3 Mar 2015

Moral Seorang Komunis

KISAH ini tak jauh beda dari ratusan-ribu kisah manusia Indonesia yang hidup dan besar di zaman Soekarno lainnya. Saya tulis beberapa tahun lalu, sepulang menghadiri pemakaman dari salah seorang sahabat ‘terbesar’ dalam hidup saya.

Pada suatu hari di bulan September, beberapa tahun yang lalu, saya berhenti di sebuah rumah tukang jahit untuk merepresi salah satu celana yang robek. Ada pemandangan yang ganjil yang pertama kali saya temui di tempat ini: semua penghuni–penjahitnya ada empat orang–adalah pria dan wanita yang sudah sangat uzur. Tak ada saya lihat satu pun pemuda atau anak kecil, bahkan bapak-ibu. Salah satu penjahit mengatakan kepada saya bahwa mereka berempat mengontrak rumah ini bersama-sama sejak tahun 2001. Sejak tahun 1977, mereka berempat sudah berpindah-pindah dalam menjalankan usaha kolektiv mereka. Pada salah satu penjahit, Pak Yasir, dengan lancang saya bertanya kenapa dan kemana: kenapa mereka berpindah-pindah, kenapa mereka selalu berempat dan kemana sanak famili mereka. Awalnya Pak Yasir enggan untuk menjawab. Beliau hanya diam termangu memandangi jari yang sibuk bergerak-gerak mengatur arah kain yang dipatukin jarum besi. Namun karena seringnya saya menyinggahi mereka, kekakuan itu mencair, dan rahasia-rahasia lama yang seharusnya hendak mereka simpan rapat di dalam gua hati mulai terbongkar.
Awal mulanya adalah ketika saya datang untuk mengepaskan ukuran jaket almamater yang terlalu kebesaran. Waktu itu entah kenapa saya begitu malasnya untuk mengobrol, hingga saya memutuskan untuk membaca saja. Kebetulan saya baru saja mendapatkan buku tua Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Tjerita Dari Blora. Dari ekor mata, saya dapat melihat berkali-kali Pak Yasir melirik ke arah buku yang saya pegang. Ia kelihatan gugup ketika saya menutup buku dan memandanginya. Dengan terbata-bata ia berkata:
“Itu, bukunya dapat darimana, Nak?”
Kecurigaan saya selama ini akhirnya terjawab hanya karena sebuah buku. Sepertinya ia menganggap bahwa saya bukanlah seorang picik seperti generasi muda yang lahir di zaman orde baru pada umumnya, hingga akhirnya ia mulai berbicara lepas terhadap saya.
“Di zaman Kakek, itu buku ngetop. Tapi penulisnya… kamu tahu dia siapa?” katanya.
Saya tersenyum dan mengangguk. Lantas dengan kelancangan dan kekurang-ajaran masyarakat urban, bertanya tanpa tedeng-aling aling kepadanya. “Bapak bekas PKI?”
Ia diam. Menghentikan segala aktivitas jahitnya, lalu pergi begitu saja meninggalkan saya. Buk Gemuk–karena memang gemuk–mendatangi saya, tersenyum lalu meneruskan jahitan yang tadi ditinggalkan oleh Pak Yasir. Setelah menanyai saya–mengetes, apakah saya termakan oleh propaganda orba atau tidak–akhirnya Bu Gemuk menceritakan kisah Pak Yasir kepada saya. Kira-kira begini kisahnya:

Mereka berempat adalah aktivis kiri–entah kenapa, Bu Gemuk tetap tak mau disebut komunis–di jaman Presiden Soekarno. Pak Yasir adalah aktivis BTI (Barisan Tani Indonesia), Bu Gemuk tergabung dalam HSI (Himpunan Sarjana Indonesia), sedangkan dua yang lain tergabung dalam SOBSI. Di masa mudanya, menurut Bu Gemuk, Pak Yasir adalah seorang ahli dalam teori marxisme-leninisme. Ia berapa kali diajak oleh Pak Asmu (ketua BTI pusat) untuk ikut dalam kongres PKI di Jakarta. Di kota saya sendiri (Medan) Pak Yasir adalah sahabat dari mantan Gubernur Sumatera Utara saat itu: Jenderal Ulung Sitepu.

Sebelum G/30/S meletus, Pak Yasir  menjalin persahabatan dengan orang-orang Nahdiyin (NU) dan orang-orang Marhaen (PNI). Beliau mengajak mereka untuk bersatupadu dalam membantu para petani yang berada jauh di pedalaman Deli Tua. Hampir setiap minggu, Pak Yasir dan teman-temannya datang ke daerah-daerah yang tak terjangkau kendaraan umum–mereka harus berjalan kaki sejauh 1 hingga 3 kilometer–untuk membawa pestisida, cangkul, dan segala macam kebutuhan para petani. Setiap sebulan sekali, mereka datang untuk mengambil panenan yang berlebih lantas menjualkannya ke kota.
Tak perlu bawa-bawa nama Tuhan jika hanya ingin membantu sesama manusia.

Pak Yasir juga salah seorang tokoh yang sangat menentang poligami dan patriarkisme dalam rumah tangga. Bu Gemuk mengenang bagaimana ketika Pak Yasir harus berkelahi dengan adik kandungnya sendiri akibat keinginan sang adik yang ingin mengambil istri muda.
“Itu sesuai anjuran moral dalam partai, Nak. Lah, Bung Njoto yang ganteng itu aja kena skorsing partai kan gara-gara mau kawin lagi, tau sama Bung Njoto?” katanya.
Pak Yasir juga pernah menghukum beberapa petani yang ketahuan menampar istri mereka masing-masing.
Kita sedang memperjuangkan terhapusnya sisa-sisa feodalisme, lah gimana mau jalan kalau masih ada yang semena-mena sebagai suami.”

Sebagai tokoh penting BTI, Pak Yasir hidup sangat sederhana. Kedua anaknya tak diizinkannya untuk naik sepeda ke sekolah bila diantara teman-temannya masih ada yang jalan kaki. Dia juga sering bertengkar dengan istrinya karena sang istri teramat sering mengancam untuk pulang ke rumah orang tua karena aktivitas Pak Yasir yang terlalu jarang berada di rumah.
Maka, meletuslah G/30/S! Rumah Pak Yasir diserbu massa. Dibakar dan barang-barangnya di jarah, begitupun rumah tetangga-tetangganya yang waktu itu terletak di daerah Simpang Tworiver. Istri dan kedua anaknya berhasil menyelamatkan diri. Namun yang membuat Pak Yasir sakit hati adalah: para penyerang ternyata adalah pemuda-pemuda Marhaen yang beberapa bulan sebelumn
ya ikut bersamanya menjenguk desa-desa terpencil!
 
Dengan muka yang terus menunduk, Bu Gemuk menceritakan bagaimana para petani yang dulu sering dibantu oleh Pak Yasir dibantai hanya karena: namanya terdaftar dalam orang-orang yang menerima bantuan dari BTI/PKI. Kabarnya, ratusan petani itu dikumpulkan di sebuah gudang beras kosong di daerah Namurambe, lalu diberondong ratusan peluru oleh pasukan RPKAD. Setelah itu, Bu Gemuk tak tahu apa yang terjadi pada Pak Yasir, yang jelas Pak Yasir sempat ditahan di RTM Jalan Gandhi.
Pada tahun 1977 itulah Bu Gemuk bersama Pak Topi bertemu dengan Pak Yasir dan Pak Jenggot yang sedang mengemis di sekitar jalanan Waspada. Setuju untuk melanjutkan hidup bersama-sama, maka seperti sekaranglah mereka.
Suatu hari Pak Yasir pernah berkata kepadaku:
Moral yang luhur dari seorang manusia tak bisa lahir hanya karena sering membaca, sering berdoa, atau sering mendengar ceramah. Moral hanya bisa terbentuk ketika kau berada di tengah-tengah penderitaan manusia yang ada di sekitarmu.

Tengku Ariy  Dipantara 27-september-2011
Selamat jalan Pak Yasir!

Bukti-bukti PKI Adalah Otak G/30/S

SAAT PERTAMA KALI kali mendengar siaran RRI 1 Oktober, Soeharto dalam buku: “Pikiran, ucapan, dan tidakan saya” berkata: “Deg, saya segera mendapatkan firasat. Lagipula saya tahu siapa itu Letkol Untung. Saya ingat, dia dekat dengan PKI, malahan pernah jadi anak didik tokoh PKI, Alimin.” Ia hendak menyatakan: telah menduga bahwa PKI lah yang mengorganisir G/30/S bahkan saat para jenderal yang masih hidup belum dieksekusi mati. Waw! Betapa maha-hebatnya firasat sang Jenderal yang satu ini!
Saat berkumpul di markas Kostrad, pagi hari 1 Oktober, beberapa perwira masih ragu dengan pernyataan Soeharto tadi. Namun, Yoga Sugama mendukung pernyataan Soeharto dan bersiap untuk mencari bukti-buktinya. Betapa kompaknya kedua orang ini. Kelak, dalam memoarnya, Yoga Sugama menyombongkan diri sebagai orang pertama yang meyakinkan Soeharto bahwa PKI bersalah sehingga merubah firasat Soeharto menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan. Penuturan Sugama itu memberi kesan bahwa ia dan Soeharto sudah menengarai sang dalang G/30/S bahkan sebelum mendapatkan satu pun bukti yang pasti.
Besoknya, Brigjend Sucipto membentuk organisasi sipil dengan nama Kesatuan Aksi Pengganyangan G/30/S (KAP-Gestapu) yang dipimpin oleh Subchan Z.E. dari NU. Lelaki yang terakhir dikenal sangat dekat dengan militer anti-PKI bahkan sebelum G/30/S meletus. 
Pada tanggal 5 oktober (HUT ABRI) Angkatan Darat menerbitkan buku setebal 130 halaman yang disusun cepat, berisi catatan rangkaian kejadian dan dengan sangat percaya diri menuduh PKI sebagai dalang. Padahal sampai saat itu, tak ada satu pun bukti yang bisa menguatkan. Tuduhan-tuduhan di dalam buku hanya semata-mata analisis tanpa bukti yang bisa dikategorikan sebagai fitnah.
Melalui corong radio, Mayjend Soeharto mengerahkan atau menganjurkan massa sipil sambil menyebarkan propaganda anti-PKI melalui pers (yang seluruhnya sudah di bawah kendali Angkatan Darat sejak akhir pekan pertama Oktober). Sebuah kisah sensasional melukiskan bagaimana Pemuda Rakjat dan Gerwani menyiksa, menyayat-nyayat, sampai memotong kemaluan para jenderal. Dua hari kemudian, massa seperti merespon berita ‘pesta lubang buaya’ dengan kemarahan yang membludak: membakar habis gedung CC-PKI di Jalan Kramat Raya Jakarta.
Bahkan setelah pembantaian kaum komunis mulai dilaksanakan (akhir 1965 dan awal 1966), masyarakat belum memperoleh bukti yang shahih bahwa PKI mendalangi G/30/S.
PKI memang mendukung G/30/S, sebagaimana terlihat dalam editorial Harian Rakjat pada 2 Oktober 1965, yang memuji G/30/S sebagai aksi patriotik dan revolusioner.  Tapi bagaimanapun, koran itu tidak memberikan bukti apa pun bahwa PKI lah yang mengorganisir G/30/S, terutama karena harian itu menyatakan bahwa: “G/30/S adalah masalah intern dalam Angkatan Darat.”
Pusat Penerangan angkatan Darat menerbitkan tiga jilid seri buku dari Oktober sampai Desember 1965, dengan maksud hendak membuktikan bahwa PKI adalah dalang G/30/S. bukti-bukti dalam buku ini tidak substansial dan handal. Bukti utama adalah pengakuan Letkol Untung (yang tertangkap di Jawa Tengah, 13 Oktober) dan Kolonel Latief (tertangkap 11 Oktober di Jakarta), bahwa mereka adalah antek-antek PKI. Namun, pada sidang pembelaannya dua tahun kemudian,  Latief mengatakan waktu itu ia berada dalam kondisi setengah sadar akibat luka di kaki yang membusuk karena tusukan bayonet. Dalam mahkam pengadilan di belahan dunia mana pun, kesakisan yang diperoleh di bawah tekanan dan dengan siksaan tidak dapat diterima. Dalam sidang Mahmilub kemudian, Untung dan Latief menyangkal hasil interogasi pada Oktober 1965, dan bersikeras bahwa merekalah yang memimpin G/30/S. PKI, mereka menegaskan, diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan.
Kita harus curiga ketika tuduhan sebagian didasarkan atas propaganda palsu (penyiksaan para jenderal)  dan sebagian lagi atas kesaksian yang diperoleh melalui siksaan. Pengakuan dua tokoh PKI (Njono dan Aidit) yang diterbitkan oleh pers Angkatan Darat pada akhir 1965 merupakan pemalsuan yang bersifat pemaksaan untuk mendukung propaganda mereka (itu sebabnya pengakuan Aidit tersebut tak pernah lagi menjadi acuan dalam penulisan sejarah G/30/S).
Mungkin, satu-satunya bukti dari Angkatan Darat yang layak diperdebatkan adalah pengakuan seorang agen Biro Chusus PKI yang bernama Sjam atau Kamaruzaman atau Tjugito. Namun lagi-lagi di sini Angkatan Darat menjadi hiperbola dengan melebih-lebihkan pernyataan Sjam. Sjam menyatakan bahwa hanya Aidit melalui Biro Chusus memerintahkannya untuk mengorganisasi G/30/S, namun Angkatan Darat menyiarkan bahwa Commite Central PKI lah yang mengorganisir gerakan. Sjam melukiskan bahwa G/30/S adalah pembersihan jenderal-jenderal sayap kanan yang bekerja untuk kekuatan pihak asing, sementara Angkatan Darat meyakinkan hal itu adalah suatu kudeta, awal dari niat PKI untuk melaksanakan revolusi sosial. AD harus menunjuk CC-PKI sebagai otak untuk membenarkan kehebatan penindasan mereka terhadap massa komunis di seluruh negeri. 
Satu cacat kasat mata dalam narasi rezim Soeharto pasca-1967 tentang Biro-Chusus adalah satu-satunya bukti mereka yang handal adalah kesaksian seseorang yang mengakui bahwa: menipu adalah pekerjaanya. Sjam, seorang tokoh tak dikenal, tak pernah muncul sebagai pemimpin PKI. Ia mengaku bahwa dirinya sangat dipercaya oleh Aidit sehingga ditugasi untuk masuk ke dalam tubuh Angkatan Darat. Seorang agen intelligen yang harus menipu dalam pekerjaannya menjadi satu-satunya bukti handal!
Jika rezim Soeharto bersungguh-sungguh dalam pengumpulan bukti tentang keterlibatan PKI, ia tak akan bergegas-gegas mengeksekusi empat pimpinan pucak PKI. DN Aidit , justru tokoh yang rezim Soeharto dinyatakan sebagai dalang, ditembak mati di sebuah tempat rahasian di Jawa Tengah pada 22 November 1965. Hal ini membuat kita tergelitik untuk bertanya: apakah pengadilan pura-pura yang di selenggarakan Soeharto begitu takutnya bila Aidit ‘mengamuk’ di dalam persidangan seperti yang pernah ia lakukan dahulu saat diajukan ke pengadilan oleh Muhammad Hatta karena kasus Madiun affair? (di situ Aidit dinyatakan tidak bersalah dan Hatta terpaksa mencabut tuntutannya)
Jadi apa buktinya PKI sebagai instansi adalah otak dalam G/30/S? Seperti yang dinyatakan oleh John Roosa:  
Pada akhirnya, satu-satunya bukti bahwa PKI memimpin G/30/S adalah karena Angkatan Darat menyatakan demikian.

Sumber:
Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Sugama, Memori Jenderal Yoga.
Pusat Penerangan Angkatan Darat, Fakta-fakta Persoalan Sekitar “Gerakan 30 September.” Penerbitan chusus no. 1, 5 Oktober 1965.
CIA Report No,22 from U.S Embassy in Jakarta to White House, 8 Oktober 1965.
“Berita Atjara Pemeriksaan,” Laporan interogasi Latief, 25 Oktober 1965. Interogator Kapten Hasan.
Anderson, Ben, “How Did the Generals Die?
“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmilub, Perkara Untung.
Hughes, “End of Sukarno”
Brackman, “Communist Collapse in Indonesia: The Gestapu Affair”
Aidit, “Menggugat Peristiwa Madiun”
Roosa, John, “Pretect for Mass Murder”

3 Mar 2015

Moral Seorang Komunis

KISAH ini tak jauh beda dari ratusan-ribu kisah manusia Indonesia yang hidup dan besar di zaman Soekarno lainnya. Saya tulis beberapa tahun lalu, sepulang menghadiri pemakaman dari salah seorang sahabat ‘terbesar’ dalam hidup saya.

Pada suatu hari di bulan September, beberapa tahun yang lalu, saya berhenti di sebuah rumah tukang jahit untuk merepresi salah satu celana yang robek. Ada pemandangan yang ganjil yang pertama kali saya temui di tempat ini: semua penghuni–penjahitnya ada empat orang–adalah pria dan wanita yang sudah sangat uzur. Tak ada saya lihat satu pun pemuda atau anak kecil, bahkan bapak-ibu. Salah satu penjahit mengatakan kepada saya bahwa mereka berempat mengontrak rumah ini bersama-sama sejak tahun 2001. Sejak tahun 1977, mereka berempat sudah berpindah-pindah dalam menjalankan usaha kolektiv mereka. Pada salah satu penjahit, Pak Yasir, dengan lancang saya bertanya kenapa dan kemana: kenapa mereka berpindah-pindah, kenapa mereka selalu berempat dan kemana sanak famili mereka. Awalnya Pak Yasir enggan untuk menjawab. Beliau hanya diam termangu memandangi jari yang sibuk bergerak-gerak mengatur arah kain yang dipatukin jarum besi. Namun karena seringnya saya menyinggahi mereka, kekakuan itu mencair, dan rahasia-rahasia lama yang seharusnya hendak mereka simpan rapat di dalam gua hati mulai terbongkar.
Awal mulanya adalah ketika saya datang untuk mengepaskan ukuran jaket almamater yang terlalu kebesaran. Waktu itu entah kenapa saya begitu malasnya untuk mengobrol, hingga saya memutuskan untuk membaca saja. Kebetulan saya baru saja mendapatkan buku tua Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Tjerita Dari Blora. Dari ekor mata, saya dapat melihat berkali-kali Pak Yasir melirik ke arah buku yang saya pegang. Ia kelihatan gugup ketika saya menutup buku dan memandanginya. Dengan terbata-bata ia berkata:
“Itu, bukunya dapat darimana, Nak?”
Kecurigaan saya selama ini akhirnya terjawab hanya karena sebuah buku. Sepertinya ia menganggap bahwa saya bukanlah seorang picik seperti generasi muda yang lahir di zaman orde baru pada umumnya, hingga akhirnya ia mulai berbicara lepas terhadap saya.
“Di zaman Kakek, itu buku ngetop. Tapi penulisnya… kamu tahu dia siapa?” katanya.
Saya tersenyum dan mengangguk. Lantas dengan kelancangan dan kekurang-ajaran masyarakat urban, bertanya tanpa tedeng-aling aling kepadanya. “Bapak bekas PKI?”
Ia diam. Menghentikan segala aktivitas jahitnya, lalu pergi begitu saja meninggalkan saya. Buk Gemuk–karena memang gemuk–mendatangi saya, tersenyum lalu meneruskan jahitan yang tadi ditinggalkan oleh Pak Yasir. Setelah menanyai saya–mengetes, apakah saya termakan oleh propaganda orba atau tidak–akhirnya Bu Gemuk menceritakan kisah Pak Yasir kepada saya. Kira-kira begini kisahnya:

Mereka berempat adalah aktivis kiri–entah kenapa, Bu Gemuk tetap tak mau disebut komunis–di jaman Presiden Soekarno. Pak Yasir adalah aktivis BTI (Barisan Tani Indonesia), Bu Gemuk tergabung dalam HSI (Himpunan Sarjana Indonesia), sedangkan dua yang lain tergabung dalam SOBSI. Di masa mudanya, menurut Bu Gemuk, Pak Yasir adalah seorang ahli dalam teori marxisme-leninisme. Ia berapa kali diajak oleh Pak Asmu (ketua BTI pusat) untuk ikut dalam kongres PKI di Jakarta. Di kota saya sendiri (Medan) Pak Yasir adalah sahabat dari mantan Gubernur Sumatera Utara saat itu: Jenderal Ulung Sitepu.

Sebelum G/30/S meletus, Pak Yasir  menjalin persahabatan dengan orang-orang Nahdiyin (NU) dan orang-orang Marhaen (PNI). Beliau mengajak mereka untuk bersatupadu dalam membantu para petani yang berada jauh di pedalaman Deli Tua. Hampir setiap minggu, Pak Yasir dan teman-temannya datang ke daerah-daerah yang tak terjangkau kendaraan umum–mereka harus berjalan kaki sejauh 1 hingga 3 kilometer–untuk membawa pestisida, cangkul, dan segala macam kebutuhan para petani. Setiap sebulan sekali, mereka datang untuk mengambil panenan yang berlebih lantas menjualkannya ke kota.
Tak perlu bawa-bawa nama Tuhan jika hanya ingin membantu sesama manusia.

Pak Yasir juga salah seorang tokoh yang sangat menentang poligami dan patriarkisme dalam rumah tangga. Bu Gemuk mengenang bagaimana ketika Pak Yasir harus berkelahi dengan adik kandungnya sendiri akibat keinginan sang adik yang ingin mengambil istri muda.
“Itu sesuai anjuran moral dalam partai, Nak. Lah, Bung Njoto yang ganteng itu aja kena skorsing partai kan gara-gara mau kawin lagi, tau sama Bung Njoto?” katanya.
Pak Yasir juga pernah menghukum beberapa petani yang ketahuan menampar istri mereka masing-masing.
Kita sedang memperjuangkan terhapusnya sisa-sisa feodalisme, lah gimana mau jalan kalau masih ada yang semena-mena sebagai suami.”

Sebagai tokoh penting BTI, Pak Yasir hidup sangat sederhana. Kedua anaknya tak diizinkannya untuk naik sepeda ke sekolah bila diantara teman-temannya masih ada yang jalan kaki. Dia juga sering bertengkar dengan istrinya karena sang istri teramat sering mengancam untuk pulang ke rumah orang tua karena aktivitas Pak Yasir yang terlalu jarang berada di rumah.
Maka, meletuslah G/30/S! Rumah Pak Yasir diserbu massa. Dibakar dan barang-barangnya di jarah, begitupun rumah tetangga-tetangganya yang waktu itu terletak di daerah Simpang Tworiver. Istri dan kedua anaknya berhasil menyelamatkan diri. Namun yang membuat Pak Yasir sakit hati adalah: para penyerang ternyata adalah pemuda-pemuda Marhaen yang beberapa bulan sebelumn
ya ikut bersamanya menjenguk desa-desa terpencil!
 
Dengan muka yang terus menunduk, Bu Gemuk menceritakan bagaimana para petani yang dulu sering dibantu oleh Pak Yasir dibantai hanya karena: namanya terdaftar dalam orang-orang yang menerima bantuan dari BTI/PKI. Kabarnya, ratusan petani itu dikumpulkan di sebuah gudang beras kosong di daerah Namurambe, lalu diberondong ratusan peluru oleh pasukan RPKAD. Setelah itu, Bu Gemuk tak tahu apa yang terjadi pada Pak Yasir, yang jelas Pak Yasir sempat ditahan di RTM Jalan Gandhi.
Pada tahun 1977 itulah Bu Gemuk bersama Pak Topi bertemu dengan Pak Yasir dan Pak Jenggot yang sedang mengemis di sekitar jalanan Waspada. Setuju untuk melanjutkan hidup bersama-sama, maka seperti sekaranglah mereka.
Suatu hari Pak Yasir pernah berkata kepadaku:
Moral yang luhur dari seorang manusia tak bisa lahir hanya karena sering membaca, sering berdoa, atau sering mendengar ceramah. Moral hanya bisa terbentuk ketika kau berada di tengah-tengah penderitaan manusia yang ada di sekitarmu.

Tengku Ariy  Dipantara 27-september-2011
Selamat jalan Pak Yasir!

Bukti-bukti PKI Adalah Otak G/30/S

SAAT PERTAMA KALI kali mendengar siaran RRI 1 Oktober, Soeharto dalam buku: “Pikiran, ucapan, dan tidakan saya” berkata: “Deg, saya segera mendapatkan firasat. Lagipula saya tahu siapa itu Letkol Untung. Saya ingat, dia dekat dengan PKI, malahan pernah jadi anak didik tokoh PKI, Alimin.” Ia hendak menyatakan: telah menduga bahwa PKI lah yang mengorganisir G/30/S bahkan saat para jenderal yang masih hidup belum dieksekusi mati. Waw! Betapa maha-hebatnya firasat sang Jenderal yang satu ini!
Saat berkumpul di markas Kostrad, pagi hari 1 Oktober, beberapa perwira masih ragu dengan pernyataan Soeharto tadi. Namun, Yoga Sugama mendukung pernyataan Soeharto dan bersiap untuk mencari bukti-buktinya. Betapa kompaknya kedua orang ini. Kelak, dalam memoarnya, Yoga Sugama menyombongkan diri sebagai orang pertama yang meyakinkan Soeharto bahwa PKI bersalah sehingga merubah firasat Soeharto menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan. Penuturan Sugama itu memberi kesan bahwa ia dan Soeharto sudah menengarai sang dalang G/30/S bahkan sebelum mendapatkan satu pun bukti yang pasti.
Besoknya, Brigjend Sucipto membentuk organisasi sipil dengan nama Kesatuan Aksi Pengganyangan G/30/S (KAP-Gestapu) yang dipimpin oleh Subchan Z.E. dari NU. Lelaki yang terakhir dikenal sangat dekat dengan militer anti-PKI bahkan sebelum G/30/S meletus. 
Pada tanggal 5 oktober (HUT ABRI) Angkatan Darat menerbitkan buku setebal 130 halaman yang disusun cepat, berisi catatan rangkaian kejadian dan dengan sangat percaya diri menuduh PKI sebagai dalang. Padahal sampai saat itu, tak ada satu pun bukti yang bisa menguatkan. Tuduhan-tuduhan di dalam buku hanya semata-mata analisis tanpa bukti yang bisa dikategorikan sebagai fitnah.
Melalui corong radio, Mayjend Soeharto mengerahkan atau menganjurkan massa sipil sambil menyebarkan propaganda anti-PKI melalui pers (yang seluruhnya sudah di bawah kendali Angkatan Darat sejak akhir pekan pertama Oktober). Sebuah kisah sensasional melukiskan bagaimana Pemuda Rakjat dan Gerwani menyiksa, menyayat-nyayat, sampai memotong kemaluan para jenderal. Dua hari kemudian, massa seperti merespon berita ‘pesta lubang buaya’ dengan kemarahan yang membludak: membakar habis gedung CC-PKI di Jalan Kramat Raya Jakarta.
Bahkan setelah pembantaian kaum komunis mulai dilaksanakan (akhir 1965 dan awal 1966), masyarakat belum memperoleh bukti yang shahih bahwa PKI mendalangi G/30/S.
PKI memang mendukung G/30/S, sebagaimana terlihat dalam editorial Harian Rakjat pada 2 Oktober 1965, yang memuji G/30/S sebagai aksi patriotik dan revolusioner.  Tapi bagaimanapun, koran itu tidak memberikan bukti apa pun bahwa PKI lah yang mengorganisir G/30/S, terutama karena harian itu menyatakan bahwa: “G/30/S adalah masalah intern dalam Angkatan Darat.”
Pusat Penerangan angkatan Darat menerbitkan tiga jilid seri buku dari Oktober sampai Desember 1965, dengan maksud hendak membuktikan bahwa PKI adalah dalang G/30/S. bukti-bukti dalam buku ini tidak substansial dan handal. Bukti utama adalah pengakuan Letkol Untung (yang tertangkap di Jawa Tengah, 13 Oktober) dan Kolonel Latief (tertangkap 11 Oktober di Jakarta), bahwa mereka adalah antek-antek PKI. Namun, pada sidang pembelaannya dua tahun kemudian,  Latief mengatakan waktu itu ia berada dalam kondisi setengah sadar akibat luka di kaki yang membusuk karena tusukan bayonet. Dalam mahkam pengadilan di belahan dunia mana pun, kesakisan yang diperoleh di bawah tekanan dan dengan siksaan tidak dapat diterima. Dalam sidang Mahmilub kemudian, Untung dan Latief menyangkal hasil interogasi pada Oktober 1965, dan bersikeras bahwa merekalah yang memimpin G/30/S. PKI, mereka menegaskan, diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan.
Kita harus curiga ketika tuduhan sebagian didasarkan atas propaganda palsu (penyiksaan para jenderal)  dan sebagian lagi atas kesaksian yang diperoleh melalui siksaan. Pengakuan dua tokoh PKI (Njono dan Aidit) yang diterbitkan oleh pers Angkatan Darat pada akhir 1965 merupakan pemalsuan yang bersifat pemaksaan untuk mendukung propaganda mereka (itu sebabnya pengakuan Aidit tersebut tak pernah lagi menjadi acuan dalam penulisan sejarah G/30/S).
Mungkin, satu-satunya bukti dari Angkatan Darat yang layak diperdebatkan adalah pengakuan seorang agen Biro Chusus PKI yang bernama Sjam atau Kamaruzaman atau Tjugito. Namun lagi-lagi di sini Angkatan Darat menjadi hiperbola dengan melebih-lebihkan pernyataan Sjam. Sjam menyatakan bahwa hanya Aidit melalui Biro Chusus memerintahkannya untuk mengorganisasi G/30/S, namun Angkatan Darat menyiarkan bahwa Commite Central PKI lah yang mengorganisir gerakan. Sjam melukiskan bahwa G/30/S adalah pembersihan jenderal-jenderal sayap kanan yang bekerja untuk kekuatan pihak asing, sementara Angkatan Darat meyakinkan hal itu adalah suatu kudeta, awal dari niat PKI untuk melaksanakan revolusi sosial. AD harus menunjuk CC-PKI sebagai otak untuk membenarkan kehebatan penindasan mereka terhadap massa komunis di seluruh negeri. 
Satu cacat kasat mata dalam narasi rezim Soeharto pasca-1967 tentang Biro-Chusus adalah satu-satunya bukti mereka yang handal adalah kesaksian seseorang yang mengakui bahwa: menipu adalah pekerjaanya. Sjam, seorang tokoh tak dikenal, tak pernah muncul sebagai pemimpin PKI. Ia mengaku bahwa dirinya sangat dipercaya oleh Aidit sehingga ditugasi untuk masuk ke dalam tubuh Angkatan Darat. Seorang agen intelligen yang harus menipu dalam pekerjaannya menjadi satu-satunya bukti handal!
Jika rezim Soeharto bersungguh-sungguh dalam pengumpulan bukti tentang keterlibatan PKI, ia tak akan bergegas-gegas mengeksekusi empat pimpinan pucak PKI. DN Aidit , justru tokoh yang rezim Soeharto dinyatakan sebagai dalang, ditembak mati di sebuah tempat rahasian di Jawa Tengah pada 22 November 1965. Hal ini membuat kita tergelitik untuk bertanya: apakah pengadilan pura-pura yang di selenggarakan Soeharto begitu takutnya bila Aidit ‘mengamuk’ di dalam persidangan seperti yang pernah ia lakukan dahulu saat diajukan ke pengadilan oleh Muhammad Hatta karena kasus Madiun affair? (di situ Aidit dinyatakan tidak bersalah dan Hatta terpaksa mencabut tuntutannya)
Jadi apa buktinya PKI sebagai instansi adalah otak dalam G/30/S? Seperti yang dinyatakan oleh John Roosa:  
Pada akhirnya, satu-satunya bukti bahwa PKI memimpin G/30/S adalah karena Angkatan Darat menyatakan demikian.

Sumber:
Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Sugama, Memori Jenderal Yoga.
Pusat Penerangan Angkatan Darat, Fakta-fakta Persoalan Sekitar “Gerakan 30 September.” Penerbitan chusus no. 1, 5 Oktober 1965.
CIA Report No,22 from U.S Embassy in Jakarta to White House, 8 Oktober 1965.
“Berita Atjara Pemeriksaan,” Laporan interogasi Latief, 25 Oktober 1965. Interogator Kapten Hasan.
Anderson, Ben, “How Did the Generals Die?
“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmilub, Perkara Untung.
Hughes, “End of Sukarno”
Brackman, “Communist Collapse in Indonesia: The Gestapu Affair”
Aidit, “Menggugat Peristiwa Madiun”
Roosa, John, “Pretect for Mass Murder”