DALAM Catatan Harian Orang Gila, Lu Xun
bercerita tentang tokoh “aku” yang secara tidak sengaja mendengar kabar, bahwa
salah satu dari dua bersaudara yang menjadi sahabat karibnya ketika sekolah menengah
atas, tengah menderita sakit yang serius. Ketika tokoh “aku” menyempatkan diri
singgah ke tempat mereka untuk menengok, ia hanya bertemu dengan salah satu
dari mereka, yang kemudian memberitahu bahwa yang sakit itu adalah adiknya.
Dari sini
cerita pun mengalir. Tokoh “aku” diperlihatkan oleh sang kakak catatan harian
yang ditulis oleh adiknya. Menurut sang kakak, dengan membaca catatan harian
sang adik, karakter penyakit masa lalu adiknya dapat diketahui.
Setelah
membaca sampai khatam, tokoh “aku” menyimpulkan jikalau penyakit yang diderita
sang adik adalah skizofrenia. Tokoh aku—yang sepertinya berprofesi sebagai
tenaga medis—telah menyalin sebagian untuk memanfaatkannya sebagai subyek
penelitian medis. Cerita selanjutnya pun berkisah tentang catatan harian yang
ditulis oleh sang adik yang terdiri dari 13 bagian.
Awal mula
gejala skizofrenia sang adik tampak pada bagian kedua. Dalam catatan hariannya,
sang adik teringat akan kejadian “dua puluh tahun yang silam”.
“Bertambah-tambahlah keherananku. Salah
apa aku dengan Tuan Chao dan orang-orang di jalanan itu. Aku tak dapat memikirkan
apa pun kecuali bahwa dua puluh tahun yang silam aku telah menginjak-injak
kertas catatan Tuan Ku Chiu dan tampaknya ia tak senang” (CHOG: 4)
Ku Chiu sendiri berarti “Zaman Kuno”. Adegan
penginjakan “Zaman Kuno” dalam cerpen ini tampaknya menjadi biang keladi dari
penyakit sang adik. Sang adik seperti mendapat sebuah kutukan yang terus
memburunya. Sejak saat itu, sang adik mengidap skizofrenia paranoid tertentu
terhadap sekitarnya. Ia merasa Tuan Chao melihatnya dengan tatapan aneh
seolah-olah ingin membunuhnya. Orang-orang di sekitarnya pun membicarakannya
dengan berbisik-bisik.
Pada penderita
skizofrenia paranoid, waham mereka sering kali mencakup tema-tema kebesaran,
persekusi atau kecemburuan. Mereka meyakini, contohnya, bahwa pasangan atau
kekasih mereka tidak setia, tanpa peduli akan tiadanya bukti. Mereka juga
sangat gelisah, bingung dan ketakutan.
Setelah
kejadian penginjakan kertas catatan Tuan Ku Chiu, serentetan gangguan psikotik
pun mendera sang adik. Dimulai dari gangguan pikiran saat sang adik berpapasan
dengan Tuan Chao.
“Ia menatapku dengan tatapan aneh dan
was-was, seolah-olah dia ingin membunuhku. Tujuh atau delapan orang yang lain
membicarakanku dengan setengah berbisik” (CHOG: 3)
Gangguan
pikiran tersebut langsung menimbulkan pengaruh pada perilaku sang adik. Sang
adik merasa sekujur tubuhnya kedinginan karena salah seorang dari yang
membicarakannya menyeringai ke arahnya. Perilaku “kedinginan” ini sangat tidak
wajar, mengingat dalam cerita tidak diceritakan sedang tidak ada hujan dan
tidak ada angin.
Karena
perasaan tertekan terus menerus, persepsi sang adik terhadap lingkungan sekitar
pun turut terganggu. Ia melihat “semua
orang yang berwajah hijau dan bergigi panjang itu mulai tertawa mengejek” (CHOG: 5). “Gigi mereka putih dan berkilau; mereka semua adalah kanibal” (CHOG: 6). Hingga akhirnya, ketika sang
adik dibawakan makan siang oleh Chen Tua berupa sayuran dan semangkuk ikan
kukus, ia “tidak dapat lagi membedakan
apakah potongan-potongan tipis ini adalah ikan atau daging manusia” (CHOG: 8).
Semua bayangan tentang kanibalisme—yang
menurut sang adik terjadi di Desa Anak Serigala—telah membuat emosinya menjadi
terganggu. Emosinya menjadi datar dalam menganggapi suatu hal. Hal ini tampak
dalam percakapan sang adik dengan “seseorang” pada bagian delapan. Sang adik
bertanya: “apakah boleh memakan daging
manusia?” (CHOG: 13). Jawaban
tokoh seseorang tidak dapat memuaskannya sama sekali. Sehingga sang adik
menarik kesimpulan:
“Dia pasti telah diajari oleh kedua
orangtuanya. Dan aku takut kalau dia sudah mengajari putranya. Itulah sebabnya
bahkan anak-anak pun melihat ke arahku dengan buasnya” (CHOG: 15).
Selain waham
persekusi, sang adik juga mendapat gangguan isi pikiran berupa waham
dikendalikan. Hal ini tampak pada bagian tujuh dalam catatan harian tersebut:
“Aku memahami cara-cara mereka; mereka
tidak berkeinginan untuk membunuh seseorang di luar hukum, sekaligus tidak
benar-benar berani, karena takut akan akibat-akibatnya. Malah sebaliknya,
mereka bersekutu dan membuat jebakan di mana-mana, untuk memaksaku agar bunuh
diri” (CHOG: 12).
Akhirnya,
semua paranoid sang adik bertumpu pada satu orang, sang kakak. Menurutnya, sang
kakak lah yang mengakibatkan semua masalah dalam hidupnya. Sang kakak yang
terlalu superior membuat sang adik lambat laun tersiksa dalam suasana inferior.
Bahkan, sang adik pun menyangka kakaknya lah yang telah membunuh adik perempuan
mereka, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut:
“Kupungut sumpitku. Pikiranku hanya
tertuju pada satu titik: kakakku; aku tahu kini bagaimana adik perempuanku
meninggal. Tidak salah lagi, dialah pembunuhnya. Saat itu, adikku baru berumur
lima tahun. Masih segar dalam ingatanku betapa memikat dan memelas wajah
kakakku setelah peristiwa itu. Ibu menangis dan menangis, tapi dia mengiba agar
ibu jangan menanmgis, mungkin karena dia sendiri yang telah memakan adik, dan
tangisan ibu membuatnya malu. Seandainya dia memiliki secuil rasa malu….” (CHOG: 19).
Paranoid
terhadap kakaknya berujung pada suatu kesimpulan. Sang adik menyadari telah
lama hidup dalam teritori kanibal. Dan menurutnya, hal tersebut sudah
berlangsung selama ribuan tahun.
Lahir di Zamannya
APA kira-kira yang
membuat Lu Xun menulis tentang catatan seorang penyandang skizofrenia? Apakah
sewaktu Lu Xun menulis CHOG, skizofrenia sudah menjadi fenomena yang umum
seperti sekarang? Banyak kritikus yang menafsirkan CHOG dengan kondisi
sosio-kultural Cina pada masa itu. Cina pada waktu itu sedang mengalami masa
gejolak yang sangat besar. Lu Xun sendiri terlibat dalam gerakan penggulingan
Dinasti Qing yang disebut Guang Fu Hui. Gerakan ini timbul oleh rasa frustrasi
karena penolakan Dinasti Qing untuk melakukan reformasi serta karena kelemahan
Cina terhadap negara-negara lain, membuat timbulnya revolusi yang terinspirasi
oleh ide-ide Sun Yat-sen untuk menghapuskan sistem kerajaan dan menerapkan
sistem republik di Cina.
Praktis ia
pun menjadi saksi dan pelaku sejarah. Ia melihat bagaimana kota-kota besar di
Tiongkok dijarah dan dibagi-bagi seenaknya oleh kaum imperialis Jepang dan
Eropa. Keputusannya banting stir dari dunia medis dan kedokteran ke dunia seni
dan pergerakan adalah sebuah pilihan yang niscaya baginya.
Dalam
“Panggilan Berjuang” Lu Xun menegaskan bahwa selain dengan keyakinannya
sendiri, ia tidak bisa menghilangkan harapan yang dijanjikan masa depan. “Aku tak bisa mengelak akan keniscayaan
harapan itu”, tulisnya. Ia menganggap sastra-lah yang paling baik untuk
mewujudkan tujuan dan harapannya dalam pergerakan.
Parahnya, sedari awal perjuangan Lu Xun
adalah perjuangan yang bertolak dari mimpi dan kesepian. Walau karya sastranya
condong ke arah “kiri” ia sama sekali bukan komunis. Keterasingan Lu Xun
kentara sekali dalam setiap karyanya. Keterasingan ini timbul entah dari
kehidupannya yang penuh kegetiran atau kekecewaan masa lalu yang mendalam.
Latar
belakang inilah yang memicu lahirnya CHOG. Orang gila—atau skizofrenia dalam
cerita ini—adalah representasi dari kehidupan bangsa Cina itu sendiri. Sang
adik secara tidak sadar ternyata hidup dalam wilayah para kanibal, yang bisa
diasosiasikan dengan Cina yang selalu dilanda perang saudara dan secara tidak
sadar mulai dijajah oleh para imperialis asing.
Ada sisi
satir dalam cerpen ini. Sang adik yang menderita skizofrenia, ternyata adalah
satu-satunya orang yang sadar dengan kondisi “kanibalisme” yang terjadi di
desanya, yaitu Desa Anak Serigala. Bahkan setelah sadar pun, sang adik tetap
mempunyai pengharapan walau terlambat, sebagaimana kutipan berikut:
“Bagaimana mungkin seorang manusia seperti
diriku, setelah empat ribu tahun tersekap dalam sejarah kawanan
kanibal—meskipun pada mulanya aku tidak mengetahui apa-apa mengenainya—pernah
berharap untuk menghadapi manusia yang sebenarnya?” (CHOG: 20-21).
Angka empat
ribu tahun di sini bisa berarti banyak. Mungkin untuk memberi kesan saking
lamanya sang adik terjebak dalam wilayah kanibal itu. Atau itu hanya coretan
seorang penderita skizofrenia yang tidak paham tentang konsep ruang dan waktu.
Empat ribu
tahun juga sebuah rentang waktu yang mengisi sejarah bangsa China. Dinasti
pertama China yang tercatat dalam sejarah adalah Dinasti Xia yang kekuasaannya
berlangsung antara tahun 2100 SM – 1600 SM. Jika dihitung hingga CHOG ditulis
maka muncullah angka + 4000 tahun. Apakah ini kebetulan? Saya rasa
tidak. Lu Xun telah membuat sebuah sindiran tentang bangsanya sendiri dengan
cukup cerdas. Selama rentang waktu 4000 tahun, China selalu diwarnai politik
kekuasaan, perang saudara, dan perebutan wilayah.
Sebuah karya
sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan
tempat karya itu dihasilkan. Begitu pula dengan karya-karya Lu Xun. Tidak hanya
berkutat pada kritik pada penguasa, borjuisme, dan para intelektual yang
ternyata juga merupakan makhluk serakah. Pengaruh sosial ini tentu saja
mempunyai hubungan kausalitas dengan karya sastra. Hubungan kausal ini dapat
dianggap sedemikian kuatnya, sehingga sebuah narasi sastra dipandang tidak lain
dari refleksi struktur sosial di mana seorang pengarang menghasilkan karyanya.
Meskipun berpandangan
revolusioner, Lu Xun tetap seorang pengarang yang terkenal dan tangguh, yang
selalu mempertahankan ekspresi sastra dan kebebasan yang dibutuhkan.
Ungkapannya yang sangat terkenal adalah:
“Walaupun semua sastra adalah propaganda,
tidak semua propaganda adalah sastra; seperti semua bunga punya warna (saya
anggap putih sebagai warna), tidak semua benda berwarna adalah bunga. Di
samping semboyan, slogan, pengumuman, telegram dan textbook, revolusi
membutuhkan sastra—hanya karena sastra adalah sastra” (Fokkema, 1998)
Oleh karena
itu, karyanya berhasil menukik lebih dalam. Masuk ke dalam setiap sendi
kehidupan. Seperti karya Maxim Gorkhi yang melayangkan kritik lewat kehidupan
pribadi pelajar, buruh, gelandangan dan orang-orang desa di Rusia pada masa
sebelum dan setelah revolusi.
Dengan
membaca CHOG, kita semua dipaksa untuk merenung. Di tempat apakah kita hidup
selama ini? Apa yang akan kita wariskan pada generasi setelah kita? Benarkah
kita masih menjadi “manusia”? Ada baiknya kita kutip kembali paragraf terakhir
dalam CHOG:
“Pertanyaannya kemudian, masih adakah anak
semua bangsa dari generasi paling baru yang belum dirasuki hawa jahat
kanibalisme itu? Barangkali ada. Maka selamatkanlah mereka….” (CHOG: 21)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar