apa aku dengan Tuan Chao dan orang-orang di jalanan itu. Aku tak dapat memikirkan apa pun kecuali bahwa dua puluh tahun yang silam aku telah menginjak-injak kertas catatan Tuan Ku Chiu dan tampaknya ia tak senang” (CHOG: 4)
Ku Chiu sendiri berarti “Zaman Kuno”. Adegan penginjakan “Zaman Kuno” dalam cerpen ini tampaknya menjadi biang keladi dari penyakit sang adik. Sang adik seperti mendapat sebuah kutukan yang terus memburunya. Sejak saat itu, sang adik mengidap skizofrenia paranoid tertentu terhadap sekitarnya. Ia merasa Tuan Chao melihatnya dengan tatapan aneh seolah-olah ingin membunuhnya. Orang-orang di sekitarnya pun membicarakannya dengan berbisik-bisik.
Pada penderita skizofrenia paranoid, waham mereka sering kali mencakup tema-tema kebesaran, persekusi atau kecemburuan. Mereka meyakini, contohnya, bahwa pasangan atau kekasih mereka tidak setia, tanpa peduli akan tiadanya bukti. Mereka juga sangat gelisah, bingung dan ketakutan.
Setelah kejadian penginjakan kertas catatan Tuan Ku Chiu, serentetan gangguan psikotik pun mendera sang adik. Dimulai dari gangguan pikiran saat sang adik berpapasan dengan Tuan Chao.
Ia menatapku dengan tatapan aneh dan was-was, seolah-olah dia ingin membunuhku. Tujuh atau delapan orang yang lain membicarakanku dengan setengah berbisik” (CHOG: 3)
Gangguan pikiran tersebut langsung menimbulkan pengaruh pada perilaku sang adik. Sang adik merasa sekujur tubuhnya kedinginan karena salah seorang dari yang membicarakannya menyeringai ke arahnya. Perilaku “kedinginan” ini sangat tidak wajar, mengingat dalam cerita tidak diceritakan sedang tidak ada hujan dan tidak ada angin.
Karena perasaan tertekan terus menerus, persepsi sang adik terhadap lingkungan sekitar pun turut terganggu. Ia melihat “semua orang yang berwajah hijau dan bergigi panjang itu mulai tertawa mengejek” (CHOG: 5). “Gigi mereka putih dan berkilau; mereka semua adalah kanibal” (CHOG: 6). Hingga akhirnya, ketika sang adik dibawakan makan siang oleh Chen Tua berupa sayuran dan semangkuk ikan kukus, ia “tidak dapat lagi membedakan apakah potongan-potongan tipis ini adalah ikan atau daging manusia” (CHOG: 8).
Semua bayangan tentang kanibalisme—yang menurut sang adik terjadi di Desa Anak Serigala—telah membuat emosinya menjadi terganggu. Emosinya menjadi datar dalam menganggapi suatu hal. Hal ini tampak dalam percakapan sang adik dengan “seseorang” pada bagian delapan. Sang adik bertanya: “apakah boleh memakan daging manusia?” (CHOG: 13). Jawaban tokoh seseorang tidak dapat memuaskannya sama sekali. Sehingga sang adik menarik kesimpulan:
Dia pasti telah diajari oleh kedua orangtuanya. Dan aku takut kalau dia sudah mengajari putranya. Itulah sebabnya bahkan anak-anak pun melihat ke arahku dengan buasnya” (CHOG: 15).
Selain waham persekusi, sang adik juga mendapat gangguan isi pikiran berupa waham dikendalikan. Hal ini tampak pada bagian tujuh dalam catatan harian tersebut:
Aku memahami cara-cara mereka; mereka tidak berkeinginan untuk membunuh seseorang di luar hukum, sekaligus tidak benar-benar berani, karena takut akan akibat-akibatnya. Malah sebaliknya, mereka bersekutu dan membuat jebakan di mana-mana, untuk memaksaku agar bunuh diri” (CHOG: 12).
Akhirnya, semua paranoid sang adik bertumpu pada satu orang, sang kakak. Menurutnya, sang kakak lah yang mengakibatkan semua masalah dalam hidupnya. Sang kakak yang terlalu superior membuat sang adik lambat laun tersiksa dalam suasana inferior. Bahkan, sang adik pun menyangka kakaknya lah yang telah membunuh adik perempuan mereka, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut:
Kupungut sumpitku. Pikiranku hanya tertuju pada satu titik: kakakku; aku tahu kini bagaimana adik perempuanku meninggal. Tidak salah lagi, dialah pembunuhnya. Saat itu, adikku baru berumur lima tahun. Masih segar dalam ingatanku betapa memikat dan memelas wajah kakakku setelah peristiwa itu. Ibu menangis dan menangis, tapi dia mengiba agar ibu jangan menanmgis, mungkin karena dia sendiri yang telah memakan adik, dan tangisan ibu membuatnya malu. Seandainya dia memiliki secuil rasa malu….” (CHOG: 19).
Paranoid terhadap kakaknya berujung pada suatu kesimpulan. Sang adik menyadari telah lama hidup dalam teritori kanibal. Dan menurutnya, hal tersebut sudah berlangsung selama ribuan tahun.

Lahir di Zamannya

APA kira-kira yang membuat Lu Xun menulis tentang catatan seorang penyandang skizofrenia? Apakah sewaktu Lu Xun menulis CHOG, skizofrenia sudah menjadi fenomena yang umum seperti sekarang? Banyak kritikus yang menafsirkan CHOG dengan kondisi sosio-kultural Cina pada masa itu. Cina pada waktu itu sedang mengalami masa gejolak yang sangat besar. Lu Xun sendiri terlibat dalam gerakan penggulingan Dinasti Qing yang disebut Guang Fu Hui. Gerakan ini timbul oleh rasa frustrasi karena penolakan Dinasti Qing untuk melakukan reformasi serta karena kelemahan Cina terhadap negara-negara lain, membuat timbulnya revolusi yang terinspirasi oleh ide-ide Sun Yat-sen untuk menghapuskan sistem kerajaan dan menerapkan sistem republik di Cina.
Praktis ia pun menjadi saksi dan pelaku sejarah. Ia melihat bagaimana kota-kota besar di Tiongkok dijarah dan dibagi-bagi seenaknya oleh kaum imperialis Jepang dan Eropa. Keputusannya banting stir dari dunia medis dan kedokteran ke dunia seni dan pergerakan adalah sebuah pilihan yang niscaya baginya.
Dalam “Panggilan Berjuang” Lu Xun menegaskan bahwa selain dengan keyakinannya sendiri, ia tidak bisa menghilangkan harapan yang dijanjikan masa depan. “Aku tak bisa mengelak akan keniscayaan harapan itu”, tulisnya. Ia menganggap sastra-lah yang paling baik untuk mewujudkan tujuan dan harapannya dalam pergerakan.
Parahnya, sedari awal perjuangan Lu Xun adalah perjuangan yang bertolak dari mimpi dan kesepian. Walau karya sastranya condong ke arah “kiri” ia sama sekali bukan komunis. Keterasingan Lu Xun kentara sekali dalam setiap karyanya. Keterasingan ini timbul entah dari kehidupannya yang penuh kegetiran atau kekecewaan masa lalu yang mendalam.
Latar belakang inilah yang memicu lahirnya CHOG. Orang gila—atau skizofrenia dalam cerita ini—adalah representasi dari kehidupan bangsa Cina itu sendiri. Sang adik secara tidak sadar ternyata hidup dalam wilayah para kanibal, yang bisa diasosiasikan dengan Cina yang selalu dilanda perang saudara dan secara tidak sadar mulai dijajah oleh para imperialis asing.
Ada sisi satir dalam cerpen ini. Sang adik yang menderita skizofrenia, ternyata adalah satu-satunya orang yang sadar dengan kondisi “kanibalisme” yang terjadi di desanya, yaitu Desa Anak Serigala. Bahkan setelah sadar pun, sang adik tetap mempunyai pengharapan walau terlambat, sebagaimana kutipan berikut:
Bagaimana mungkin seorang manusia seperti diriku, setelah empat ribu tahun tersekap dalam sejarah kawanan kanibal—meskipun pada mulanya aku tidak mengetahui apa-apa mengenainya—pernah berharap untuk menghadapi manusia yang sebenarnya?” (CHOG: 20-21).
Angka empat ribu tahun di sini bisa berarti banyak. Mungkin untuk memberi kesan saking lamanya sang adik terjebak dalam wilayah kanibal itu. Atau itu hanya coretan seorang penderita skizofrenia yang tidak paham tentang konsep ruang dan waktu.
Empat ribu tahun juga sebuah rentang waktu yang mengisi sejarah bangsa China. Dinasti pertama China yang tercatat dalam sejarah adalah Dinasti Xia yang kekuasaannya berlangsung antara tahun 2100 SM – 1600 SM. Jika dihitung hingga CHOG ditulis maka muncullah angka + 4000 tahun. Apakah ini kebetulan? Saya rasa tidak. Lu Xun telah membuat sebuah sindiran tentang bangsanya sendiri dengan cukup cerdas. Selama rentang waktu 4000 tahun, China selalu diwarnai politik kekuasaan, perang saudara, dan perebutan wilayah.
Sebuah karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan. Begitu pula dengan karya-karya Lu Xun. Tidak hanya berkutat pada kritik pada penguasa, borjuisme, dan para intelektual yang ternyata juga merupakan makhluk serakah. Pengaruh sosial ini tentu saja mempunyai hubungan kausalitas dengan karya sastra. Hubungan kausal ini dapat dianggap sedemikian kuatnya, sehingga sebuah narasi sastra dipandang tidak lain dari refleksi struktur sosial di mana seorang pengarang menghasilkan karyanya.
Meskipun berpandangan revolusioner, Lu Xun tetap seorang pengarang yang terkenal dan tangguh, yang selalu mempertahankan ekspresi sastra dan kebebasan yang dibutuhkan. Ungkapannya yang sangat terkenal adalah:
Walaupun semua sastra adalah propaganda, tidak semua propaganda adalah sastra; seperti semua bunga punya warna (saya anggap putih sebagai warna), tidak semua benda berwarna adalah bunga. Di samping semboyan, slogan, pengumuman, telegram dan textbook, revolusi membutuhkan sastra—hanya karena sastra adalah sastra” (Fokkema, 1998)


Oleh karena itu, karyanya berhasil menukik lebih dalam. Masuk ke dalam setiap sendi kehidupan. Seperti karya Maxim Gorkhi yang melayangkan kritik lewat kehidupan pribadi pelajar, buruh, gelandangan dan orang-orang desa di Rusia pada masa sebelum dan setelah revolusi.
Dengan membaca CHOG, kita semua dipaksa untuk merenung. Di tempat apakah kita hidup selama ini? Apa yang akan kita wariskan pada generasi setelah kita? Benarkah kita masih menjadi “manusia”? Ada baiknya kita kutip kembali paragraf terakhir dalam CHOG:
Pertanyaannya kemudian, masih adakah anak semua bangsa dari generasi paling baru yang belum dirasuki hawa jahat kanibalisme itu? Barangkali ada. Maka selamatkanlah mereka….” (CHOG: 21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar