4 Jan 2016

Surat Iwan untuk PKI-phobi


Ada baiknya pabila orang-orang yang (mengaku) membenci PKI membaca tulisan di bawah ini. Tulisan ini saya salin dari Surat-surat Politik Iwan Simatupang: 1964-1966. LP3ES. Cetakan Pertama, April 1984. Penulis sendiri adalah sastrawan yang berperan dalam lahirnya Manikebu (Manifesto Kebudayaan), dan jelas sangat membenci PKI (hampir 80% isi buku berisi kutukan dan ejekan terhadap PKI). Dengan begitu, saya punya alasan yang tepat dalam menyajikan tulisan beliau (seorang yang anti-PKI) kepada orang-orang yang anti-PKI. Bukankah orang-orang yang (mengaku) anti-PKI hanya ingin membaca dan mendengar cerita soal PKI dari mulut sejenisnya saja? Mari kita baca bersama-sama:
Hal 146-147.
"Aku jelas anti Gestapu. Baik tujuannya maupun cara-caranya, aku tidak setuju. Akan tetapi aku tidak setuju bila pengganyangan Gestapu yang dicetuskan oleh kyai-kyai keblinger ini lalu sama sekali meniadakan program-program kerakyatan yang telah dan sedang diwujudkan (mungkin secara kasar) di tanah air kita berkat dorongan dan rangsang PKI dan ormas-ormasnya. Apabila benar PKI menjadi dalangnya peristiwa ini, maka aku bakal jadi seteru buyutan dari PKI! Seluruh hidupku, dan seluruh pandangan hidupku, adalah justru usaha secara teratur dan perseorangan untuk mendudukkan kembali manusia ke kedudukannya semula, yakni: manusia agung, yang dipertuan agung!
........
Dalam mengutuk sesuatu, kita jangan (untuk meminjam peribahasa Belanda) "ikut membuangkan sang bayi bersama air mandinya!" Obyektifitas kita hendaknya jangan pudar! Program-program sosial di bidang peningkatan taraf hidup rakyat kita yang 90 prosen terdiri dari tani dan buruh itu, jangan lantas mengambil arah yang 180 derajat berlawanan. AIDIT harus diganyang dan seterusnya, dan seterusnya -- akur! Tapi jangan ikut kebuang prestasi-prestasi sosial yang sudah menjadi kenyataan di tanah air kita berkat AIDIT dan kawan-kawan!"
Pada halaman 19, Iwan Simatupang, yang lahir di Sibolga pada 18 Januari 1928 dan wafat di Jakarta pada 4 Agustus 1970, membuktikan bahwa "generasi angkatan-45/Orde Lama adalah generasi para ksatria; berjiwa besar dan mampu berpikiran waras dalam memandang segala hal. Bukankah hanya orang-orang berjiwa besar saja yang berani mengakui kelebihan musuh-musuhnya? Ia menulis:
"Dan inilah tragedi kita kini, Larto: genialitas dan brilyansi itu kini hanya ada di kalangan PKI. Ini fakta, lho! Sekiranyalah AIDIT dan NJOTO bukan di PKI, tapi misalnya di NU atau PNI, ya Allah: sejarah tanah air kita akan sangat berbeda, sangat berbeda ...."
Akhirul kalam, saya ingin menyitir kata-kata Iwan Simatupang di atas: Sekiranyalah manusia-manusia produk dari pembodohan Orde Baru bisa berpikir dan berjiwa seperti Iwan Simatupang, ya Allah: sejarah tanah air kita akan sangat berbeda, sangat berbeda ...

29 Des 2015

PESAN NJOTO UNTUK PERS INDONESIA



Sesungguhnya, tak ada ilmu yang tak berguna, dan tak ada sejarah yang kadaluarsa.
Belakangan ini saya (mungkin juga Anda) merasa agak muak melihat gaya "berbicara" pers kita yang terkesan bombastis, cenderung memfitnah, yang kesemuanya demi keuntungan profit jual-menjual lidah. Kesannya mereka-mereka itu telah ber-evolusi dari sang "pembawa kebenaran" (meminjam istilah Mas Marco) menjadi tak lebih dari sang penyebar kerecokan. Sebab, bukankah hanya yang recok-recok sajalah yang laku dijual. Puluhan tahun yang lalu, Njoto, Wakil Ketua II PKI, sudah mendeteksi gejala-gejala penyakit yang menyerang pers masa kini, yang diwariskan dari pers kanan pembebek Amerika. Untuk itulah saya hendak mengajak sdr semua untuk berkaca pada pesan-pesan yang pernah beliau ucapkan. Sedikit tulisan dibawah ini saya kumpulkan dari buku "Pers dan Massa" Njoto, N.V. Rakjat, 1960.


" ...Galib dikatakan, bahwa setengah kebenaran masih lebih berbahaya daripada kebohongan seratus prosen. Tetapi akan saya coba untuk membuktikan, bahwa pers kanan bukannya menghidangkan setengah kebenaran kepada pembaca-pembacanya, melainkan seperlima, dan tidak jarang sepersepuluh saja dari kebenaran.
Dalam keadaan yang demikian, tugas dari pers yang mempunyai harga diri, pers yang menyadari arti suci kejujuran, sungguh tidak ringan. Dewan Redaksi Harian Rakjat selalu mengingat kata-kata pengarang demokrat Belanda yang besar, Multatuli, kata-kata yang kami anggap ditujukan kepada setiap orang yang jujur. Kata Multatuli:
Padamu terletak tugas kemanusiaan!
Tugas itu mengharuskan: berusaha ke arah kebenaran
Dan di mana-mana terdapat kebohongan.
Maju! Berjuang terhadap kebohongan! Ayo berjuang! Maju, ke arah kemenangan!
Kata-kata Multatuli yang tajam ini berharga benar bagi setiap surat kabar, setiap redaktur dan setiap koresponden, yang mengabdi atau ingin mengabdi kepada Rakyat. Membohongi pembaca tidaklah sukar, tetapi membohongi pembaca berarti juga membohongi diri sendiri. Di sini orang tertumbuk pada hati nurani. Karena menyadari hal ini, maka kata-kata Multatuli itu kami simpan dalam hati sebagai intan daripada intan.
....
Jika kita ikuti koran “Pedoman”, “Keng Po”, “Indonesia Raya” dan juga “Abadi”, maka seolah-olah orang Jawa jahat semua, atau orang Minangkabau luar biasa semua, atau PNI korup semua, atau NU “kyai-kyai juga bodoh” semua. Sudah tentu – Rakyat “bodoh semua” dan PSI “pintar semua”! Penyakit main UMUM-UMUMAN ini oleh Multatuli pernah dicanangkan sebagai penyakit yang paling berbahaya.
Atau kita ambil-lah segi yang lain: kalau pers kanan tidak melebih-lebihkan sesuatu, dia mengecilkan sesuatu, begitu rupa, sehingga yang tampak hanya karikatur belaka. Sebetulnya, mengecilkan itu adalah juga sifat melebih-lebihkan. Begitulah, jika kita hanya membaca koran-koran kanan, maka Konferensi Asia-Afrika itu hanya apa yang dinamakan “Hospitality Committee”; kabinet Ali-Arifin itu hanya apa yang terkenal sebagai “lisensi istimewa”; dan Presiden Soekarno itu hanya “yang mengawini Hartini”.
....kita selalu menandaskan, bahwa kemerdekaan pers itu sama sekali bukan anarki pers. KEMERDEKAAN ITU SANGAT LUAS, TETAPI KEMERDEKAAN ITU MENGENAL BATAS. Jika tidak ada batas, jika mau mutlak, ia bukan kemerdekaan lagi. Tetapi justru mutlak-mutlakan ini pulalah penyakit kaum reaksioner. Ambillah Hatta. Bagi kaum reaksioner, Hatta ini seperti juga Syahrir, dan lain-lain adalah “dewa” –dia mutlak, dia tidak bisa salah, dia tidak boleh diganggugugat. Sepuluh-dua puluh ribu rupiah pada orang PNI atau NU, itu sudah pasti korupsi. Tetapi 200 juta rupiah Teluknibung Simbolon, itu “bukan korupsi”. Satu rumah Roeslan Abdulgani di Bogor, itu sudah pasti korupsi. Tetapi rumah Hatta yang mewah di Jalan Diponegoro Jakarta itu “bukan korupsi”.
...Saya ingin meminta perhatian saudara-saudara dan kawan-kawan sekalian, agar jangan pengaruh pers reaksioner itu kita remehkan. Sudah sejak sebelum perang dunia kedua, pembaca di Indonesia banyak yang mempercayai saja apa-apa yang ditulis surat kabar. Mereka mengira: jika sesuatu itu sudah ditulis di suratkabar, tentulah ia benar. Lagipula, ada semacam sifat konservatif pada pembaca-pembaca Indonesia, yaitu: sekali berlanggangan suratkabar A, selama-lamanya berlangganan suratkabar A dan tidak mau ganti. Sekarang, keadaan sudah maju. Tetapi keadaan yang saya gambarkan ini, yaitu kecenderungan untuk memercayai segala apa yang ditulis oleh suratkabar manapun, dan sifat konservatif dalam membaca suratkabar, masih saja ada, dan masih agak luas. Inilah keterangannya mengapa perjuangan pers revolusioner itu tidaklah ringan.
Kaum revolusioner, apa pun tugasnya dan dimana pun tempatnya, wajib menyadari bahwa pers revolusioner adalah sebagian dari mesin perjuangan revolusioner yang besar. Oleh sebab itu, maju mundurnya pers revolusioner, baik dalam isi, dalam tipografi, dalam penyebaran maupun dalam keuangan, bukanlah semata-mata soal Dewan Redaksi, Direksi dan Administrasi, melainkan soal seluruh gerakan revolusioner..."



4 Jan 2016

Surat Iwan untuk PKI-phobi


Ada baiknya pabila orang-orang yang (mengaku) membenci PKI membaca tulisan di bawah ini. Tulisan ini saya salin dari Surat-surat Politik Iwan Simatupang: 1964-1966. LP3ES. Cetakan Pertama, April 1984. Penulis sendiri adalah sastrawan yang berperan dalam lahirnya Manikebu (Manifesto Kebudayaan), dan jelas sangat membenci PKI (hampir 80% isi buku berisi kutukan dan ejekan terhadap PKI). Dengan begitu, saya punya alasan yang tepat dalam menyajikan tulisan beliau (seorang yang anti-PKI) kepada orang-orang yang anti-PKI. Bukankah orang-orang yang (mengaku) anti-PKI hanya ingin membaca dan mendengar cerita soal PKI dari mulut sejenisnya saja? Mari kita baca bersama-sama:
Hal 146-147.
"Aku jelas anti Gestapu. Baik tujuannya maupun cara-caranya, aku tidak setuju. Akan tetapi aku tidak setuju bila pengganyangan Gestapu yang dicetuskan oleh kyai-kyai keblinger ini lalu sama sekali meniadakan program-program kerakyatan yang telah dan sedang diwujudkan (mungkin secara kasar) di tanah air kita berkat dorongan dan rangsang PKI dan ormas-ormasnya. Apabila benar PKI menjadi dalangnya peristiwa ini, maka aku bakal jadi seteru buyutan dari PKI! Seluruh hidupku, dan seluruh pandangan hidupku, adalah justru usaha secara teratur dan perseorangan untuk mendudukkan kembali manusia ke kedudukannya semula, yakni: manusia agung, yang dipertuan agung!
........
Dalam mengutuk sesuatu, kita jangan (untuk meminjam peribahasa Belanda) "ikut membuangkan sang bayi bersama air mandinya!" Obyektifitas kita hendaknya jangan pudar! Program-program sosial di bidang peningkatan taraf hidup rakyat kita yang 90 prosen terdiri dari tani dan buruh itu, jangan lantas mengambil arah yang 180 derajat berlawanan. AIDIT harus diganyang dan seterusnya, dan seterusnya -- akur! Tapi jangan ikut kebuang prestasi-prestasi sosial yang sudah menjadi kenyataan di tanah air kita berkat AIDIT dan kawan-kawan!"
Pada halaman 19, Iwan Simatupang, yang lahir di Sibolga pada 18 Januari 1928 dan wafat di Jakarta pada 4 Agustus 1970, membuktikan bahwa "generasi angkatan-45/Orde Lama adalah generasi para ksatria; berjiwa besar dan mampu berpikiran waras dalam memandang segala hal. Bukankah hanya orang-orang berjiwa besar saja yang berani mengakui kelebihan musuh-musuhnya? Ia menulis:
"Dan inilah tragedi kita kini, Larto: genialitas dan brilyansi itu kini hanya ada di kalangan PKI. Ini fakta, lho! Sekiranyalah AIDIT dan NJOTO bukan di PKI, tapi misalnya di NU atau PNI, ya Allah: sejarah tanah air kita akan sangat berbeda, sangat berbeda ...."
Akhirul kalam, saya ingin menyitir kata-kata Iwan Simatupang di atas: Sekiranyalah manusia-manusia produk dari pembodohan Orde Baru bisa berpikir dan berjiwa seperti Iwan Simatupang, ya Allah: sejarah tanah air kita akan sangat berbeda, sangat berbeda ...

29 Des 2015

PESAN NJOTO UNTUK PERS INDONESIA



Sesungguhnya, tak ada ilmu yang tak berguna, dan tak ada sejarah yang kadaluarsa.
Belakangan ini saya (mungkin juga Anda) merasa agak muak melihat gaya "berbicara" pers kita yang terkesan bombastis, cenderung memfitnah, yang kesemuanya demi keuntungan profit jual-menjual lidah. Kesannya mereka-mereka itu telah ber-evolusi dari sang "pembawa kebenaran" (meminjam istilah Mas Marco) menjadi tak lebih dari sang penyebar kerecokan. Sebab, bukankah hanya yang recok-recok sajalah yang laku dijual. Puluhan tahun yang lalu, Njoto, Wakil Ketua II PKI, sudah mendeteksi gejala-gejala penyakit yang menyerang pers masa kini, yang diwariskan dari pers kanan pembebek Amerika. Untuk itulah saya hendak mengajak sdr semua untuk berkaca pada pesan-pesan yang pernah beliau ucapkan. Sedikit tulisan dibawah ini saya kumpulkan dari buku "Pers dan Massa" Njoto, N.V. Rakjat, 1960.


" ...Galib dikatakan, bahwa setengah kebenaran masih lebih berbahaya daripada kebohongan seratus prosen. Tetapi akan saya coba untuk membuktikan, bahwa pers kanan bukannya menghidangkan setengah kebenaran kepada pembaca-pembacanya, melainkan seperlima, dan tidak jarang sepersepuluh saja dari kebenaran.
Dalam keadaan yang demikian, tugas dari pers yang mempunyai harga diri, pers yang menyadari arti suci kejujuran, sungguh tidak ringan. Dewan Redaksi Harian Rakjat selalu mengingat kata-kata pengarang demokrat Belanda yang besar, Multatuli, kata-kata yang kami anggap ditujukan kepada setiap orang yang jujur. Kata Multatuli:
Padamu terletak tugas kemanusiaan!
Tugas itu mengharuskan: berusaha ke arah kebenaran
Dan di mana-mana terdapat kebohongan.
Maju! Berjuang terhadap kebohongan! Ayo berjuang! Maju, ke arah kemenangan!
Kata-kata Multatuli yang tajam ini berharga benar bagi setiap surat kabar, setiap redaktur dan setiap koresponden, yang mengabdi atau ingin mengabdi kepada Rakyat. Membohongi pembaca tidaklah sukar, tetapi membohongi pembaca berarti juga membohongi diri sendiri. Di sini orang tertumbuk pada hati nurani. Karena menyadari hal ini, maka kata-kata Multatuli itu kami simpan dalam hati sebagai intan daripada intan.
....
Jika kita ikuti koran “Pedoman”, “Keng Po”, “Indonesia Raya” dan juga “Abadi”, maka seolah-olah orang Jawa jahat semua, atau orang Minangkabau luar biasa semua, atau PNI korup semua, atau NU “kyai-kyai juga bodoh” semua. Sudah tentu – Rakyat “bodoh semua” dan PSI “pintar semua”! Penyakit main UMUM-UMUMAN ini oleh Multatuli pernah dicanangkan sebagai penyakit yang paling berbahaya.
Atau kita ambil-lah segi yang lain: kalau pers kanan tidak melebih-lebihkan sesuatu, dia mengecilkan sesuatu, begitu rupa, sehingga yang tampak hanya karikatur belaka. Sebetulnya, mengecilkan itu adalah juga sifat melebih-lebihkan. Begitulah, jika kita hanya membaca koran-koran kanan, maka Konferensi Asia-Afrika itu hanya apa yang dinamakan “Hospitality Committee”; kabinet Ali-Arifin itu hanya apa yang terkenal sebagai “lisensi istimewa”; dan Presiden Soekarno itu hanya “yang mengawini Hartini”.
....kita selalu menandaskan, bahwa kemerdekaan pers itu sama sekali bukan anarki pers. KEMERDEKAAN ITU SANGAT LUAS, TETAPI KEMERDEKAAN ITU MENGENAL BATAS. Jika tidak ada batas, jika mau mutlak, ia bukan kemerdekaan lagi. Tetapi justru mutlak-mutlakan ini pulalah penyakit kaum reaksioner. Ambillah Hatta. Bagi kaum reaksioner, Hatta ini seperti juga Syahrir, dan lain-lain adalah “dewa” –dia mutlak, dia tidak bisa salah, dia tidak boleh diganggugugat. Sepuluh-dua puluh ribu rupiah pada orang PNI atau NU, itu sudah pasti korupsi. Tetapi 200 juta rupiah Teluknibung Simbolon, itu “bukan korupsi”. Satu rumah Roeslan Abdulgani di Bogor, itu sudah pasti korupsi. Tetapi rumah Hatta yang mewah di Jalan Diponegoro Jakarta itu “bukan korupsi”.
...Saya ingin meminta perhatian saudara-saudara dan kawan-kawan sekalian, agar jangan pengaruh pers reaksioner itu kita remehkan. Sudah sejak sebelum perang dunia kedua, pembaca di Indonesia banyak yang mempercayai saja apa-apa yang ditulis surat kabar. Mereka mengira: jika sesuatu itu sudah ditulis di suratkabar, tentulah ia benar. Lagipula, ada semacam sifat konservatif pada pembaca-pembaca Indonesia, yaitu: sekali berlanggangan suratkabar A, selama-lamanya berlangganan suratkabar A dan tidak mau ganti. Sekarang, keadaan sudah maju. Tetapi keadaan yang saya gambarkan ini, yaitu kecenderungan untuk memercayai segala apa yang ditulis oleh suratkabar manapun, dan sifat konservatif dalam membaca suratkabar, masih saja ada, dan masih agak luas. Inilah keterangannya mengapa perjuangan pers revolusioner itu tidaklah ringan.
Kaum revolusioner, apa pun tugasnya dan dimana pun tempatnya, wajib menyadari bahwa pers revolusioner adalah sebagian dari mesin perjuangan revolusioner yang besar. Oleh sebab itu, maju mundurnya pers revolusioner, baik dalam isi, dalam tipografi, dalam penyebaran maupun dalam keuangan, bukanlah semata-mata soal Dewan Redaksi, Direksi dan Administrasi, melainkan soal seluruh gerakan revolusioner..."