9 Nov 2015

7 November, 98 Tahun yang Lalu

7 November, 98 tahun yang lalu, adalah hari bagi kemenangan Revolusi Rusia 1917. Lelaki botak bermata Tar-Tar, Vladimir Ilyich Lenin, berhasil mengombinasikan kepemimpinan praksis revolusioner dengan sumbangan teoritis yang penting bagi pemahaman sosialis tentang dunia dan bagaimana mengubahnya. Dua kontribusi teoritisnya yang paling penting adalah tentang Imperialisme dan strategi revolusioner di negara-negara terbelakang yang tereksploitasi. Mari kita bahas satu per satu.
Imperialisme:
Saat ini dunia masih didominasi oleh sebuah sistem yang membaginya dalam dua pihak, kaya dan miskin, yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi--tidak hanya antar bangsa, tapi juga diantara bangsa itu sendiri. Sistem yang memaksa orang (klas pekerja atau proletariat) untuk bekerja agar bisa tetap hidup di bawah kontrol mereka (klas penguasa atau borjuasi) yang memiliki semua industri-industri kunci. Klas penguasa dari berbagai bangsa yang berbeda bersaing untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan mengeksploitasi yang lainnya demi keuntungan kapital. Watak dasar sistem inilah yang dianalisa oleh Lenin di tahun 1916. Sebuah kejadian yang menguatkan pembangunan teori Lenin adalah Perang Dunia I, kaum Marxis memahaminya sebagai pertempuran di antara klas penguasa di negara-negara kapitalis maju untuk meraih kontrol sepenuhnya atas dunia beserta sumber daya alamnya.Telah banyak peperangan yang terjadi di abad ini karena pertempuran yang sama, demi pasar yang lebih besar untuk penjualan produk mereka, dan kontrol yang lebih besar atas sumber daya alam dan kaum buruh yang bisa diperbudak.
Salah satu faktor disebutnya sebuah negara sebagai imperialis adalah klas penguasa di suatu negara memunyai modal atau keuntungan yang dapat digunakan untuk investasi di negara lain; investasi itu untuk membeli bahan mentah dan buruh yang ada di negara tempat investasi, dan untuk mengisap laba dari mereka.
Negara Imperialis mulai mendominasi negara dunia ketiga melalui kontrol penjajahan langsung. Sekarang kontrol mereka itu kebanyakan mengambil bentuk dominasi ekonomi atau modal. Kucuran utang yang diberikan bank-bank negara maju kepada Dunia Ketiga yang dipaksakan untuk membiayai "pembangunan" dengan menggunakan pinjaman tersebut, memaksa negara-negara Dunia Ketiga tersebut untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan dari negara-negara imperialis untuk mengeksploitasi secara massif sumber daya alam dan kaum buruh mereka.
Pembagi-bagian dunia oleh kaum imperialis menyediakan sebuah lahan permanen bagi kapitalisme untuk mengeksploitasi secara massif klas pekerja. Sebagai contoh, Nike membayar buruhnya sebesar 25 sen dollar Australia perhari di pabrik mereka yang berada di Indonesia, tapi mereka menjual sepatunya di negara-negara maju seharga ratusan dollar.
Imperialisme mengurung negara dunia ketiga --lebih dari 4 per 5 populasi dunia- dalam kemelaratan, namun mereka mengingkarinya secara sistematis, dengan argumen teknologi dan bantuan finansial yang diberikan itu dibutuhkan untuk pembangunan.
Keuntungan besar bagi klas penguasa di negara-negara imperialis dengan digunakannya sistem ini, memungkinkan kaum penindas itu untuk memperoleh sebuah derajat ketentraman sosial tertentu di negara-negara Dunia Pertama, khususnya Amerika, dengan menyediakan dalam kadar tertentu hak-hak istimewa, yang mengilusi banyak pekerja untuk mempertahankan sistem keuntungan individual. Lenin menyebut lapisan ini (yang terilusi dan menjadi antek kapitalis) sebagai “Aristokrat buruh”, yang seringkali merasa diri bukanlah bagian dari klas pekerja. Ilusi untuk mempertahankan sistem kapitalisme melanda negara-negara Dunia Pertama.
Biasanya, klas penguasa menggunakan kebanggaan nasionalisme untuk menghancurkan solidaritas para pekerja yang ada di negara Imperialis terhadap penindasan yang menimpa kaum buruh di negara Dunia Ketiga; terindoktrinisasi dalam apa yang disebut Wajib Militer. Karena mereka tahu, rasa solidaritas itulah yang dapat memenangkan perjuangan melawan eksploitasi imperialis. Rasisme biasanya juga digunakan untuk memecah-belah buruh-buruh di negara Dunia Pertama dan Ketiga.
Di negara-negara otoriter, sistem ini dipaksakan dengan cara-cara yang lebih brutal seperti kediktatoran, aturan-aturan militer yang hanya menguntungkan klas kapitalis, dan juga represi.
Lalu apa strategi yang diterapkan oleh Lenin pada saat itu?
Lenin menggunakan pengalamannya dalam membangun gerakan revolusioner di Rusia untuk memformulasikan teorinya tentang strategi revolusioner di negara-negara terbelakang.
Tugas terberat kaum revolusioner pada masa kekaisaran Rusia adalah memenangkan kesadaran yang ada pada klas pekerja, dan keterlibatan aktif mereka dalam proses revolusi. Mayoritas rakyat Rusia bukanlah buruh, melainkan para petani yang berada pada taraf subsistensi pra-industrial, dan hak-hak demokratik pun, meskipun bersifat terbatas, ditolak oleh Rezim represif Tsar.
Di Rusia tidak ada syarat untuk melahirkan Revolusi Borjuis seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Barat, di mana aturan-aturan monarki digantikan oleh parlemen yang terpilih. Adanya parlemen ini merefleksikan pertumbuhan kekuatan ekonomi di bidang politik, dan mereka, klas borjuis, menjadi klas penguasa yang baru. Borjuasi Rusia secara ekonomis sangat lemah, dan secara politis mereka takut untuk bekerja sama dengan klas buruh dan tani dalam revolusi borjuis.
Menurut teori “Uninterrupted Revolution“ (revolusi berkelanjutan) yang dikembangkan oleh Lenin, tahapan yang pertama adalah keterlibatan klas pekerja dan seluruh petani dalam penggulingan Tsar dan pembentukan sebuah republik demokratik. Yang kedua, tahapan sosialis yang melibatkan buruh yang bersatu dengan para petani miskin untuk melawan para kulak (tuan tanah).
Untuk memudahkan dan menerapkan tahapan yang pertama, Bolshevik meyakini sebuah sistem yang didasarkan pada perwakilan-perwakilan (soviet) buruh dan tani yang dipilih oleh rakyat. Sistem pemerintahan inilah yang akhirnya diterapkan setelah revolusi 1917.
Reformasi agraria akan tuntas ketika kontrol atau kepemilikan tanah yang dipegang oleh tuan-tuan tanah diambil-alih oleh para petani penggarap. Bagaimanapun, Lenin percaya bahwa para petani miskin tidak akan segera menyadari perbedaan kepentingan mereka dengan petani kaya, dan oleh karena itu, mereka juga tidak akan segera mendukung langkah-langkah sosialis seperti kolektivisasi tanah.
Dalam tahap kedua, kekuasaan politik digunakan oleh klas pekerja untuk memperoleh kontrol ekonomi secara langsung, dan untuk membantu para petani miskin dalam pengambil-alihan atas kontrol tanah.
Pada tahun 1918 Lenin menulis: “Sesuatu telah berubah seperti yang dulu kita katakan. Pelajaran yang didapat dari revolusi telah menegaskan kebenaran penjelasan atas argumen-argumen kita. Pertama, dengan kaum tani melawan monarki, melawan tuan-tuan tanah, melawan pemikiran abad pertengahan atau mediavalism (dan untuk meningkatkan revolusi terhadap sisa-sisa borjuasi, demokratik borjuis). Kemudian bersama dengan kaum petani miskin, semi-proletariat, dan semua yang tereksploitasi, mereka akan berperang membantai kapitalisme, termasuk orang-orang kaya pedesaan, para tengkulak, lintah-darat, dan semuanya itu meningkatkan revolusi ke tahapan sosialis. Jika kita berusaha mendirikan sebuah “Tembok Cina” antara tahap pertama dan kedua, untuk memisahkan keduanya dengan alasan selain tingkatan kesiapan proletariat dan tingkatan persatuan atau kesatuan dengan para petani, berarti sangat mendistorsi Marxisme, menjadikannya vulgar, memindahkan liberalisme ke tempatnya semula.
Ketika Karl Marx dan Frederick Engel meramalkan bahwa revolusi sosialis akan terjadi pertama kali di negara-negara kapitalis maju, ini bukanlah permasalahan bagaimana sejarah berjalan (proceeded). Mereka belum melihat dampak super-profit Imperialis dan aristokrasi perburuhan yang melanda klas pekerja di negara-negara maju.
Kemenangan revolusi Rusia menunjukkan bahwa kapitalisme akan hancur di mata rantainya yang paling lemah. Paska revolusi Rusia, hal ini terulang lagi dan lagi, mulai dari Kuba sampai Nikaragua, dari Vietnam ke Granada, hingga menunggu waktu untuk memerahkan Eropa.
Sesungguhnya, revolusi-revolusi ini sangat mudah dipatahkan, jika Lenin tidak menganalisis ulang akan teorinya. Imperialisme akan memperbesar kekuatannya untuk mendapatkan kembali kontrol dan dominasinya atas negara-negara yang telah memutuskan hubungan dengan kapitalisme. Tahun 1918, negara imperialis melakukan intervensi militer untuk mendukung kapitalis kontra-revolusi di Rusia. Amerika Serikat juga telah melakukan (memimpin) blokade ekonomi selama 40 tahun terhadap Kuba, namun revolusi di sana masih bisa diselamatkan.
Lenin berkata di tahun 1912, “Kita selalu mengutamakan dan memperteguh kebenaran mendasar Marxisme—bahwa usaha penggabungan kaum buruh dari berbagai belahan negara-negara maju adalah dibutuhkan untuk kemenangan Sosialisme."
Di negara-negara terbelakang, pemerintahan sosialis masih menggantungkan diri pada segelintir administrator dan manajer ahli untuk menjalankan ekonomi. Di Rusia, dominasi dilakukan oleh badan birokrasi yang berbasis pada lapisan sosial yang mengambil kekuasaan, yang saat itu dipimpin oleh Joseph Stalin. Lantas yang terjadi kemudian adalah; pria berkumis lebat itu meluluh-lantakkan semua pemikiran-pemikiran Bolshevik tentang organisasi sosial, demokrasi partai, dan internasionalisme.
Sayangnya, banyak yang mengganggap ide-ide tersebut (stalinisme) adalah sosialisme. Teori Stalin yang sungguh keliru, “Building Socialism in One Country” (Sosialisme dalam satu negeri) digunakan untuk mengorbankan perjuangan sosialis di banyak negara demi mempertahankan kepentingan-kepentingan mendesak Uni-Soviet. Sesungguhnya, tipikal nasionalis chauvinis ini bukanlah ajaran-ajaran dari Lenin, apalagi Karl Marx. Dan sejarah kelam era-Stalin inilah yang terus dikunyah-kunyah oleh praktisi-praktisi anti-Marxis hingga saat ini.
Karena imperialisme adalah sebuah sistem penindasan yang berskala Internasional, maka dibutuhkan sebuah perjuangan yang berskala internasional pula. Internasionalisme revolusioner menurut Lenin berarti mendukung perjuangan melawan segala penindasan dan eksploitasi yang terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk pemerintahan kita sendiri



















9 Nov 2015

7 November, 98 Tahun yang Lalu

7 November, 98 tahun yang lalu, adalah hari bagi kemenangan Revolusi Rusia 1917. Lelaki botak bermata Tar-Tar, Vladimir Ilyich Lenin, berhasil mengombinasikan kepemimpinan praksis revolusioner dengan sumbangan teoritis yang penting bagi pemahaman sosialis tentang dunia dan bagaimana mengubahnya. Dua kontribusi teoritisnya yang paling penting adalah tentang Imperialisme dan strategi revolusioner di negara-negara terbelakang yang tereksploitasi. Mari kita bahas satu per satu.
Imperialisme:
Saat ini dunia masih didominasi oleh sebuah sistem yang membaginya dalam dua pihak, kaya dan miskin, yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi--tidak hanya antar bangsa, tapi juga diantara bangsa itu sendiri. Sistem yang memaksa orang (klas pekerja atau proletariat) untuk bekerja agar bisa tetap hidup di bawah kontrol mereka (klas penguasa atau borjuasi) yang memiliki semua industri-industri kunci. Klas penguasa dari berbagai bangsa yang berbeda bersaing untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan mengeksploitasi yang lainnya demi keuntungan kapital. Watak dasar sistem inilah yang dianalisa oleh Lenin di tahun 1916. Sebuah kejadian yang menguatkan pembangunan teori Lenin adalah Perang Dunia I, kaum Marxis memahaminya sebagai pertempuran di antara klas penguasa di negara-negara kapitalis maju untuk meraih kontrol sepenuhnya atas dunia beserta sumber daya alamnya.Telah banyak peperangan yang terjadi di abad ini karena pertempuran yang sama, demi pasar yang lebih besar untuk penjualan produk mereka, dan kontrol yang lebih besar atas sumber daya alam dan kaum buruh yang bisa diperbudak.
Salah satu faktor disebutnya sebuah negara sebagai imperialis adalah klas penguasa di suatu negara memunyai modal atau keuntungan yang dapat digunakan untuk investasi di negara lain; investasi itu untuk membeli bahan mentah dan buruh yang ada di negara tempat investasi, dan untuk mengisap laba dari mereka.
Negara Imperialis mulai mendominasi negara dunia ketiga melalui kontrol penjajahan langsung. Sekarang kontrol mereka itu kebanyakan mengambil bentuk dominasi ekonomi atau modal. Kucuran utang yang diberikan bank-bank negara maju kepada Dunia Ketiga yang dipaksakan untuk membiayai "pembangunan" dengan menggunakan pinjaman tersebut, memaksa negara-negara Dunia Ketiga tersebut untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan dari negara-negara imperialis untuk mengeksploitasi secara massif sumber daya alam dan kaum buruh mereka.
Pembagi-bagian dunia oleh kaum imperialis menyediakan sebuah lahan permanen bagi kapitalisme untuk mengeksploitasi secara massif klas pekerja. Sebagai contoh, Nike membayar buruhnya sebesar 25 sen dollar Australia perhari di pabrik mereka yang berada di Indonesia, tapi mereka menjual sepatunya di negara-negara maju seharga ratusan dollar.
Imperialisme mengurung negara dunia ketiga --lebih dari 4 per 5 populasi dunia- dalam kemelaratan, namun mereka mengingkarinya secara sistematis, dengan argumen teknologi dan bantuan finansial yang diberikan itu dibutuhkan untuk pembangunan.
Keuntungan besar bagi klas penguasa di negara-negara imperialis dengan digunakannya sistem ini, memungkinkan kaum penindas itu untuk memperoleh sebuah derajat ketentraman sosial tertentu di negara-negara Dunia Pertama, khususnya Amerika, dengan menyediakan dalam kadar tertentu hak-hak istimewa, yang mengilusi banyak pekerja untuk mempertahankan sistem keuntungan individual. Lenin menyebut lapisan ini (yang terilusi dan menjadi antek kapitalis) sebagai “Aristokrat buruh”, yang seringkali merasa diri bukanlah bagian dari klas pekerja. Ilusi untuk mempertahankan sistem kapitalisme melanda negara-negara Dunia Pertama.
Biasanya, klas penguasa menggunakan kebanggaan nasionalisme untuk menghancurkan solidaritas para pekerja yang ada di negara Imperialis terhadap penindasan yang menimpa kaum buruh di negara Dunia Ketiga; terindoktrinisasi dalam apa yang disebut Wajib Militer. Karena mereka tahu, rasa solidaritas itulah yang dapat memenangkan perjuangan melawan eksploitasi imperialis. Rasisme biasanya juga digunakan untuk memecah-belah buruh-buruh di negara Dunia Pertama dan Ketiga.
Di negara-negara otoriter, sistem ini dipaksakan dengan cara-cara yang lebih brutal seperti kediktatoran, aturan-aturan militer yang hanya menguntungkan klas kapitalis, dan juga represi.
Lalu apa strategi yang diterapkan oleh Lenin pada saat itu?
Lenin menggunakan pengalamannya dalam membangun gerakan revolusioner di Rusia untuk memformulasikan teorinya tentang strategi revolusioner di negara-negara terbelakang.
Tugas terberat kaum revolusioner pada masa kekaisaran Rusia adalah memenangkan kesadaran yang ada pada klas pekerja, dan keterlibatan aktif mereka dalam proses revolusi. Mayoritas rakyat Rusia bukanlah buruh, melainkan para petani yang berada pada taraf subsistensi pra-industrial, dan hak-hak demokratik pun, meskipun bersifat terbatas, ditolak oleh Rezim represif Tsar.
Di Rusia tidak ada syarat untuk melahirkan Revolusi Borjuis seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Barat, di mana aturan-aturan monarki digantikan oleh parlemen yang terpilih. Adanya parlemen ini merefleksikan pertumbuhan kekuatan ekonomi di bidang politik, dan mereka, klas borjuis, menjadi klas penguasa yang baru. Borjuasi Rusia secara ekonomis sangat lemah, dan secara politis mereka takut untuk bekerja sama dengan klas buruh dan tani dalam revolusi borjuis.
Menurut teori “Uninterrupted Revolution“ (revolusi berkelanjutan) yang dikembangkan oleh Lenin, tahapan yang pertama adalah keterlibatan klas pekerja dan seluruh petani dalam penggulingan Tsar dan pembentukan sebuah republik demokratik. Yang kedua, tahapan sosialis yang melibatkan buruh yang bersatu dengan para petani miskin untuk melawan para kulak (tuan tanah).
Untuk memudahkan dan menerapkan tahapan yang pertama, Bolshevik meyakini sebuah sistem yang didasarkan pada perwakilan-perwakilan (soviet) buruh dan tani yang dipilih oleh rakyat. Sistem pemerintahan inilah yang akhirnya diterapkan setelah revolusi 1917.
Reformasi agraria akan tuntas ketika kontrol atau kepemilikan tanah yang dipegang oleh tuan-tuan tanah diambil-alih oleh para petani penggarap. Bagaimanapun, Lenin percaya bahwa para petani miskin tidak akan segera menyadari perbedaan kepentingan mereka dengan petani kaya, dan oleh karena itu, mereka juga tidak akan segera mendukung langkah-langkah sosialis seperti kolektivisasi tanah.
Dalam tahap kedua, kekuasaan politik digunakan oleh klas pekerja untuk memperoleh kontrol ekonomi secara langsung, dan untuk membantu para petani miskin dalam pengambil-alihan atas kontrol tanah.
Pada tahun 1918 Lenin menulis: “Sesuatu telah berubah seperti yang dulu kita katakan. Pelajaran yang didapat dari revolusi telah menegaskan kebenaran penjelasan atas argumen-argumen kita. Pertama, dengan kaum tani melawan monarki, melawan tuan-tuan tanah, melawan pemikiran abad pertengahan atau mediavalism (dan untuk meningkatkan revolusi terhadap sisa-sisa borjuasi, demokratik borjuis). Kemudian bersama dengan kaum petani miskin, semi-proletariat, dan semua yang tereksploitasi, mereka akan berperang membantai kapitalisme, termasuk orang-orang kaya pedesaan, para tengkulak, lintah-darat, dan semuanya itu meningkatkan revolusi ke tahapan sosialis. Jika kita berusaha mendirikan sebuah “Tembok Cina” antara tahap pertama dan kedua, untuk memisahkan keduanya dengan alasan selain tingkatan kesiapan proletariat dan tingkatan persatuan atau kesatuan dengan para petani, berarti sangat mendistorsi Marxisme, menjadikannya vulgar, memindahkan liberalisme ke tempatnya semula.
Ketika Karl Marx dan Frederick Engel meramalkan bahwa revolusi sosialis akan terjadi pertama kali di negara-negara kapitalis maju, ini bukanlah permasalahan bagaimana sejarah berjalan (proceeded). Mereka belum melihat dampak super-profit Imperialis dan aristokrasi perburuhan yang melanda klas pekerja di negara-negara maju.
Kemenangan revolusi Rusia menunjukkan bahwa kapitalisme akan hancur di mata rantainya yang paling lemah. Paska revolusi Rusia, hal ini terulang lagi dan lagi, mulai dari Kuba sampai Nikaragua, dari Vietnam ke Granada, hingga menunggu waktu untuk memerahkan Eropa.
Sesungguhnya, revolusi-revolusi ini sangat mudah dipatahkan, jika Lenin tidak menganalisis ulang akan teorinya. Imperialisme akan memperbesar kekuatannya untuk mendapatkan kembali kontrol dan dominasinya atas negara-negara yang telah memutuskan hubungan dengan kapitalisme. Tahun 1918, negara imperialis melakukan intervensi militer untuk mendukung kapitalis kontra-revolusi di Rusia. Amerika Serikat juga telah melakukan (memimpin) blokade ekonomi selama 40 tahun terhadap Kuba, namun revolusi di sana masih bisa diselamatkan.
Lenin berkata di tahun 1912, “Kita selalu mengutamakan dan memperteguh kebenaran mendasar Marxisme—bahwa usaha penggabungan kaum buruh dari berbagai belahan negara-negara maju adalah dibutuhkan untuk kemenangan Sosialisme."
Di negara-negara terbelakang, pemerintahan sosialis masih menggantungkan diri pada segelintir administrator dan manajer ahli untuk menjalankan ekonomi. Di Rusia, dominasi dilakukan oleh badan birokrasi yang berbasis pada lapisan sosial yang mengambil kekuasaan, yang saat itu dipimpin oleh Joseph Stalin. Lantas yang terjadi kemudian adalah; pria berkumis lebat itu meluluh-lantakkan semua pemikiran-pemikiran Bolshevik tentang organisasi sosial, demokrasi partai, dan internasionalisme.
Sayangnya, banyak yang mengganggap ide-ide tersebut (stalinisme) adalah sosialisme. Teori Stalin yang sungguh keliru, “Building Socialism in One Country” (Sosialisme dalam satu negeri) digunakan untuk mengorbankan perjuangan sosialis di banyak negara demi mempertahankan kepentingan-kepentingan mendesak Uni-Soviet. Sesungguhnya, tipikal nasionalis chauvinis ini bukanlah ajaran-ajaran dari Lenin, apalagi Karl Marx. Dan sejarah kelam era-Stalin inilah yang terus dikunyah-kunyah oleh praktisi-praktisi anti-Marxis hingga saat ini.
Karena imperialisme adalah sebuah sistem penindasan yang berskala Internasional, maka dibutuhkan sebuah perjuangan yang berskala internasional pula. Internasionalisme revolusioner menurut Lenin berarti mendukung perjuangan melawan segala penindasan dan eksploitasi yang terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk pemerintahan kita sendiri